Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahkota Kemuliaan #1: Kemuliaan Seorang Ibu

26 Desember 2016   21:15 Diperbarui: 26 Desember 2016   21:22 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia paling mulia di dunia ini adalah ibu kita. Beliau yang menghadirkan kita ke dunia ini, beliau yang mengasuh dan membesarkan kita dengan kasih sayangnya, beliau juga menjadi orang pertama yang menangis ketika anaknya menderita, dan kecintaan beliau kepada anak-anaknya jauh melebihi kecintaannya terhadap apapun. Sebuah kisah mengharukan yang terjadi di negara Jepang pada saat tsunami melanda tahun 2011 lalu mungkin bisa menjadi sebuah contoh tentang betapa besarnya cinta seorang ibu. Pada saat bencana tsunami melanda, begitu banyak kerusakan yang ditimbulkan olehnya. 

Gedung-gedung banyak yang runtuh, ratusan mobil terseret air dari ganasnya gelombang tsunami, dan ribuan orang meninggal dunia akibat bencana ini. Pada saat tsunami mereda dan tim penyelamat mulai mencari korban yang selamat, di bawah reruntuhan gedung mereka menemukan sosok perempuan yang sudah tidak bernyawa lagi dalam posisi menelungkup seperti melindungi sesuatu, dan memang benar ketika regu penyelamat melakukan evakuasi terhadap korban meninggal tersebut mereka menemukan seorang bayi mungil berusia sekitar 3 bulan yang tengah tertidur pulas di bawah tubuh ibunya. Perempuan itu adalah seorang Ibu yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan sang buah hati tercinta. Subhanallah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasullullah shallahu’alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasullullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?Nabi  shallahu’alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu.’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi  shallahu’alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertaya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi  shallahu’alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian Ayahmu.’”{HR. Bukhari dan Muslim}.

Sungguh besar penghormatan yang diajarkan oleh Rasullullah kepada sosok seorang ibu hingga beliau mengulangnya sampai tiga kali. Kita harus menghormati ibu kita tiga kali lebih besar dari kita menghormati ayah kita. Perjuangan seorang ibu ketika mengandung dan melahirkan kita amatlah besar. Bayangkan, ketika perut terus membesar beliau tidak bisa lagi tidur seenaknya saja. Begitu banyak pantangan yang harus dihindari selama masa kehamilan. Belum lagi betapa besar rasa sakit yang beliau rasakan tatkala berjuang untuk melahirkan kita ke dunia ini. Sehingga memang sangat layak kiranya seorang ibu untuk dimuliakan.

Perjuangan seorang Ibu untuk anaknya terkadang tidak bisa dinalar secara rasional. Beliau tidak akan terlalu mempertimbangkan untung rugi, sulit tidaknya, atau besar kecilnya risiko dari tindakan yang diambilnya demi melindungi dan membahagiakan anaknya. Kita mungkin pernah mendengar kisah tentang seorang ibu mulia bernama Siti Hajar. Beliau adalah istri dan ibu dari Nabi yang mulia. Beliau adalah istri dari NabiyullahIbrahim ‘Alaihi Sallamdan Ibu dari NabiyullahIsmail ‘Alaihi Sallam. Perjuangan beliau di tengah padang pasir tandus untuk mendapatkan air minum bagi putranya Ismail mungkin bisa dikatakan sangatlah tidak rasional. 

Bagaimana tidak? Di sebuah padang pasir yang tandus, sangatlah kecil atau bahkan bisa dibilang mustahil untuk mendapatkan air minum penghapus dahaga. Namun ibu yang mulia ini mengabaikan hal ini. Terus berlari-lari mencari sumber air demi memberikan minuman untuk sang putra tercinta. Beliau terus berlari melalui tempat yang sama berulang kali, namun beliau tetap tidak mendapatkan air yang dicarinya. Sampai ketika beliau kembali untuk melihat putranya terjadilah sebuah keajaiban besar. 

