Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahkota Kemuliaan #1: Kemuliaan Seorang Ibu

26 Desember 2016   21:15 Diperbarui: 26 Desember 2016   21:22 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari para ibu hebat lahirlah orang-orang hebat. Nabi Isa ‘Alaihi Salam adalah seorang nabi dan rasul yang mulia, beliau dilahirkan oleh seorang perempuan suci nan taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala bernama Siti Maryam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mulia pun juga dilahirkan oleh seorang ibu, Siti Aminah yang mulia. Subhanallah. Para ibu lah yang melahirkan sosok-sosok pemimpin umat, pemimpin negara, dan pemimpin peradaban. Sehebat-hebatnya seorang manusia, mereka tidak akan pernah ada tanpa ibu yang melahirkan dan membesarkannya. Demikian juga kiranya dengan diri kita. Detik ini tidak akan pernah kita rasakan tanpa jasa beliau.

Begitu banyaknya dan begitu besarnya jasa dari seorang ibu, maka sangat pantas kiranya Allah Subhanahu Wata’ala memberikan derajat yang sangat tinggi kepada beliau. Menyenangkan dan memuliakan seorang ibu sama artinya dengan memuliakan Allah Subhanahu Wata’ala. Sebaliknya saat seseorang menyakiti dan menggoreskan luka di hati ibunya, itu sama artinya dengan dia mengundang murka Allah Subhanahu Wata’ala. Sebuah teladan dari kisah kehidupan Ustadz “sedekah”, Yusuf Mansur, dalam kisah masa kecilnya bersama dengan sang ibu tentang kebiasaan dari sang ibu yang memandikan beliau. 

Setiap Yusuf Mansur kecil selesai mandi dan dilap tubuhnya menggunakan handuk oleh ibundanya, sang ibu juga senantiasa mendoakan putranya tersebut agar kelak ketika dewasa bisa dengan mudah mengunjungi baitullah(Ka’bah) semudah berjalan dari tempat beliau duduk saat itu menuju pintu di rumahnya. Begitu dekat dan begitu mudah untuk dilakukan. Doa itu benar-benar dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala ketika saat ini Ustadz Yusuf Mansur bisa dibilang sebagai salah satu pribadi sukses dalam kehidupannya. Beliau bisa kapan saja pergi-pulang ke tanah suci. Subhanallah. Demikian juga kisah dari seorang Syeckh Abdurrahman As-Sudais, salah seorang Imam Mekkah yang terkenal dengan suara merdunya ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. 

Semasa Syeckh Abdurrahman masih kecil, ibu beliau memiliki sikap yang luar biasa tatkala sedang dibuat “jengkel” oleh putranya tersebut. Suatu kali “kenakalan” As-Sudais kecil adalah melemparkan segenggam pasir ke makanan yang hendak disuguhkan kepada tamu oleh ibunya. Sang ibu yang “jengkel” kepada putranya tersebut berkata, “Pergi kamu.! Biar kamu jadi imam di Masjidil Haram.!” Apa yang disampaikan oleh sang ibu tersebut akhirnya memang benar-benar terwujud dimana saat ini Syeckh Abdurrahman As-Sudais adalah salah satu Imam Masjidil Haram yang terkenal dengan kekhasan suara emasnya.

Sudah tidak terhitung jumlahnya para pribadi sukses yang meraih keberhasilannya berkat doa dan restu dari sang ibu, tidak sedikit pula kisah yang menunjukkan betapa sakit hati dari seorang ibu akan menyebabkan malapetaka bagi anak yang  durhaka kepadanya. Di Indonesia mungkin kita familiar dengan kisah Malin Kundang, sedangkan pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup ada sebuah kisah tentang seorang pemuda bernama Alqomah. 

Alqomah yang dikenal sebagai pemuda taat beribadah harus mengalami sakarataul maut yang menyiksa. Sikapnya yang pernah membuat sakit hati ibundanya telah menjadi sebab akan kesulitan di akhir hayatnya. Bahkan hingga seorang Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memohonkan maaf untuk Alqomah kepada ibunya pun masih belum bisa melunakkan hati sang ibu untuk membuka pintu maafnya. 

Sampai akhirnya Rasullullah menyampaikan bahwa untuk mengakhiri penderitaan dari Alqomah tanpa adanya maaf dari sang ibu maka tubuh Alqomah harus dibakar. Mendengar bahwa tubuh dari sang anak hendak dibakar, maka sang ibu pun luluh dan memberikan maafnya kepada putra tercintanya, Alqomah. Alqomah wafat tanpa harus menjalani siksa sakaratul maut berkepanjangan. Naudzubillah.

Ibu adalah sosok yang sangat bangga terhadap anak-anaknya. Ketika kita masih kecil dulu misalnya, ibu memamerkan kelebihan anaknya tatkala sang anak berprestasi dalam bidang-bidang tertentu seperti jago menggambar, jago menyanyi, pintar membaca, atau mungkin pandai berbicara. Hampir dalam semua hal kita sangat dibanggakan oleh ibu kita ke hadapan orang lain. Seolah ibu kita ingin mengatakan kepada teman-temannya bahwa anak mereka adalah anak yang hebat. Begitu bangganya ibu kita terhadap diri kita.

Saya teringat akan ibu saya ketika beliau begitu antusias untuk menceritakan perihal prestasi diri saya ataupun kakak-kakak saya dalam beberapa bidang. Beliau bercerita tentang satu dan banyak hal mengenai pendidikan, kehidupan, dan hal-hal lain yang terkait dengan perjalanan hidup saya atau kakak saya. Sesekali mendengar beliau bercerita kepada teman-temannya yang bertamu di rumah kadang membuat tersipu malu sendiri. Cerita-cerita yang beliau sampaikan terdengar begitu luar biasa tatkala disampaikan kepada orang lain, seolah ada “bumbu” yang menjadi “penyedap” dari setiap cerita yang beliau sampaikan. 

Dari setiap cerita tersebut saya menangkap kesan yang sangat mendalam tentang kebanggaan yang beliau rasakan terhadap anak-anaknya. Seperti ketika beliau bercerita kepada teman-teman saya tentang kegemaran saya bermain sepakbola. Pernah saya mendengar cerita beliau kepada teman-teman sebaya saya di rumah mengenai kegemaran dan kemampuan saya dalam memainkan olah raga sepak bola ini. Ibu bercerita dengan antusiasnya tentang diri saya yang cukup mahir bermain sepakbola. Saya diceritakan seperti layaknya pemain bola profesional yang memiliki prestasi besar dan memiliki skillyang bagus dalam permainan ini. 

Meskipun di dalam hati saya menyadari sepenuhnya bahwa diri saya tidaklah sehebat apa yang ibu ceritakan. Akan tetapi saya menganggap apa yang ibu katakan tersebut sebagai sebuah motivasi tersendiri dalam hidup saya untuk terus berprestasi sebaik mungkin dalam setiap bidang yang saya tekuni. Mungkin bisa saja saya mengatakan dihadapan teman-teman saya bahwa apa yang ibu ceritakan adalah sesuatu yang berlebihan, akan tetapi apa yang ibu sampaikan tersebut saya menilainya sebagai sebuah harapan sekaligus doa untuk diri saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun