Total kasus terinfeksi virus corona covid-19 di Indonesia per 26 Maret 2020 kemarin sudah mencapai angka 893 kasus. Dengan 78 diantaranya meninggal dunia dan baru 35 orang yang dinyatakan sembuh. Meski angka ini tergolong jumlah yang besar, namun hal ini masih dianggap belum mewakili kondisi yang sebenarnya.
Sebuah lembaga riset pemodelan mastematis yang berbasis di London, Inggris, baru-baru ini menyatakan bahwa angka yang dipublikasikan pemerintah Indonesia sebenarnya hanya 2 persennya saja dari total kasus sebenarnya. Dengan kata lain masih ada puluhan ribu kasus lain yang belum terdeteksi.
Angka yang dirilis oleh situs resmi penanganan virus corona di Indonesia, covid19.co.id, adalah jumlah kasus yang terkonfirmasi oleh pemerintah. Artinya, ada kemungkinan banyak kasus serupa yang belum terkonfirmasi di luar sana.
Jumlah 893 kasus atau angka yang dirilis sebelum dan setelahnya bisa dibilang sebagai angka "semu", bukan angka yang sebenarnya. Tak ayal banyak pihak yang menuding bahwa pemerintah kurang transparan dalam menyampaikan seluruh informasi terkait covid-19 kepada masyarakat.
Namun, benarkah pemerintah tidak transparan? Belum tentu juga. Pemerintah Indonesia mungkin sudah berupaya sekuat tenaga untuk memberikan informasi terakurat kepada publik. Hanya saja mereka juga terkendala oleh beberapa hal sehingga belum maksimal menyerap serta mempublikasi semua informasi data yang ada.
Pemerintah harus melakukan konfirmasi status kesehatan orang per orang melalui sebuah tes yang tidak sebentar. Terlebih dengan jumlah penduduk kita yang begitu banyak dan peralatan yang masih terbatas.
Mau tidak mau hal ini membuat pendeteksian dan penanganan yang dilakukan terkesan jalan ditempat. Padahal sebenarnya berjalan hanya saja lambat jalannya. Korea Selatan bisa melakukan tes covid-19 untuk 15.000 warganya hanya dalam tempo satu hari. Kita masih belum mampu.Â
Jangankan Indonesia, Amerika Serikat saja masih belum bisa menyamai level yang dilakukan Korea Selatan. Setidaknya untuk beberapa waktu lalu.
Angka 34.000 kasus terinfeksi sebagaimana diperkirakan pakar di Inggris bisa saja benar adanya, tetapi tetap butuh dikonfirmasi terlebih dahulu oleh pemerintah melalui uji lab dan sejenisnya.
Selain terkait keterbatasan alat uji virus corona, ada hal lain yang cukup menghambat deteksi dini dilakukan. Stereotip sosial. Sebagian masyarakat kita masih meyakini bahwa mengidap penyakit tertentu adalah aib dan sesuatu yang memalukan. Sehingga tidak jarang masih banyak yang diam-diam saja biarpun sebenarnya mereka mengalami gejala awal terinfeksi corona.
Apabila mereka "mengakui" aib itu ke publik maka muncul kekhawatiran akan dijauhi orang-orang di sekitar, takut dikucilkan dari pergaulan, dan sebagainya. Memang tidak semua orang memiliki perasaan seperti ini, terutama bagi orang-orang yang tinggal di kota besar dan memiliki kesadaran akan arti penting kesehatan bagi dirinya sendiri dan orang lain.