Pemahaman ini harus diluruskan, bahwa mengidap penyakit bukanlah aib. Apalagi penyakit yang disebabkan oleh pandemi virus corona seperti sekarang ini. Kesadaran diri untuk terbuka dan berobat ke pusat fasilitas kesehatan adalah langkah yang tepat untuk dilakukan.
Satu hal lagi yang terindikasi menjadi kendala validitas informasi pandemi covid-19 adalah kekhawatiran masyarakat akan biaya perawatan tatkala divonis sakit atau terinfeksi virus.
Siapa yang mau membayar biaya pengobatan? Siapa yang membiayai kehidupan keluarga apabila seseorang dinyatakan terinfeksi dan harus menjalani prosedur isolasi? Aspek ekonomi ini mungkin perlu menjadi sisi perhatian serius pemerintah.
Jujur saja beberapa waktu lalu saat pandemi ini mulai diinformasikan menjangkiti Indonesia, saya sendiri sempat bertanya siapa gerangan yang akan menanggung biaya selama masa perawatan seseorang yang terinfeksi covid-19. Saya sempat mengira bahwa sang pasien sendirilah yang harus menanggung biaya pengobatan dirinya.
Namun belakangan saya mengetahui bahwa seluruh biaya perawatan pasien positif corona ternyata ditanggung oleh negara, dan hal ini sudah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan serta Pasal 9 Ayat 3 Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Sehingga seharusnya masyarakat tidak perlu lagi khawatir atas biaya pengobatannya.
Yang menjadi permasalahan justru nasib keluarga yang menjadi tanggungan dari seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi covid-19. Bagi sebagian orang, gejala ringan hanya akan dianggap biasa saja. Mereka akan tetap memilih bekerja seperti biasa, berobat ala kadarnya, mengupayakan asupakan makanan keluarga tetap tercukupi, sembari berharap segera sembuh.
Belum tentu orang-orang seperti ini memahami apa itu virus corona. Apakah dirinya terinfeksi coronavirus atau tidak. Orang-orang seperti ini bukan tidak mungkin termasuk diantara 34.000 orang yang dimaksudkan oleh lembaga penelitian di London itu.
Pemerintah memang memiliki kewajiban untuk memastikan kesehatan atas seluruh warganya. Akan tetapi, kita sebagai warga negara juga harus turut serta membantu mereka. Memiliki kesadaran untuk proaktif terkait kondisi kesehatan pribadi masing-masing.
Pemerintah kita, khususnya pemerintah pusat tentu memiliki keterbatasan. Baik itu dalam hal peralatan pun juga jangkauan. Apalagi melihat kondisi geografis alam Indonesia.
Sejauh ini, pemberitaan jumlah korban terinfeksi corona sudah tersebar ke 24 provinsi. Kasus terbesar terjadi di wilayah provinsi DKI Jakarta. Per 26 Maret 2020 saja di Jakarta mendominasi dengan 515 kasus. Jauh mengungguli Jawa Barat dengan 78 Kasus, Banten 67 kasus, atau Jawa Timur 59 kasus.
Di sini ada satu hal menarik jikalau kita perhatikan lagi. Jumlah korban terbesar berada pada wilayah sekitar pusat pemerintahan. DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Mengapa? Ada dua kemungkinan.