Sebagian pihak sempat menelurkan kecemasan ketika menuduh aksi bela Islam ditunggangi oleh aktor-aktor politik yang berkepentingan. Sebagian orang menganggap Pemerintah Jokowi pun merespon hal itu dengan cukup bijaksana, walaupun di sisi lain juga dapat menimbulkan kecemasan baru. Toh, Islam populis kini tidak bisa dianggap tidak ada dan secara politik harus diperhitungkan.
 Artikel ini merupakan observasi umum daripada hasil riset mendalam, sebab beberapa hal perlu dikonfirmasi lebih lanjut. Kita tidak dapat mengabaikan fenomena global yang terjadi hari ini di Amerika Serikat dengan Donald Trump, Brexit di Inggris, dan lain sebagainya. Jika membandingkan fenomena yang terjadi, tampak banyak kesamaan. Apakah artinya identitas Islam yang diusung di Indonesia memimiliki kecenderungan populisme seperti di identitas nativist lainnya? Kita perlu memeriksa beberapa kesamaan ungkapan politik yang beredar, misalnya, "Bela Islam" dengan "make America great again" oleh Trump, atau "UK first" dalam Brexit. Ketegangan rasialis yang terjadi juga hampir mirip antara Amerika dengan Indonesia bagian Jakarta. Di wilayah lain Indonesia ketegangan itu tidak muncul secara eksplisit. Jadi, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa Jakarta adalah Indonesia atau Indonesia hanya Jakarta. Toh, Indonesia tidak sesempit itu.
Di Indonesia, trend populisme akan diikuti oleh tokoh-tokoh populis. Ada beberapa nama yang kita tahu sering bercengkrama di media. Selain Anies-Sandi, saya melihat patron yang kuat masih dimiliki oleh Prabowo Subianto. Harry Tanoe, salah seorang media mogul, juga kerap muncul. Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) juga masih memiliki gaya populis.
 Di arus populer, beberapa nama kepala daerah juga perlu dipertimbangkan. Ada Ridwan Kamil di Bandung, Jawa Barat. Ada juga, Tri Rismaharini di Surabaya, Jawa Timur. Dalam skala yang besar, beberapa tokoh populis muncul. Dan, dalam konteks Indonesia, menjadi tokoh populis yang pribumi dan muslim bisa jadi akan lebih memiliki nilai tambah. Selain itu, figur Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini identik dengan aksi vigilante, mulai diakui sebagai pimpinan gerakan umat Islam populis.
Kecenderungan populisme Islam tampaknya masih akan berlanjut dan menemui puncaknya pada kontestasi politik yang akan datang: Pilkada serentak 2018 dan Pipres 2019. Suka atau tidak, demokrasi di Indonesia akan semakin diwarnai oleh populisme Islam. Selama ini yang menjadi perdebatan adalah siapa lawan dari gerakan umat Islam? Karena siapa pun yang menolak atau keberatan dengan gerakan Islam populis, secara semena-mena bisa dituduh anti-Islam. Kita dengan segera telah memasuki area darurat di mana penghargaan terhadap nilai kemanusiaan dan keberagaman, perlahan dibenturkan dengan umat islam, dan sulit sekali untuk dihindari. Paling tidak itulah yang saya cermati selama Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu.**
Oleh: Prastowo Ragawi
aktif di matabudaya
Peneliti di Alvara Strategic
[1] Ali, Hasanuddin (2017). "Anies, Riding The Populism Wave." Alvara, 3 Mei 2017. Diakses 21 Juni 2017. URLhttp://alvara-strategic.com/anies-riding-the-populism-wave/