Indonesia selaku negara di kawasan Asia dengan tingkat terinfeksi COVID-19 yang cukup tinggi tentu harus terus menjaga kewaspadaan. Apalagi beberapa waktu lalu wilayah Jawa Timur mencatatkan penambahan kasus baru dalam jumlah yang cukup tinggi. Padahal PSBB Surabaya Raya baru saja berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Alasan ekonomi kembali menjadi pertimbangan utama keputusan itu. Apabila "dipaksakan" berlanjut maka situasi ekonomi dikhawatirkan akan semakin memburuk.
Melihat situasi yang sebenarnya penuh risiko ini sebuah keputusan dari Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya justru terkesan kontradiktif. Peraturan yang menetapkan kapasitas penumpang transportasi umum dan kendaraan pribadi sebanyak 50% kemarin (09/06) diputuskan dicabut.Â
Aturan tersebut secara resmi dihapus dari peredaran. Meski peraturan terkait social distancing masing diberlakukan akan tetapi hal itu tetap tidak menghilangkan kesan bahwa penumpang kendaraan kembali diizinkan untuk bejubel kembali. Sebagian kalangan menyayangkan keputusan ini seperti yang dicuitkan oleh komika Ernest Prakasa melalui laman twitter miliknya.
Dari beberapa situasi yang terjadi belakangan ini mulai dari pelonggaran PSBB, akhir PSBB, pemberlakuan new normal, pencabutan aturan kapasitas 50%, tapi disisi lain penambahan kasus masih terus terjadi bahkan dalam jumlah besar dan ditambah Indonesia masuk kategori negara berisiko COVID-19 sepertinya bisa ditarik benang merah dari semua hal tersebut. Indonesia sedang mengarah pada "Herd Immunity" atau "Kekebalan Kelompok".
Apa itu kekebalan kelompok? Mengutip dari laman kemenkes.go.id herd immunity merupakan kondisi ketika sebagian besar populasi memiliki kekebalan terhadap penyakit menular tertentu sehingga mempu memberikan perlindungan secara tidak langsung atau menjadi kekebala kelompok bagi mereka yang tidak kebal terhadap penyakit menular tersebut. Untuk menciptakan kekebalan kelompok ini diperlukan setidaknya 70% - 90% populasi memiliki kekebalan tersebut agar mampu menekan laju persebaran penyakit lebih jauh.
Namun strategi ini beberapa waktu lalu disangkal penerapannya oleh pemerintah. Strategi ini sendiri sudah diadopsi oleh beberapa negara seperti Swedia, Belanda, dan juga Inggris.Â
Swedia menjadi yang terdepan dalam penerapan strategi ini mengingat Belanda dan Inggris yang mundur teratur menerapkan herd immunity dan berganti ke kebijakan pembatasan sosial seperti lockdown atau PSBB ala Indonesia. Per 9 Juni 2020 kemarin Swedia sudah mencatatkan 45 ribu lebih kasus positif. Dan sepertinya Swedia juga akan melakukan langkah mundur meninggalkan strategi herd immunity dalam mengatasi pandemi di negaranya.
Herd immunity dikecam oleh WHO karena dapat menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa. Strategi ini memang terkesan "mengizinkan" virus untuk menginfeksi tubuh seseorang kemudian merawat mereka agar sembuh dan memiliki kekebalan alami. Semakin banyak yang sembuh dari virus maka akan memperkuat kekebalan kelompok sehingga sebagain orang akan terlindungi dari paparan virus.Â
Permasalahannya, jumlah yang harus memiliki kekebalan alami itu tidaklah sedikit. Sekitar 70% - 90% tergantung tingkat keganasan virus atau penyakit yang menular tersebut. Dengan demikian risikonya memang sangat besat apabila mengadopsi strategi ini. Mengadopsi herd immunity  tanpa adanya antivirus sa seperti bunuh diri.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, pada medio Maret 2020 lalu sudah menyebutkan bahwa kekebalan kelompok atau herd immunity ini berpotensi melanggar sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam perkiraan Dradjad kala itu, kekebalan kelompok mungkin terjadi apabila minimal 60% masyarakat terpapar oleh virus.Â