Bulan Juni 2020 ini akan menjadi tonggak sejarah baru kehidupan kita seiring pemberlakuan "new normal" pada hampir setiap aspek kehidupan. Ekonomi, sosial budaya, politik, dan berbagai sendi-sendi kehidupan lain turut terkena imbas akan adanya sebuah cara hidup baru yang sangat berbeda dengan sebelumnya.Â
New normal tidak lain adalah episode lanjutan dari wacana-wacana yang telah lebih dahulu digulirkan oleh pemerintah seperti "Berdamai dengan Covid-19" ataupun pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan adanya new normal diharapkan sektor ekonomi selaku yang paling terdampak pandemi ini bisa berangsung-angsur membaik namun dengan tidak mengabaikan aspek kesehatan masyarakat.
Pemilihan PSBB oleh pemerintah dibandingkan lockdown yang diadopsi oleh beberapa negara lain didasari atas pertimbangan bahwa hal itu tidak akan terlalu berimbas buruk pada perekonomian. Namun ternyata efek yang ditimbulkannya juga termasuk parah. Entah apa yang terjadi apabila lockdown yang diberlakukan. Seiring dengan terganggunya perekonomian nasional sejak beberapa bula terakhir, langkah-langkah "reopening" Indonesia pun mulai dilakukan.Â
Saat Menkopolhukam Mahfud MD "melempar" wacana pelonggaran PSBB sontak banyak kalangan mencibir hal itu. Menurut mereka gagasan itu terlalu prematur mengingat kasus persebran COVID-19 yang masih tinggi terjadinya. Pemerintah sendiri bahkan sudah memberanikan diri untuk membuka kembali mal di beberapa wilayah. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri sudah melakukan peninjauan langsung perihal kesiapan sektor-sektor strategis untuk menyambut "new normal". Kala itu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (ABW) menilai upaya membuka kembali mal di awal Juni 2020 adalah tidak lebih dari imajinasi belaka.
Namun belakangan sepertinya ABW mulai melunak perihal situasi pandemi COVID-19 di wilayah teritorinya. PSBB Transisi bulai berlaku per 5 Juni 2020. Dalam PSBB ini aktivitas ekonomi mulai diizinkan beroperasi kembali meski dengan beberapa pembatasan tertentu seperti jumlah maksimal pekerja sebanyak 50%, pemberlakuan kendaraan ganjil genap, dibukanya kembali tempat-tempat ibadah dengan permberlakuan protokol COVID-19, hingga keharusan untuk tetap mengenakan masker serta menjaga jarak sosial (social distancing).Â
Meskipun per awal Juni mal belum boleh dibuka tapi ABW dalam kesempatan konferensi pers menyebutkan beberapa indikator yang menilai bahwa situasi DKI Jakarta sudah semakin membaik. Sehingga perkiraan 15 Juni 2020 ini mal rencanaya kan diizinkan beroperasi kembali. Tapi untuk tempat-tempat hiburan seperti bioskop, karaoke, dan arena permainan anak masih belum diizinkan.
Dengan mulai beroperasinya beberapa sektor khususnya perkantoran, kereta commuter line pun kembali dipadati penumpang. Sayangnya, protokol COVID-19 yang mengingatkan pentingnya jaga jarak masih sering diabaikan. Berlakunya new normal sepertinya masih belum benar-benar dipahami oleh masyarakat selaku entitas vital dalam momen pandemi ini. New normal sepertinya memang menjadi satu-satunya opsi yang harus dipilih sebagai upaya penyelamatan kondisi bangsa terutama ekonomi.Â
Hanya saja terdapat kesan nekad dalam pemberlakuan hal itu. Kedisiplinan yang rendah menjadi faktor utama yang membuat pemberlakuan new normal memiliki risiko tinggi. Menurut salah satu badan survei dunia, Deep Knowledge Group, Indonesia bahkan masih menempati posisi 97 dari 100 negara teraman dari COVID-19. Dengan kata lain kita masih termasuk sebagai negara dengan risiko tinggi penyebaran virus corona COVID-19.
Situasi Global
Situasi pandemi COVID-19 secara global sebenarnya juga belum menampakkan tanda-tanda membaik atau kalau tidak bisa dibilang semakin memburuk. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) beberapa waktu terkahir ini sempat terjadi penambahan kasus tertinggi dalam satu hari. Negara-negara di kawasan Amerika dan Asia menjadi yang tertinggi penambahan kasus barunya. Sehingga WHO pun meminta segenap negara-negara di dunia untuk tetap bersikap waspada terhadap situasi pandemi ini.Â
Beberapa negara mungkin menampakkan tren penurunan, hanya beberapa negara lain menunjukkan situasi sebaliknya. Akibatnya persebaran kasus secara global pun terkesan tidak mengalami perbaikan samasekali. Hal ini tentu menjadi perhatian kita semua apalagi belajar dari kasus terdahulu akan kemungkinan munculnya gelombang kedua yang lebih parah seperti yang terjadi pada pandemi flu spanyol tahun 1918.
Indonesia selaku negara di kawasan Asia dengan tingkat terinfeksi COVID-19 yang cukup tinggi tentu harus terus menjaga kewaspadaan. Apalagi beberapa waktu lalu wilayah Jawa Timur mencatatkan penambahan kasus baru dalam jumlah yang cukup tinggi. Padahal PSBB Surabaya Raya baru saja berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Alasan ekonomi kembali menjadi pertimbangan utama keputusan itu. Apabila "dipaksakan" berlanjut maka situasi ekonomi dikhawatirkan akan semakin memburuk.
Melihat situasi yang sebenarnya penuh risiko ini sebuah keputusan dari Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya justru terkesan kontradiktif. Peraturan yang menetapkan kapasitas penumpang transportasi umum dan kendaraan pribadi sebanyak 50% kemarin (09/06) diputuskan dicabut.Â
Aturan tersebut secara resmi dihapus dari peredaran. Meski peraturan terkait social distancing masing diberlakukan akan tetapi hal itu tetap tidak menghilangkan kesan bahwa penumpang kendaraan kembali diizinkan untuk bejubel kembali. Sebagian kalangan menyayangkan keputusan ini seperti yang dicuitkan oleh komika Ernest Prakasa melalui laman twitter miliknya.
Dari beberapa situasi yang terjadi belakangan ini mulai dari pelonggaran PSBB, akhir PSBB, pemberlakuan new normal, pencabutan aturan kapasitas 50%, tapi disisi lain penambahan kasus masih terus terjadi bahkan dalam jumlah besar dan ditambah Indonesia masuk kategori negara berisiko COVID-19 sepertinya bisa ditarik benang merah dari semua hal tersebut. Indonesia sedang mengarah pada "Herd Immunity" atau "Kekebalan Kelompok".
Apa itu kekebalan kelompok? Mengutip dari laman kemenkes.go.id herd immunity merupakan kondisi ketika sebagian besar populasi memiliki kekebalan terhadap penyakit menular tertentu sehingga mempu memberikan perlindungan secara tidak langsung atau menjadi kekebala kelompok bagi mereka yang tidak kebal terhadap penyakit menular tersebut. Untuk menciptakan kekebalan kelompok ini diperlukan setidaknya 70% - 90% populasi memiliki kekebalan tersebut agar mampu menekan laju persebaran penyakit lebih jauh.
Namun strategi ini beberapa waktu lalu disangkal penerapannya oleh pemerintah. Strategi ini sendiri sudah diadopsi oleh beberapa negara seperti Swedia, Belanda, dan juga Inggris.Â
Swedia menjadi yang terdepan dalam penerapan strategi ini mengingat Belanda dan Inggris yang mundur teratur menerapkan herd immunity dan berganti ke kebijakan pembatasan sosial seperti lockdown atau PSBB ala Indonesia. Per 9 Juni 2020 kemarin Swedia sudah mencatatkan 45 ribu lebih kasus positif. Dan sepertinya Swedia juga akan melakukan langkah mundur meninggalkan strategi herd immunity dalam mengatasi pandemi di negaranya.
Herd immunity dikecam oleh WHO karena dapat menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa. Strategi ini memang terkesan "mengizinkan" virus untuk menginfeksi tubuh seseorang kemudian merawat mereka agar sembuh dan memiliki kekebalan alami. Semakin banyak yang sembuh dari virus maka akan memperkuat kekebalan kelompok sehingga sebagain orang akan terlindungi dari paparan virus.Â
Permasalahannya, jumlah yang harus memiliki kekebalan alami itu tidaklah sedikit. Sekitar 70% - 90% tergantung tingkat keganasan virus atau penyakit yang menular tersebut. Dengan demikian risikonya memang sangat besat apabila mengadopsi strategi ini. Mengadopsi herd immunity  tanpa adanya antivirus sa seperti bunuh diri.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, pada medio Maret 2020 lalu sudah menyebutkan bahwa kekebalan kelompok atau herd immunity ini berpotensi melanggar sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam perkiraan Dradjad kala itu, kekebalan kelompok mungkin terjadi apabila minimal 60% masyarakat terpapar oleh virus.Â
Dengan tingkat mortalitas pandemi COVID-19 di Indonesia yang cukup tinggi maka bisa dibayangkan betapa besar risiko kematian yang dihadapi oleh warga negara kita. Apalagi mengingat jumlah penduduk kita yang cukup besar. Skenario ini bisa sangat berbahaya apabila herd immunity diterapkan.
Dengan segala risiko yang menyertainya tentu kita berharap bahwa herd immunity bukanlah strategi yang dipilih oleh pemerintah dalam menangkal pandemi demi upaya penyelamatan ekonomi. Banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum menggunakan strategi itu. Semoga "tanda-tanda" yang beringinan yang mengarah pada pembiaran interaksi sosial kembali seperti masa normal bukan dimaksudkan ke arah itu.Â
Sebagaimana suara mayortias hasil survei yang menginginkan agar pemerintah menyelamatkan ekonomi sekaligus menyelamatkan kesehatan warganya maka hal itulah yang mesti menjadi acuan utamanya. Dan kita sebagai warga negara juga semestinya menyadari arti penting disiplin diri mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan agar kita tidak dengan sengaja mengarahkan sikap dan tindakan kita pada strategi herd immunity itu. Semua tergantung pada diri kita masing-masing.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]; [8] [9]; [10]; [11]; [12] [13]; [14]; [15]; [16] [17]; [18]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H