Di dekat kaki Ismail kecil terlihat mata air yang memancar dari tanah, air yang begitu segar dan bertahan hingga saat ini, air zam-zam. Sikap “irasional” dari seorang Siti Hajar diawali dari rasa kasih sayangnya sebagai ibu yang mengkhawatirkan putranya. Sikap ini semata-mata muncul karena kasih sayang yang teramat besar dari seorang ibu kepada anaknya, hingga sang ibu pun akan melakukan apapun meskipun itu terlhat tidak masuk akal. 

Allah Subhanahu Wata’ala melihat betapa besarnya cinta seorang ibu hingga Dia menunjukkan kekuasaan-Nya dalam wujud air zam-zam yang keberadaannya bisa dinikmati oleh jutaan manusia di dunia hingga saat ini. Usaha tanpa kenal putus asa seorang Siti Hajar yang berlari-lari demi mencari air ini dabadikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam prosesi Sa’i saat pelaksanaan ibadah haji. Sungguh merupakan sebuah penghargaan besar dari Allah Subhanahu Wata’ala kepada sosok ibu.

Sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa surga berada di telapak kaki ibu adalah penekanan kepada setiap orang tentang pentingnya menghormati dan memuliakan ibu. Jika kita menginginkan indahnya surga maka hal yang tidak boleh kita abaikan adalah menghormati dan memuliakan ibu kita, menyenangkan hati ibu, menyayanginya sepenuh hati, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang sebagaimana dulu beliau merawat kita ketika masih kecil. 

Sebuah ironi besar pada era modern seperti sekarang ini dimana begitu banyak anak yang “enggan” merawat ibu mereka sendiri dan lebih memilih untuk “menitipkannya” kepada panti jompo. Naudzubillah.Padahal dulu ketika sang anak masih kecil pernahkah terbersit keinginan dari sang ibu untuk menitipkan anak tercintanya kepada panti asuhan? Bagaimana mungkin wangi aroma surga bisa dicium, indahnya pemandangan surga bisa dipandang, dan nikmatnya air surga bisa diteguk oleh anak yang mengabaikan ibu mereka sendiri? Kita berhutang budi yang sangat besar kepada ibu, dan sampai kapanpun kita tidak akan bisa membalas jasa dari seorang ibu yang memberikan cintanya untuk diri kita.

Dalam sebuah keluarga, ibu mungkin adalah sosok yang cerewet kepada anak-anaknya. Setiap hal kecil yang tidak berkenan dibenaknya akan langsung dituangkan begitu saja melalui ucapan-ucapannya yang khas (baca: mengomel). Kita sering menganggap ibu kita bawel, ibu kita banyak bicara, dan lain sebagainya. Namun kita pasti sepakat bahwa seorang ibu pada dasarnya sangatlah mencintai putra-putrinya. Dibalik sikapnya yang mungkin cerewet tersimpan rasa sayang teramat besar kepada putra-putrinya. 

Dari para ibu hebat lahirlah orang-orang hebat. Nabi Isa ‘Alaihi Salam adalah seorang nabi dan rasul yang mulia, beliau dilahirkan oleh seorang perempuan suci nan taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala bernama Siti Maryam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mulia pun juga dilahirkan oleh seorang ibu, Siti Aminah yang mulia. Subhanallah. Para ibu lah yang melahirkan sosok-sosok pemimpin umat, pemimpin negara, dan pemimpin peradaban. Sehebat-hebatnya seorang manusia, mereka tidak akan pernah ada tanpa ibu yang melahirkan dan membesarkannya. Demikian juga kiranya dengan diri kita. Detik ini tidak akan pernah kita rasakan tanpa jasa beliau.

Begitu banyaknya dan begitu besarnya jasa dari seorang ibu, maka sangat pantas kiranya Allah Subhanahu Wata’ala memberikan derajat yang sangat tinggi kepada beliau. Menyenangkan dan memuliakan seorang ibu sama artinya dengan memuliakan Allah Subhanahu Wata’ala. Sebaliknya saat seseorang menyakiti dan menggoreskan luka di hati ibunya, itu sama artinya dengan dia mengundang murka Allah Subhanahu Wata’ala. Sebuah teladan dari kisah kehidupan Ustadz “sedekah”, Yusuf Mansur, dalam kisah masa kecilnya bersama dengan sang ibu tentang kebiasaan dari sang ibu yang memandikan beliau. 

Setiap Yusuf Mansur kecil selesai mandi dan dilap tubuhnya menggunakan handuk oleh ibundanya, sang ibu juga senantiasa mendoakan putranya tersebut agar kelak ketika dewasa bisa dengan mudah mengunjungi baitullah(Ka’bah) semudah berjalan dari tempat beliau duduk saat itu menuju pintu di rumahnya. Begitu dekat dan begitu mudah untuk dilakukan. Doa itu benar-benar dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala ketika saat ini Ustadz Yusuf Mansur bisa dibilang sebagai salah satu pribadi sukses dalam kehidupannya. Beliau bisa kapan saja pergi-pulang ke tanah suci. Subhanallah. Demikian juga kisah dari seorang Syeckh Abdurrahman As-Sudais, salah seorang Imam Mekkah yang terkenal dengan suara merdunya ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. 

Semasa Syeckh Abdurrahman masih kecil, ibu beliau memiliki sikap yang luar biasa tatkala sedang dibuat “jengkel” oleh putranya tersebut. Suatu kali “kenakalan” As-Sudais kecil adalah melemparkan segenggam pasir ke makanan yang hendak disuguhkan kepada tamu oleh ibunya. Sang ibu yang “jengkel” kepada putranya tersebut berkata, “Pergi kamu.! Biar kamu jadi imam di Masjidil Haram.!” Apa yang disampaikan oleh sang ibu tersebut akhirnya memang benar-benar terwujud dimana saat ini Syeckh Abdurrahman As-Sudais adalah salah satu Imam Masjidil Haram yang terkenal dengan kekhasan suara emasnya.

Sudah tidak terhitung jumlahnya para pribadi sukses yang meraih keberhasilannya berkat doa dan restu dari sang ibu, tidak sedikit pula kisah yang menunjukkan betapa sakit hati dari seorang ibu akan menyebabkan malapetaka bagi anak yang  durhaka kepadanya. Di Indonesia mungkin kita familiar dengan kisah Malin Kundang, sedangkan pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup ada sebuah kisah tentang seorang pemuda bernama Alqomah. 

Alqomah yang dikenal sebagai pemuda taat beribadah harus mengalami sakarataul maut yang menyiksa. Sikapnya yang pernah membuat sakit hati ibundanya telah menjadi sebab akan kesulitan di akhir hayatnya. Bahkan hingga seorang Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memohonkan maaf untuk Alqomah kepada ibunya pun masih belum bisa melunakkan hati sang ibu untuk membuka pintu maafnya. 

Sampai akhirnya Rasullullah menyampaikan bahwa untuk mengakhiri penderitaan dari Alqomah tanpa adanya maaf dari sang ibu maka tubuh Alqomah harus dibakar. Mendengar bahwa tubuh dari sang anak hendak dibakar, maka sang ibu pun luluh dan memberikan maafnya kepada putra tercintanya, Alqomah. Alqomah wafat tanpa harus menjalani siksa sakaratul maut berkepanjangan. Naudzubillah.

Ibu adalah sosok yang sangat bangga terhadap anak-anaknya. Ketika kita masih kecil dulu misalnya, ibu memamerkan kelebihan anaknya tatkala sang anak berprestasi dalam bidang-bidang tertentu seperti jago menggambar, jago menyanyi, pintar membaca, atau mungkin pandai berbicara. Hampir dalam semua hal kita sangat dibanggakan oleh ibu kita ke hadapan orang lain. Seolah ibu kita ingin mengatakan kepada teman-temannya bahwa anak mereka adalah anak yang hebat. Begitu bangganya ibu kita terhadap diri kita.

Saya teringat akan ibu saya ketika beliau begitu antusias untuk menceritakan perihal prestasi diri saya ataupun kakak-kakak saya dalam beberapa bidang. Beliau bercerita tentang satu dan banyak hal mengenai pendidikan, kehidupan, dan hal-hal lain yang terkait dengan perjalanan hidup saya atau kakak saya. Sesekali mendengar beliau bercerita kepada teman-temannya yang bertamu di rumah kadang membuat tersipu malu sendiri. Cerita-cerita yang beliau sampaikan terdengar begitu luar biasa tatkala disampaikan kepada orang lain, seolah ada “bumbu” yang menjadi “penyedap” dari setiap cerita yang beliau sampaikan. 

Dari setiap cerita tersebut saya menangkap kesan yang sangat mendalam tentang kebanggaan yang beliau rasakan terhadap anak-anaknya. Seperti ketika beliau bercerita kepada teman-teman saya tentang kegemaran saya bermain sepakbola. Pernah saya mendengar cerita beliau kepada teman-teman sebaya saya di rumah mengenai kegemaran dan kemampuan saya dalam memainkan olah raga sepak bola ini. Ibu bercerita dengan antusiasnya tentang diri saya yang cukup mahir bermain sepakbola. Saya diceritakan seperti layaknya pemain bola profesional yang memiliki prestasi besar dan memiliki skillyang bagus dalam permainan ini. 

Meskipun di dalam hati saya menyadari sepenuhnya bahwa diri saya tidaklah sehebat apa yang ibu ceritakan. Akan tetapi saya menganggap apa yang ibu katakan tersebut sebagai sebuah motivasi tersendiri dalam hidup saya untuk terus berprestasi sebaik mungkin dalam setiap bidang yang saya tekuni. Mungkin bisa saja saya mengatakan dihadapan teman-teman saya bahwa apa yang ibu ceritakan adalah sesuatu yang berlebihan, akan tetapi apa yang ibu sampaikan tersebut saya menilainya sebagai sebuah harapan sekaligus doa untuk diri saya. 

Saya juga tidak ingin membuat ibu kehilangan rasa bangga dalam hatinya terhadap diri saya. Inilah poin pentingnya, bagaimana sebisa mungkin kita menciptakan kebanggaan dalam diri orang tua, terutama sosok ibu. Sebuah kebanggaan yang memang tulus keluar dari lubuk hati ibu dan sebuah kebanggaan yang memang layak untuk dimiliki berkat prestasi yang kita hasilkan. Saya kira setiap dari kita akan sangat senang mendengar pujian dari ibu kita, dan betapa berbahagianya diri kita melihat sorot mata bangga dari ibu tercinta.

Dahulu ketika saya lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana, saya melihat ada tatapan kebanggaan dari mata ibu saya yang melihat putranya mengenakan baju toga. Ada rasa yang tidak terlukiskan dalam benak seorang ibu yang melihat putra-putrinya meraih prestasi dalam pendidikan, pekerjaan, ataupun bidang-bidang yang lain. Perasaan haru, bahagia, bangga, dan segenap perasaan lain yang begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. 

Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anaknya berprestasi? Karena setiap orang tua menginginkan anak-anaknya mendapatkan hal-hal terbaik dalam hidupnya. Sebagai seorang putra dan putri yang ingin menciptakan sesungging senyuman bangga di wajah orang tuanya, maka berprestasi sebaik mungkin dalam setiap bidang yang dijalani adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. Kita adalah kebanggan bagi ibu kita, dan menjadi kewajiban kita untuk menunjukkan bahwa diri kita layak untuk dibanggakan. Ibu adalah sosok yang patut untuk dimuliakan karena memang beliau adalah manusia yang mulia.

I Love You, Mom!     

Untuk siapa diriku saat ini, dan harapanku di masa depan? Aku berhutang pada ibu – malaikatku.

>> Abraham Lincoln <<

Oleh : Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun