Mencari hunian murah di kota metropolitan yang bisa dibuat tidur bisa dibilang susahnya minta ampun. Harga ratusan ribu per bulan untuk sewa bisa dibilang sebagai harga yang "murah", karena tidak sedikit yang mencapai angka jutaan rupiah untuk tarif per bulannya. Terlebih untuk kota sekaliber Jakarta.Â
Harga kos-kosan "normalnya" di atas angka Rp 1 juta. Tarif seharga dibawah Rp 500 ribu adalah sesuatu yang sangat sulit ditemukan. Kalaupun ada, kelayakan untuk dihuni patut dipertanyakan. Seperti sebuah kos-kosan yang menyewakan hunian berukuran kurang lebih 2 x 1 meter yang belakangan ini viral di media sosial. Sebuah hunian kecil yang ukurannya lebih mirip peti mayat dibandingkan sebagai tempat melepas penat.
Hidup ditengah kota besar mau tidak mau membuat kita harus mengeluarkan cukup banyak uang untuk membeli kebutuhan makanan, transportasi, hingga tempat tinggal. Mereka yang berpenghasilan cukup tentu tidak terlalu bermasalah hidup di kota besar. Akan tetapi bagi mereka yang pendapatannya pas-pasan tentu akan mempertimbangkan betul setiap potensi pengeluaran yang mereka lakukan.Â
Untuk makan mencari harga yang paling murah, nasi lauk tahu tempe tanpa sayur barangkali merupakan opsi terbaik. Transportasi cukup dengan berjalan kaki. Untuk tempat tinggal? Sebagian ada yang sampai harus tidur di kolong jembatan sekadar agar uangnya tidak habis untuk membayar sewa tempat tinggal.
Bagi pemilik hunian atau rumah di kota-kota besar seperti Jakarta sebagian memandang hal ini sebagai kesempatan dalam kesempitan. Peluang bisnis hunian mereka jalankan untuk "menjaring" orang-orang yang ingin memiliki tempat beristirahat dengan harga murah.Â
Seiring dengan terbatasnya tempat, maka "kreativitas" para pemiliki hunian ini pun mengalir. Terinspirasi dengan hunian kecil di negara maju seperti Jepang atau beberapa negara lain maka kemudian hal itu "diadopsi" dengan menyediakan hunian "mnimalis" berharga murah.Â
Akhirnya lahirlah sebuah "peti mayat" berukuran 2 x 1 ditambahkan kasur untuk istirahat. Sebuah hunian yang menjadi alternatif para pencari "papan perlindungan" di kota metropolitan.
Sayangnya, kreativitas yang lahir ini bukanlah sesuatu yang cukup baik untuk diapresiasi. Malah justru menjadi "karya" penuh ironi karena samasekali tidak manusiawi.Â
Konsep hunian 2 x 1 ini ibarat menyewakan peti mayat untuk ditempati. Barangkali pemilik "bisnis" ini ingin benar-benar mengefisienkan tempat keterbatasan tempat yang ia miliki agar mampu memuat cukup banyak penghuni didalamnya. Hanya saja ia tidak mempertimbangkan atau bisa dikatakan mengabaikan aspek kemanusiaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Padahal sebuah bisnis hendaknya didasarkan pada semangat memberikan kemaslahatan bagi orang lain, bukan sebaliknya.
Kreativitas Penyediaan Hunian Murah Layak Huni
Penggerebekan dan penutupan kos-kosan 2 x 1 oleh Satpol PP beberapa waktu lalu sudah cukup tepat dilakukan. Selain karena memang tidak berizin, tidak ada gunanya mempertahankan operasi bisnis yang tidak manusiawi ini. Memang ada aspek positif dari hunian mini ini, yaitu ongkos inap yang lebih murah daripada kebanyakan hunian lain di kota besar. Hanya sebatas itu saja. Selebihnya tidak ada lagi.
Hal ini semestinya menggelitik kita semua untuk memberikan solusi bagi saudara-saudara kita yang berharap memiliki hunian di kota besar, tempat mereka mencari nafkah. Sebuah solusi yang manusiawi. Bagaimanapun juga orang-orang yang mencari peruntungan di kota besar tetap butuh tempat istirahat.Â
Jangan salahkan mereka yang bersedia membayar tempat sewa seperti kos-kosan 2 x1, karena barangkali memang hanya itu saja opsi yang masuk dalam anggaran mereka. Jangan juga menyuruh mereka kembali ke kampung halaman dan mencari peruntungan disana, karena bisa jadi ladang penghasilan mereka memang hanya bergantung pada keberadaan mereka sebagai "petualang" di kota besar.
Siapapun orang yang bersedia menghuni tempat berukuran 2 x 1 tetaplah manusia yang harus dimanusiakan. Mereka masih bernafas dan hidup. Belum waktunya bagi mereka menempati tempat sekecil itu. Pertanyaannya sekarang, adakah solusi bagi para penghuni tempat kos-kosan itu setelah mendapati bahwa hunian yang mereka tempati ditutup? Barangkali hal ini yang seringkali luput dari perhatian.Â
Seandainya uang sewa sudah mereka bayarkan dan ternyata mereka tidak memiliki cukup anggaran untuk mendapatkan hunian baru maka apa yang harus mereka perbuat? Tidur di emperan toko? Penutupan kos-kosan 2 x 1 disatu sisi memang menghapus praktek bisnis tidak manusiasi.Â
Akan tetapi hal ini semestinya juga dibarengi upaya dari pihak-pihak terkait agar memperhatikan nasib penghuni pasca penutupan. Terutama mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk mencari tempat menginap. Minimal mereka ditampung sementara sampai batas waktu tertentu agar tidak sampai terbengkalai tanpa kejelasan. Semoga hal ini memberikan kita pelajaran berharga.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H