Gerakan tahun 1998 mungkin merupakan salah satu aksi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Aksi yang dimotori oleh para mahasiswa dalam upaya menggulingkan rezim order baru waktu itu.Â
Setelah beberapa waktu berlalu, masa-masa itu masih terus dikenang oleh hampir setiap mahasiswa di semua perguruan tinggi bahkan hingga saat ini sebagai suatu era dimana mahasiswa tidak hanya bisa duduk di ruang perkuliahan mendengarkan materi dari dosen pengajar saja, akan tetapi mahasiswa juga bisa memberikan arti lebih bagi keberlangsungan sebuah peradaban. Â Mahasiswa dikenal peranannya sebagai agen perubahan (agent of change) yang menjadi inisiator pergantian sebuah era.
Baca juga: Agent of Change, Development, and Modernization: Satu Pemuda Dapat Mengubah Dunia
Ditengah-tengah iklim perpolitikan yang tidak terlalu kondusif seperti sekarang, peranan agent of change sangatlah diperlukan. Hingar-bingar dunia maya yang ramai oleh para netizen dengan segala opininya, keberadaan sosok penebar kesejukan diantara komunitas internet ini sangatlah diperlukan. Â
Adu argumen sebenarnya adalah sesuatu yang sehat dalam demokrasi, akan tetapi ketika didalamnya sudah menyertakan penghinaan, cemooh, bully, ujaran kebencian, dan juga hoaks maka adu argumen itu bisa dikatakan kehilangan esensinya yang murni. Seperti halnya saat ini ketika keberpihakan terhadap gagasan masing-masing calon presiden-wakil presiden justru menjurus pada penyampaian opini negatif saling silang dari setiap kubu.Â
Maksudnya adalah ingin menyampaikan kepada khalayak bahwa salah satu calon memiliki konsep yang lebih baik dari yang lain, hanya saja hal itu dilakukan bukan dengan cara mendeskripsikan dan menarasikan setiap visi misi yang dimiliki masing-masing kandidat secara memikat kepada masyarakat, akan tetapi justru dengan berkoar-koar mempertunjukkan bahwa pihak lawan menyampaikan visi misi yang lebih buruk dengan harapan pihaknya terlihat lebih baik.Â
Kondisi ini telah menjadikan iklim yang tidak sehat dalam pergaulan serta menciptakan kesan permusuhan dari masing-masing kubu yang bersebrangan. Ironisnya, hal ini seakan dibiarkan terjadi tanpa terkendali. Beberapa bahkan terjadi aksi saling lapor kepada pihak kepolisian karena dianggap ada hal-hal yang melanggar hukum. Sangat tidak nyaman sekali situasi dan kondisi seperti ini.
Bcaa juga: Pelajar dan Pemuda sebagai Agent of Change
Mungkin kita semua ingat pasca perang dunia ke-2 pernah terjadi rebutan pengaruh antara dua negara adidaya dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet berikut sekutu-sekutu mereka. Kedua negara besar tersebut terlibat perang dingin yang berkepanjangan. Pada saat negara-negara di seluruh dunia cenderung memiliki keberpihakan kepada salsah satu blok, Indonesia dengan Bung Karno sebagai sosok terdepan bangsa waktu itu dengan gagah menyatakan bahwa Indonesia tidak memilih dan memihak salah satu blok.
 Indonesia menolak untuk menjadi sekutu salah satu antara Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Saat itu kita dikenal sebagai bangsa yang menggagas gerakan non-blok, sebuah sikap politis yang begitu luar biasa untuk sebuah bangsa yang masih muda usia kemerdekaannya. Ketegasan Bung Karno untuk melibatkan Indonesia kesalah satu kubu merupakan sikap seorang agent of change yang terbukti menjadikan kita sebagai bangsa yang disegani bangsa-bangsa lain.Â
Sayangnya, keberadaan kubu itu kini justru terjadi didalam negeri kita sendiri. Demokrasi yang dibangun dengan harapan menghargai setiap sikap dan pandangan politik seseorang ternyata menjadi ajang saling olok, sindir, hingga penghinaan. Kalimat-kalimat tidak pantas seringkali dilayangkan kepada pribadi-pribadi baik yang tidak semestinya diperlakukan demikian. Kefanatikan kita terhadap salah satu kubu semestinya tidak membuat diri kita ini terlihat lebih benar dari orang lain hingga menjustifikasi bahwa kitalah yang benar dan mereka salah.
Baca juga: Generasi Muda, Agent of Change untuk Indonesia Bersih
Pemahaman yang berbeda, ideologi yang berbeda, gagasan yang berbeda merupakan suatu kewajaran dalam berdemokrasi. Ketika segala perbedaan itu justru menjadi pemantik keributan dan permusuhan maka diperlukan keberadaan sosok penengah yang dapat meredam tensi tinggi perdebatan itu. Kita membutuhkan sosok Soekarno yang mendeklarasikan Indonesia dalam gerakan non-blok diantara blok barat dan timur, Amerika Serikat dan Uni Soviet.Â
Saat ini kita butuh pribadi-pribadi yang memiliki jiwa agen of change didalam dirinya sehingga mampu menjadi penghubung sekaligus penghapus sekat pembatas perbedaan gagasan.  Para pribadi pembawa perubahan ini harus bisa memastikan bahwa nanti ketika hasil pemilihan umum Presiden - Wakil Presiden menunjukkan prosentase 49%: 51% untuk masing-masing pangan, hal itu tetap berarti 100% kemenangan untuk warga negara Indonesia.Â
Perbedaan pandangan atau gagasan hanyalah masalah perbedaan jalan untuk mencapai tujuan yang sama. Sehingga tidak ada gunanya apabila perbedaan itu justru menjadikan kita terpecah belah seperti halnya dulu Jerman Barat dan Jerman Timur atau Korea Selatan dan Korea Utara. Mari menjadi agent of change untuk menjaga keutuhan bangsa kita.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H