Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Populis Gaya Baru: Tren Populis di Pilkada Jakarta (2017)

12 Juli 2017   11:27 Diperbarui: 12 Juli 2017   12:45 2269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 2014 lalu tentu kita masih ingat ketika sebagian kalangan ilmuwan politik dan pemerintahan menyambut kemunculan Jokowi dengan hipotesis "The Jokowi Effect",[6] yang tak lain ialah awal dari 'populisme gaya baru' khususnya di Indonesia dan umumnya di Asia Tenggara. Hingga kemudian Jokowi sukses terpilih menjadi Presiden Indonesia periode 2014-2019. Prabowo Subianto, kandidat lainnya pada saat itu, juga membawa narasi populisme meskipun dengan beberapa perbedaan.

 Pikada Jakarta 2017 lalu sangat kental membawa semangat populisme. Kontestasi politik yang terjadi sepanjang Pilpres 2014 cukup mirip dengan Pilkada Jakarta 2017. Sepanjang kita menyaksikan prosesnya, sepanjang itulah kita terpapar efek buruk karena terdapat perseteruan di antara pendukung kedua pasang kandidat. Saya menduga efek buruk yang terjadi selama Pilpres yang dimenangkan Jokowi pada 2014 ikut memanasi Pilkada 2017 Jakarta lalu. Kita tak bisa mengabaikan posisi strategis Jakarta sebagai Ibukota Indonesia di mana akan memainkan peran strategis pada Pilpres 2019. Bisa jadi hal ini akan berlanjut sampai Pilkada serentak di 2018 maupun Pilpres 2019.

  

Gaya populis dalam kerja politik: Pilkada Jakarta

Populisme hampir selalu memiliki tokoh yang karismatik. Maka dengan begitu, ia (atau mereka) disebut tokoh populis. Karakter yang muncul dari tokoh tersebut akan mencerminkan keberpihakannya pada rakyat kecil. Anies dalam setiap retorikanya hampir selalu menyebut masyarakat Jakarta sebagai 'masyarakat kebanyakan'. Anies mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat marjinal dari kelas menengah ke bawah yang tersakiti oleh kebijakan petahana, seperti korban penggusuran, isu reklamasi pantai Jakarta, krisis ekonomi, dan lain sebagainya.

Argandoa menyebut bahwa politik didasarkan pada emosi untuk menghasilkan perasaan identifikasi afektif sebagai karakteristik kunci dari tokoh populis. Lanjut Argandoa, populisme biasanya, meski tidak selalu, dipicu oleh seorang pemimpin karismatik yang mengartikulasikan kecemasan kolektif masyarakat. Anies-Sandi sukses memainkan peran ini.

Anies sukses mengkapitalisasikan modal-modal sosial, kultural, simbolik, dan ekonomi yang dimilikinya untuk mencitrakan dirinya sebagai seorang karismatik, cakap, sopan dan santun, bertutur kata baik, pribumi muslim keturunan Arab, intelektual yang mendapat gelar doktor dari Universitas ternama di Amerika Serikat. Sandi pun melengkapinya dengan statusnya sebagai pengusaha muda sukses yang berpengalaman, muslim, pintar, cakap, 'ganteng klimis', dan hal baik lainnya yang melekat pada mereka berdua. Adapun kesalahan yang pernah mereka lakukan seakan tenggelam. Sehingga masyarakat dibuat bias dalam melihat sosok Anies-Sandi. Bagaimanapun, Anies-Sandi adalah representasi tokoh elit politik yang sedang memainkan peran sebagai bagian dari 'masyarakat kebanyakan'. Toh, tetap akan ada jarak di antara mereka berdua dengan masyarakat.

Saya pikir, hal penting lainnya yaitu dukungan pencitraan dari media (massa dan daring) yang termanfaatkan dengan baik. Jangan lupakan tokoh media mogul yang mendukung baik Anies-Sandi (maupun Basuki-Djarot). Artinya, tak hanya Basuki-Djarot, Anies-Sandi pun secara ekonomi politik sudah lengkap sebagai produk untuk dipilih. Pertarungan sesungguhnya lebih banyak terjadi di ranah media. Banyak berita hoax bertebaran yang tidak memenuhi verifikasi kebenaran. Ini yang jadi soal utama selama beberapa bulan menjelang pilkada, baik putaran pertama sampai putaran kedua. Munculnya media serius yang menawarkan kredibilitas jurnalistik yang memenuhi standar malah dijadikan arena untuk memanasi isu yang tengah berkembang.

Lantas bagaimana dengan Basuki-Djarot? Pasangan petahana ini tidak kurang kualitas dan dukungan sama sekali dibandingkan Anies-Sandi. Boleh jadi keunggulan mereka sebagai petahana merupakan satu-satunya kelebihan yang patut diwaspadai oleh Anies-Sandi maupun pendukungnya. Namun nyatanya angin populisme masih lebih tinggi mengangkat Anies-Sandi untuk memenangkan Pilkada. Banyak faktor yang bisa kita cermati satu per satu, yang menjadi bola panas.

Hembusan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang 'digoreng' oleh pihak-pihak berkepentingan, menurut saya, mengambil banyak peran yang menjatuhkan Basuki-Djarot. Masih hangat dalam ingatan selama beberapa bulan sebelum dilangsungkan Pilkada Putaran Kedua, betapa panasnya masjid-masjid di Jakarta dengan isu penistaan agama (Islam). Tentunya hal ini secara signifikan menguntungkan Anies-Sandi. Tetapi, bukan berarti Anies-Sandi tidak diterpa isu dan hoax. Jumlahnya dan bobotnya saja yang mungkin kalah heboh dibandingkan Basuki-Djarot.

Penting juga dicatat bahwa dalam populisme, masih menurut Argandoa, masalah yang berkaitan dengan etnis minoritas atau imigran terkadang (tapi tidak selalu) relevan dengan gerakan populis. Jadi, populisme tidak harus xenofobia. Namun yang kita saksikan sepanjang Pilkada Jakarta 2017 justru banyak orang mendadak xenofobia. Media, lagi-lagi, ikut berkontribusi dalam hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun