Sayangnya, keberadaan kubu itu kini justru terjadi didalam negeri kita sendiri. Demokrasi yang dibangun dengan harapan menghargai setiap sikap dan pandangan politik seseorang ternyata menjadi ajang saling olok, sindir, hingga penghinaan. Kalimat-kalimat tidak pantas seringkali dilayangkan kepada pribadi-pribadi baik yang tidak semestinya diperlakukan demikian. Kefanatikan kita terhadap salah satu kubu semestinya tidak membuat diri kita ini terlihat lebih benar dari orang lain hingga menjustifikasi bahwa kitalah yang benar dan mereka salah.
Baca juga: Generasi Muda, Agent of Change untuk Indonesia Bersih
Pemahaman yang berbeda, ideologi yang berbeda, gagasan yang berbeda merupakan suatu kewajaran dalam berdemokrasi. Ketika segala perbedaan itu justru menjadi pemantik keributan dan permusuhan maka diperlukan keberadaan sosok penengah yang dapat meredam tensi tinggi perdebatan itu. Kita membutuhkan sosok Soekarno yang mendeklarasikan Indonesia dalam gerakan non-blok diantara blok barat dan timur, Amerika Serikat dan Uni Soviet.Â
Saat ini kita butuh pribadi-pribadi yang memiliki jiwa agen of change didalam dirinya sehingga mampu menjadi penghubung sekaligus penghapus sekat pembatas perbedaan gagasan.  Para pribadi pembawa perubahan ini harus bisa memastikan bahwa nanti ketika hasil pemilihan umum Presiden - Wakil Presiden menunjukkan prosentase 49%: 51% untuk masing-masing pangan, hal itu tetap berarti 100% kemenangan untuk warga negara Indonesia.Â
Perbedaan pandangan atau gagasan hanyalah masalah perbedaan jalan untuk mencapai tujuan yang sama. Sehingga tidak ada gunanya apabila perbedaan itu justru menjadikan kita terpecah belah seperti halnya dulu Jerman Barat dan Jerman Timur atau Korea Selatan dan Korea Utara. Mari menjadi agent of change untuk menjaga keutuhan bangsa kita.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H