Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kebohongan Lebih Menjanjikan Kenyamanan daripada Kejujuran

25 Maret 2019   07:44 Diperbarui: 25 Maret 2019   07:47 2215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah kejujuran membutuhkan tekad, kekuatan, dan dukungan (Ilustrasi gambar : https://anvilmotion.com)

Slogan yang diusung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dulu sempat populer mungkin berupakan sebuah nilai idealisme yang semakin sulit ditemui sekarang ini. 

Berani jujur hebat. Kejujuran merupakan nilai mulia yang kini terasa begitu mahal dimiliki oleh seseorang. Demi sebuah keuntungan lebih, seseorang rela berbohong. 

Demi menghindari murka atasan, seseorang lebih memilih berkata bohong daripada mengutarakan kejujuran. Demi agar mendapatkan peningkatan karir, seseorang melakukan manipulasi data. 

Ada begitu banyak jalan pintas yang ditawarkan sebuah kebohongan sehingga seseorang tergoda untuk mengikutinya. Lebih parah lagi ketika kebohongan itu sudah membudaya dalam sebuah organisasi, institusi, lembaga, atau bahkan didalam lingkungan keluarga. 

Akibatnya mereka yang berusaha mempertahankan diri dengan kejujurannya terasa diasingkan atau dipandang sinis oleh lingkungannya. Nilai-nilai positif budaya jujur terasa tenggelam dan dipandang terbalik oleh sebagian masyarakat kita.

Memiliki kejujuran didalam diri ibarat memiliki harta yang sangat berharga. Nilai sebuah kejujuran diakui sebagai sesuatu yang mulia oleh setiap orang. Seorang pembohong sekalipun ketika dirinya dibohongi mungkin tidak akan menyukainya. 

Sebenarnya kita semua menyukai dan mengakui kemuliaan dari sikap jujur. Namun terkadang situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar seolah menghipnotis atau memaksa kita mengingkarinya. 

Tawaran yang diberikan sebuah kebohongan umumnya langsung berdampak instan. Seorang yang melakukan kecurangan dalam mengurangi timbangan jualannya, akan memperoleh keuntungan saat itu juga. 

Karyawan yang menyampaikan informasi bohong bisa saat itu juga terhindar dari murka sang atasan. Berbeda halnya dengan penerapan kejujuran. Seringkali bukan dampak instan yang diterima, ganjaran yang diterima kebanyakan tidak bisa diperkirakan. 

Kadangkala butuh waktu hingga bertahun-tahun untuk merasakan indahnya kejujuran. Satu hal yang bisa dipastikan, sebuah kejujuran pada akhirnya akan berujung manis. Meski diawalnya ada kedukaan atau kesukaran, diakhir cerita kejujuran akan menunjukkan keindahannya.

Kejujuran adalah nilai mulia yang membudaya apabila hal itu ditanamkan sebagai kebiasaan didalam diri setiap orang. Lingkungan keluarga menjadi titik awal memulai penanaman kebiasaan positif ini. 

Orang tua yang mencontohkan kejujuran akan diikuti oleh anak-anaknya. Orang tua yang menghargai kejujuran dari anak-anaknya akan membangkitkan penghargaan atas pentingnya suatu kejujuran. Tidak sedikit orang tua yang entah sadar atau tidak telah mengajarkan sikap bohong. 

Ketika ada orang tua yang tengah menghindari tagihan utang dari pihak bank atau rekan-rekan mereka, mereka berpesan kepada putra-putrinya agar menyampaikan kalau orang tuanya tengah keluar pada saat nanti ada orang yang datang mencari mereka. 

Padahal sebenarnya sang orang tua ada didalam rumah. Anak-anak sering dijadikan sebagai tameng kebohongan untuk menghindari kesulitan pribadi orang tua. Mereka tidak menyadari bahwa tindakannya itu telah menciptakan mindset bahwa kebohongan itu boleh dan diizinkan.

Didalam lingkungan organisasi juga tidak jauh berbeda. Seakan suatu kebohongan itu lebih dihargai daripada sebuah kejujuran. Pada saat ada seorang karyawan berbuat salah atas pekerjaan yang dilakukannya, hendaknya hal itu menjadi sarana introspeksi diri melalui upaya pengingatan yang bersahabat. 

Kenyataannya, kesalahan yang dilakukan seorang karyawan seringkali dipandang sebagai suatu keburukan yang tak termaafkan. Banyak orang disekitar yang begitu marah, begitu memandang buruk, dan menjauhi para pembuat salah. "Hukuman" yang diterima akan ketidaksempurnaan dalam bekerja terasa begitu berat. 

Sehingga akhirnya tidak sedikit dari para pembuat salah tersebut yang berupaya menyembunyikan kesalahan itu tadi. Ada dilema yang dirasakan oleh mereka yang berbuat salah. 

Di satu sisi mereka sebenarnya ingin mengakui kesahalannya, namun mereka berfikir ledakan kemaran akan merika terima jika hal itu dilakukan. Sedangkan jika kesalahan itu tidak diakui, mereka khawatir akan menimbulkan permasalahan baru yang barangkali lebih pelik. 

Situasi serba salah inilah yang mungkin dihadapi oleh sebagain orang yang hidup dalam lingkungan organisasi. Lingkungan disekitar seseorang berbaur dan berkomunikasi begitu berperan penting menyuburkan atau mengkerdilkan sebuah kejujuran didalamnya.

Terkadang ada keraguan besar ketika sebuah organisasi menggaungkan nilai-nilai kejujuran sedangkan mereka sendiri tidak memberikan apresiasi yang sepantasnya kepada mereka yang berani berkata jujur. 

Komitmen yang dijalankan secara parsial tidak akan mampu memberikan dampak maksimal seperti yang diharapkan. Mewajibkan setiap orang untuk berlaku jujur, namun disisi lain mereka yang berani berbuat itu justru menerima konsekuensi sakit hati. 

Antipati terhadap keujuran semakin tumbuh subur oleh sebab perlakuan seperti itu. Mungkin bagi sebagian orang yang didalam dirinya sudah tertanam kuat nilai-nilai kejujuran dari lingkungan keluarga atau lingkungan pendidikan, perlakuan tidak apresiatif atas kejujuran tidak akan menggoyahkan keyakinan mereka terhadap nilai mulia kejujuran itu sendiri. 

Mereka akan terus menjaga dan menjalankan nilai-nilai mulia kejujuran dimanapun mereka berada karena nilai itu sudah melekat sedemikian kuat didalam dirinya.

Kejujuran penting untuk ditanamkan dan ditumbuhsuburkan oleh lingkungan yang paling sering bersinggungan dengan seseorang. Keluarga serta lingkungan pendidikan adalah tempat terbaik untuk menyemai kemuliaan sifat jujur. Permasalahannya, sistem pendidikan kita juga masih belum sepenuhnya menghargai kejujuran. 

Mewajibkan nilai mata pelajaran sebagai parameter utama kelulusan pendidikan adalah langkah yang berisiko besar mengorbankan kejujuran diri seseorang. Perilaku mencontek demi mendapatkan nilai kelulusan adalah contoh yang paling mudah ditemui. Mungkin inilah Pekerjaan Rumah yang masih perlu diselesaikan oleh pihak-pihak terkait. 

Apabila lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan sudah optimal menumbuhkembangkan dan mengapresiasi nilai-nilai kejujuran, maka menjaga keberlangsungan nilai itu tetap dipandang tinggi adalah yang perlu dilakukan selanjutnya. Lingkungan yang mengapresiasi kejujuran tetap menjadi kunci penting dari upaya ini. 

Jangan sampai ada yang memandang bahwa kebohongan ternyata lebih menjanjikan kenyamanan dan kemananan pribadi dibandingkan ketika ia bersikap jujur.

Salam hangat,

Agil S Habib  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun