Setiap kali berbelanja di minimarket seperti al**mart atau in**mart, ketika kita mendapatkan uang kembalian dengan jumlah nominal kecil alias receh sekitar seratus atau dua ratus perak, maka pada umumnya petugas kasir akan menanyakan kesediaan kita untuk mendonasikan uang tersebut atau tidak.Â
Apabila kita sepakat, maka uang kembalian tersebut akan diproses sebagai bentuk donasi kita kepada lembaga yang bekerjasama dengan pihak al**mart atau in**mart tersebut.Â
Terkait penyikapan terhadap kondisi ini, masih ada dua opini besar yang berseberangan. Salah satu pihak sepakat untuk tidak mempermasalahkan donasi yang mereka berikan melalui pihak toko.Â
Sedangkan pihak lain ada yang mengaku khawatir bahwa donasi yang mereka berikan akan salah sasaran. Bagaimanapun juga, donasi yang sepintas terlihat kecil itu sebenarnya tidaklah sebatas yang kita lihat saja.Â
Setiap hari ada berapa banyak orang yang berbelanja dan mendapatkan kembalian uang receh. Bayangkan betapa besar nominal yang dihasilkan dari donasi "uang receh" ini.
Masing-masing pihak tentu memiliki latar belakang pertimbangan sendiri-sendiri. Mungkin ada yang khawatir donasi mereka akan disalurkan kesuatu lembaga yang tidak mereka kehendaki, mungkin ada yang ragu bahwa uang donasi itu benar-benar akan disalurkan atau tidak, dan lain sebagainya.
Namun secara garis besar, keraguan sebagian orang terhadap uang donasi yang mereka salurkan melalui toko-toko ritel itu adalah terkait kemungkinan terjadinya salah sasaran dalam pengalokasian. Sebenarnya saha-sah saja alasan itu dilayangkan, karena bentuk donasi pun sebenarnya hanyalah kesukarelaan semata.Â
Hanya saja bagi pihak-pihak yang memiliki pemikiran serupa belum tentu semuanya "menolak" untuk berdonasi. Bisa jadi mereka sebenarnya ragu dengan sistem penyaluran dana, mungkin saja mereka khawatir kalau bersedekah pada orang yang salah, dan sebagainya.Â
Akan tetapi mengeluarkan statement atau mengucapkan kata-kata "menolak" berdonasi untuk sejumlah kecil uang receh sepertinya tidak setiap orang "mampu" melakukannya.Â
Ada rasa sungkan, malu, atau tidak enak hati. Terlebih ketika ada beberapa pembeli lain yang sedang mengantri. Rasanya sedikit aneh ketika kasir menanyakan kesediaan kita mendonasikan kembalian uang seratus perak lantas kita menjawab, "Tidak bersedia!".
Berdonasi adalah hak setiap pembeli, karena mereka mengeluarkan dari sisa uang kembalian belanjaan mereka. Angka-angka receh itu cukup berharga, terbukti toko-toko ritel masih melabeli harga barang-barang mereka dengan banderol angka recehan dibelakang nominal "utama".Â
Mereka menjual minyak goreng seharga Rp 22.300,- , menjual susu bayi seharga Rp 89.700,-, dan lain sebagainya. Ada embel-embel angka Rp 300,-, Rp 700,- , dan angka-angka receh lain mau tidak mau tetap harus dibayar serta mendapatkan kembalian recehan.Â
Oleh karena itu pihak ritel pun mestinya juga harus bisa menghargai orang-orang yang barangkali belum berkenan untuk berdonasi di tempat mereka, terlepas apapun alasannya.Â
Bukankah pihak toko ritel sudah menanyakan kesediaan dari pembeli dulu sebelum memberi donasi? Seperti tadi dikatakan, rasa sungkan, malu, dan tidak enak hati masih ada di benak sebagain orang.Â
Mungkin pihak ritel cukup menampilkan kesediaan di layar depan kasir sembari memberi waktu beberapa detik kepada pembeli untuk menyetujui donasi atau tidak.Â
Apabila pembeli mengabaikan tampilan di layar, maka hal itu bisa dianggap bahwa si pembeli belum bersedia untuk mendonasikan sisa uang kembaliannya.Â
Dengan demikian si pembeli tidak merasa "ditodong" oleh kasir untuk berdonasi di hadapan para pembeli lain. Hal ini semestinya lebih bijaksana.
Sedekah Salah Sasaran?
Tidak sedikit dari kita yang khawatir bahwa donasi yang telah diberikan melalui toko-toko ritel akan disumbangkan kepada pihak-pihak yang tidak tepat.Â
Meski dari pihak ritel sudah seringkali mempublikasikan aktivitas penyaluran dana hasil donasi mereka hampir di setiap toko-toko tempat mereka beroperasi.Â
Wajarkah kalau kita khawatir dengan kemungkinan adanya salah sasaran dari donasi atau sedekah yang kita berikan? Sebenarnya wajar-wajar saja.Â
Oleh karena itu, apabila memang kita ragu dan was-was dengan berbagai kemungkinan itu maka alangkah baiknya apabila kita menanyakan beberapa hal yang meragukan kita kepada pihak-pihak terkait.Â
Hilangkah keraguan itu dengan mengecek data dan fakta, jangan hanya sekadar mempercayai asumsi atau kata orang semata.Â
Menilai buruk sebuah organisasi yang menggalang donasi tanpa memiliki dasar dan bukti yang benar bukanlah sebuah sikap yang bijaksana tentunya.
Jika sedari awal kita sudah meyakini bahwa niatan kita bersedekah itu hanya ditujukan kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan, sedangkan untuk realiasinya kita yakinkan sepenuhnya kepada Sang Mahamengetahui, maka apa yang kita lakukan itu tetap akan bernilai sebagai suatu ibadah.
Terkecuali kita mengetahui betul bahwa ternyata kita berdonasi dengan maksud disalurkan kepada kelompok-kelompok yang tidak tepat seperti kelompok radikal, atau sejenisnya.
Sesungguhnya amal ibadah kita tergantung dari niat. Seperti apa niatan yang kita miliki, hal itu akan mempengaruhi kualitas dari donasi atau sedekah yang kita berikan.Â
Menjadi orang yang tulus dan senang berbagi kepada sesama justru semakin baik dilakukan jika tidak sebatas melalui uang receh saja, namun dalam jumlah yang lebih besar dan kualitas yang lebih baik.Â
Bersedekahlah dengan yang terbaik. Ketika kita mampu memberikan sesuatu berharga yang kita miliki demi membantu orang lain, maka pada saat itulah kita telah bertumbuh menjadi pribadi yang hebat luar biasa. Pribadi yang berjiwa besar dan bervisi besar.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H