Selain alasan tersebut, kandungan tripsin dan gelatin yang berasal dari enzim babi pada vaksin MR juga membuat umat muslim menolak program vaksinasi ini.
Padahal, MUI pusat sudah mengeluarkan fatwa bahwa vaksin MR ini diperbolehkan karena keadaan yang darurat.
Saya sering mendengar pendapat apatis mengenai vaksinasi MR ini. "Buat apa memikirkan mereka kaum anti-vaksin. Kalau tidak mau divaksin yasudah, risiko ditanggung sendiri." Pendapat seperti ini harus diluruskan.
Program eliminasi campak dan rubella tidak akan berhasil jika banyak yang menolak vaksin, karena imunitas atau daya tahan kelompok tidak akan terbentuk sehingga transmisi virus akan terus berlangsung.
Satu anak saja yang terkena campak sudah dapat menulari sembilan orang anak yang tidak divaksinasi.
Sebenarnya banyak penolakan terhadap vaksinasi juga disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat awam mengenai vaksin.
Banyak keluhan dari orang tua adalah anaknya menjadi sakit setelah menerima vaksin. Efek samping seperti demam maupun bengkak pada lokasi suntikan umum terjadi dan tidak berbahaya.
Gejala tersebut dapat ditangani dengan obat penurun panas, maupun kompres dingin pada lokasi suntikan.
Jika muncul reaksi alergi berat yang ditandai dengan penurunan kesadaran, sesak, hal tersebut merupakan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang wajib dilaporkan dan akan ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan yang tentu saja akan menjadi bahan evaluasi.
Namun, sering sebenarnya anak bukan sakit karena menerima vaksin MR tetapi karena penyakit yang sudah ada dari awal namun baru menimbulkan gejala bertepatan saat setelah vaksinasi.
Inilah yang menyebabkan pentingnya dilakukan skrining oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.