Semua negara yang rakyatnya terpapar COVID-19 semakin "kepanasan" dibuatnya. Tidak hanya negara miskin, kecil, atau negara berkembang yang kelimpungan.Â
Negara kaya macam Italia, Prancis, Singapura, bahkan hingga China dan Amerika Serikat (AS) dibuat bertekuk lutut tak berdaya. Ekonomi bergejolak.Â
Pertumbuhan ekonomi jauh merosot ketimbang sebelumnya. Jumlah pengangguran menganga. Terlebih kemiskinan, yang seolah menemui periode yang semakin sulit. Gelontoran dana triliunan digelontorkan guna "memadamkan" efek dari pandemi yang ternyata tak kunjung padam.Â
Daripada menunggu COVID-19 terlanjur meluluhlantakkan semuanya, sebagian negara memilih untuk tetap bangkit di tengah keterpurukan yang masih terus terjadi. "Memaksa" roda ekonomi kembali berputar biarpun ia belum padam dari bara api yang membakarnya.
Iran merupakan salah satu negara yang mengalami kondisi terburuk akibat COVID-19. Perekonomiannya carut marut. Dan dikabarkan bahwa Iran menjadi negara pertama yang berada diambang kebangkrutan akibat pendemi yang melanda negaranya.Â
Presiden Hassan Rouhani pun terpaksa mencari pinjaman ke organisasi moneter global, International Monetary Fund (IMF), untuk menyelamatkan negara tersebut dari ancaman kebangkrutan.Â
Kondisi Iran yang mengalami embargo dari AS dan sekutunya memang cukup membebani negara tersebut untuk bangkit dari situasi pelik. Hanya segelintir pihak saja yang bisa diminta bantuan untuk turut memperbaiki keadaan yang ada.
Setali tiga uang dengan Iran, Indonesia sebenarnya juga mengalami situasi serupa. Indonesia melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sudah melayangkan pengajuan utang ke beberapa pihak.Â
Semua ditujukan untuk mengatasi situasi pandemi yang pada kuartal pertama 2020 ini membuat pertumbuhan ekonomi jauh dari harapan. Tapi sepertinya hutang yang sudah dilakukan masih belum cukup untuk menutup kebutuhan anggaran.Â
Masih butuh hutang yang lain lagi. Hutang yang lebih banyak seiring kebutuhan yang memang banyak. Bahkan sebuah lembaga studi Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memperkirakan bahwa Indonesia akan menarik hutang sekitar Rp 1.400 triliun selama masa pandemi COVID-19.Â
Jumlah ini jauh melebihi hutang-hutang pemerintah pda tahun-tahun sebelumnya. Per Maret 2020 hutang pemerintah setidaknya sudah mencapai Rp 5.000 triliun lebih. Entah berapa besar penambahan hutang kita pasca pandemi ini kelak.
Potensi Negara Bangkrut
Iran hampir bangkrut sehingga memerlukan sokongan hutang dari IMF. Tapi sebenarnya masalahnya tidak berhenti sampai disitu. Pertama, hutang yang diajukan Iran kepada IMF belum tentu menjadi solusi manjur atas permasalahan yang mereka alami.Â
Bukan mustahil hutang mereka masih harus ditambah lagi. Seperti yang belakangan dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Terus menambah hutang karena sudah tidak ada lagi sumber daya dari dalam yang mampu meng-cover itu.Â
Bahkan baru-baru ini juga tengah ramai perdebatan mengenai wacana cetak uang. Ketimbang hutang ke asing, "lebih baik" cetak uang saja dan disalurkan langsung kepada mereka yang layak menerimanya.Â
Meski dengan risiko inflasi yang luar biasa. Boleh dibilang permaslahan akibat pandemi COVID-19 sudah semakin pelik. Mencetak uang menimbulkan masalah, berhutang pun memicu masalah lain.
Menilik kasus Iran yang mengajuan pinjaman ke IMF, sebagain bangsa Indonesia tentu masih terngiang kenanngan krisis 1998. Saat dimana ekonomi kita begitu carut marut dibuatnya. Indonesia begitu terpuruk dan terpaksa harus mengajukan pinjaman besar kepada IMF. Apakah cuma-cuma pinjaman itu diberikan? Ternyata tidak. Boleh dibilang harganya sangat mahal.Â
Selain "kewajiban" untuk membayar bunga hutang, kala kesepakatan pinjaman itu dibuat antara almarhum Presiden Soeharto dan pihak IMF ada sebuah syarat lain yang sangat memukul psikologis bangsa ini.Â
Indonesia yang waktu itu bersiap meluncurkan pesawat terbang mutakhir bikinan bangsa sendiri, N250, terpaksa harus mengubur impian tersebut dalam-dalam. N250 yang sayogyanya akan segera diproduksi masal terpaksa harus ditutup seiring persyaratan dari IMF yang meminta dihentikannya program strategis.Â
Jikalau Indonesia tidak perlu berhutang ke IMF, mungkin kita sekarang memiliki industri dirgantara yang bisa menyaingi kehebatan Airbus ataupun Boeing. Apakah Iran akan bernasib serupa dengan Indonesia? Mungkin iya, dan mungkin juga tidak.Â
Tapi Indonesia sendiri pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah "berkomitmen" untuk tidak lagi-lagi meminjam uang ke IMF. Hutang yang menjadi sebab pudarnya harapan N250 mengudara sudah dilunasi pada tahun 2006 yang lalu. Sejak saat itu Indonesia bersih dari hutang ke IMF.
Meski sepertinya hal itu mulai goyah seiring terjangan pandemi COVID-19. Semakin dalam Indonesia terjerembab akibat COVID-19, maka kemungkinan hutang ke IMF tidak bisa dihindari lagi.
Jikalau kondisi seperti itu terjadi, maka kita harus bersiap menerima kenyataan pahit sebagaimana pernah alami dahulu. Terkekang oleh syarat "gono-gini" dari IMF yang riskan membuat kita kehilangan kedaulatan menentukan kebijakan.
Sayangnya, itu bukan akhir dari risiko yang ditimbulkan oleh COVID-19. Apabila dalam jangka panjang ternyata kita gagal membayar hutang-hutang yang bejibun jumlanya itu, hal itu riskan membuat kita menjadi negara bangkrut. Berkaca dari Yunani, Argentina, Venezuela, dan beberapa negara lain yang mengalami kondisi bangkrut.Â
Efek yang dialami oleh negara bangkrut diantaranya pasar saham crash, semua lembaga keuangan mengalami kegagalan, program pendanaan pemerintah berakhir, keamanan terganggu, bisnis-bisnis tutup, penjarahan masal, hingga perubahan tatanan sistem pemerintahan.Â
Tahun 1998 Indonesia "hampir" mengalami nasib nahas itu, dan sebuah era pemerintahan yang disebut "order baru" itu menemui "ajal". Berganti dengan era yang dinamai dengan "era reformasi".
Kondisi 2020 semakin pelik. Sengatannya dirasakan oleh banyak negara. Semua pun was-was seiring kemungkinan akhir dari pandemi yang serba tidak jelas. Ditengah situasi semacam itu, setiap negara juga dituntut untuk tetap eksis.Â
Tak ayal hutang pun menjadi jalan keluar. Hutang pun makin menumpuk. Termasuk juga dialami oleh Indonesia. Perkara hutang akan dilunasi dengan cara apa dan oleh siapa adalah urusan nanti. Yang penting adalah sekarang.Â
Syukur-syukur jika pemerintah yang ada sekarang mampu melunasi tunggakan yang dibuatnya tepat sebelum masa baktinya berakhir. Karena akan menjadi sangat "sakit" apabila hutang tersebut kembali diwariskan kepada "rezim" selanjutnya yang tidak memiliki kesepahaman dengan rezeim yang ada sekarang. Lebih sakit lagi apabila hutang-hutang itu mengalami gagal bayar.
Sebagai warga negara tentu kita tidak cukup memiliki kewenangan atas kebijakan-kebijakan semacam itu. Kita hanya bisa mencoba berperilaku cermat dan cerdas di tengah situasi pandemi sembari berharap bahwa pandemi ini segera berakhir.Â
Sehingga tidak perlu lagi pemerintah hutang san-sani untuk tetap mempertahankan eksistensi negara kita. Dan kita harus cukup yakin bahwa semua akan segera kembali membaik seperti semula.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :Â [1]Â [2]Â [3]Â [4]Â [5]Â [6]Â [7]Â [8]Â [9]Â [10]Â [11]Â [12]Â [13]Â [14]Â [15]Â [16]Â [17]Â [18]Â [19]Â [20]Â [21] [22]Â [23]Â [24]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H