Sebuah pengantar
Masyarakat Jakarta belum lama ini telah menuntaskan pesta demokrasi yang cukup panjang dan melelahkan. Kita telah sama-sama menyaksikan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang akhirnya menjadi kemenangan solid bagi Anies-Sandi atas petahana Basuki-Djarot di Putaran Kedua (19 April 2017). Dua bulan sebelumnya atau pada Putaran Pertama (15 Februari 2017), kedua pasangan ini sudah terlebih dahulu menyingkirkan Agus-Sylvi dalam perebutan kursi calon orang nomor satu dan dua di Pemerintah DKI Jakarta.
Melalui data yang dihimpun oleh KPU DKI Jakarta pada Putaran Pertama, Agus-Sylvi memperoleh 17,06%, sedangkan Basuki-Djarot unggul dengan perolehan 42,99% dan Anies-Sandi 39,95%. Hasil ini membuat Basuki-Djarot dan Anies-Sandi lolos ke Putaran Kedua. Dua bulan setelahnya, ketika pemungutan suara Putaran Kedua selesai, perhitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei menunjukkan keunggulan telak Anies-Sandi atas Basuki-Djarot dengan margin suara lebih dari 15%. Anies-Sandi unggul telak di Jakarta Selatan dan Timur, dengan margin suara lebih dari 25%. Sementara di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, yang merupakan basis pemilih Ahok-Djarot, Anies-Sandi juga unggul dengan margin 9 -- 12%. Berdasarkan hitungan KPU DKI Jakarta, dari 100% suara yang masuk, 57,95% untuk Anies-Sandi dan 42,05% untuk Basuki-Djarot.[1]
Hasil di atas menunjukkan bahwa Oktober 2017 masyarakat Jakarta akan memiliki pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru, yaitu Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Saya ingin memandang secara positif hasil ini sebagai perolehan terbaik yang telah dan akan kita lalui dalam proses demokrasi yang emosional, sentimental, sekaligus dapat mendewasakan. Karena terhitung sejak 2016, tiga tahun setelahnya merupakan tahun politik yang penting bagi proses demokrasi di Indonesia: Pilkada DKI Jakarta di 2017; Pilkada Serentak di 2018; dan Pilpres di 2019. Jangan lupakan Pilpres 2014 sebagai salah satu momen politik terpenting selama Era Reformasi, yang menurut saya telah menjadi pilpres paling emosional dan meletihkan.
Ada suatu hal yang sangat menarik perhatian saya selama Pilkada Jakarta berlangsung, yaitu kembalinya gaya populis sebagai strategi politik yang jitu. Rasa-rasanya sudah cukup banyak bukti dari beberapa negara bahwa menjadi populis dapat memenangkan suara terbanyak, meskipun tidak mutlak. Bahkan, PKI (Partai Komunis Indonesia) pun dulu juga layak disebut partai politik (yang) populis. Maka, sudah sepantasnya Anies-Sandi berterimakasih pada Tim Sukses-nya yang mampu mengejawantahkan gaya populis dalam strategi kampanye untuk menjadikan mereka sebagai produk politik yang 'pantas dipilih'. Namun tentunya gaya populis ini juga memiliki efek sosial-kultural yang bisa jadi sangat merugikan, yang seharusnya dipertimbangkan secara hati-hati.
Artikel ini berupaya untuk menelisik tren populis yang muncul pada Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Kita perlu terlebih dulu memahami tren populis melalui berbagai pandangan para pemikir, yang rangkumannya akan disajikan dalam artikel ini. Tak hanya itu, saya akan mencoba memberi gambaran mengenai gaya populis dalam kerja politik yang terjadi selama Pilkada DKI Jakarta, termasuk beberapa hal yang berkelindan dengannya, dalam beberapa catatan kritis. Hal ini demi memudahkan memahami tren populis yang terjadi di Pilkada Jakarta lalu. Sebagai penutup, saya coba meramalkan tantangan demokrasi politik di Indonesia yang tampaknya masih akan cenderung populis.
Populisme: sebuah catatan
Sebelum mendiskusikan mengenai tren populis, kita perlu memahami istilah populisme terlebih dahulu. Ia merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang jika diterjemahkan secara bebas berarti 'kerakyatan'. Jika mengacu pada KBBI, populisme merupakan kata benda yang artinya paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Sejalan dengan pengertian tersebut, populis dapat diartikan penganut (paham) populisme. Pendefinisian lewat kamus (KBBI), menurut saya, selalu menjadi penting sebab dapat memberi gambaran awal tentang kata atau istilah yang dimaksud. Setelah itu, kita dapat leluasa menuju pengertian yang lebih luas dan mendalam.
Dari beberapa artikel dan literatur yang saya temui, tak mudah untuk mendefiniskan populisme. Tidak ada konvergensi definisi. Cass Mudde, seorang ilmuwan politik yang banyak menulis tentang populisme, mendefinisikan populisme sebagai "posisi politik yang menempatkan 'rakyat kebanyakan' dan 'elit yang korup' dalam posisi antagonistik, dan melihat politik sebagai ekspresi dari keinginan umum rakyat kebanyakan".[2] Dalam konteks berbeda, menurut Mudde istilah populisme dapat terdefinisikan secara jelas dan berbeda serta memiliki pengaruh yang cukup untuk membedakan 'keluarga partai politik': populis sayap kanan, populis neoliberal, dan populis sosial.[3]
 Antonio Argandoa,[4] seorang Profesor Emeritus di IESE Business School, juga menjelaskan ketidaksepakatan tentang definisi populisme secara luas. Ia menggambarkan populisme sebagai gerakan yang mempertentangkan antara 'rakyat biasa' dan 'elit'. Misalnya, pemilihan kata antara 'kita' dan 'kami' yang mana menunjukkan keberpihakan sekaligus untuk membedakan kapasitas diri sebagai 'rakyat biasa' atau 'elit'. Konsep ini tidak mungkin didefinisikan secara lebih jelas karena tidak mencerminkan realitas obyektif. Ia menegaskan bahwa dikotomi ini didasarkan pada identitas dan emosi yang bisa jadi akan membuat perbedaan tajam antara teman dan musuh. Selain itu, Kenneth Roth,[5] Direktur Eksekutif Human Rights Watch, dalam Keynote untuk World Report 2017 pun tidak segan untuk mengatakan bahwa kebangkitan populisme merupakan serangan global terhadap nilai-nilai hak asasi manusia.
 Tren populisme yang mengglobal merupakan gejala lama yang muncul kembali, begitu pula di Indonesia. Dahulu sewaktu PKI menjadi partai politik dengan basis massa terbanyak sepanjang Orde Lama, dekat kepada kepemimpinan Soekarno yang mengusung ideologi Marhaenisme dengan jargon politik nasionalisme-sosialisme-komunisme (Nasakom), atau hingga akhir daripada Orde Baru Soeharto, politik Indonesia tidak pernah pernah absen menggunakan gaya populisme. Walaupun demikian, selama Reformasi, populisme tak begitu terdengar meski politik global tetap berkiblat kepadanya.Â
Pada 2014 lalu tentu kita masih ingat ketika sebagian kalangan ilmuwan politik dan pemerintahan menyambut kemunculan Jokowi dengan hipotesis "The Jokowi Effect",[6] yang tak lain ialah awal dari 'populisme gaya baru' khususnya di Indonesia dan umumnya di Asia Tenggara. Hingga kemudian Jokowi sukses terpilih menjadi Presiden Indonesia periode 2014-2019. Prabowo Subianto, kandidat lainnya pada saat itu, juga membawa narasi populisme meskipun dengan beberapa perbedaan.
 Pikada Jakarta 2017 lalu sangat kental membawa semangat populisme. Kontestasi politik yang terjadi sepanjang Pilpres 2014 cukup mirip dengan Pilkada Jakarta 2017. Sepanjang kita menyaksikan prosesnya, sepanjang itulah kita terpapar efek buruk karena terdapat perseteruan di antara pendukung kedua pasang kandidat. Saya menduga efek buruk yang terjadi selama Pilpres yang dimenangkan Jokowi pada 2014 ikut memanasi Pilkada 2017 Jakarta lalu. Kita tak bisa mengabaikan posisi strategis Jakarta sebagai Ibukota Indonesia di mana akan memainkan peran strategis pada Pilpres 2019. Bisa jadi hal ini akan berlanjut sampai Pilkada serentak di 2018 maupun Pilpres 2019.
 Â
Gaya populis dalam kerja politik: Pilkada Jakarta
Populisme hampir selalu memiliki tokoh yang karismatik. Maka dengan begitu, ia (atau mereka) disebut tokoh populis. Karakter yang muncul dari tokoh tersebut akan mencerminkan keberpihakannya pada rakyat kecil. Anies dalam setiap retorikanya hampir selalu menyebut masyarakat Jakarta sebagai 'masyarakat kebanyakan'. Anies mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat marjinal dari kelas menengah ke bawah yang tersakiti oleh kebijakan petahana, seperti korban penggusuran, isu reklamasi pantai Jakarta, krisis ekonomi, dan lain sebagainya.
Argandoa menyebut bahwa politik didasarkan pada emosi untuk menghasilkan perasaan identifikasi afektif sebagai karakteristik kunci dari tokoh populis. Lanjut Argandoa, populisme biasanya, meski tidak selalu, dipicu oleh seorang pemimpin karismatik yang mengartikulasikan kecemasan kolektif masyarakat. Anies-Sandi sukses memainkan peran ini.
Anies sukses mengkapitalisasikan modal-modal sosial, kultural, simbolik, dan ekonomi yang dimilikinya untuk mencitrakan dirinya sebagai seorang karismatik, cakap, sopan dan santun, bertutur kata baik, pribumi muslim keturunan Arab, intelektual yang mendapat gelar doktor dari Universitas ternama di Amerika Serikat. Sandi pun melengkapinya dengan statusnya sebagai pengusaha muda sukses yang berpengalaman, muslim, pintar, cakap, 'ganteng klimis', dan hal baik lainnya yang melekat pada mereka berdua. Adapun kesalahan yang pernah mereka lakukan seakan tenggelam. Sehingga masyarakat dibuat bias dalam melihat sosok Anies-Sandi. Bagaimanapun, Anies-Sandi adalah representasi tokoh elit politik yang sedang memainkan peran sebagai bagian dari 'masyarakat kebanyakan'. Toh, tetap akan ada jarak di antara mereka berdua dengan masyarakat.
Saya pikir, hal penting lainnya yaitu dukungan pencitraan dari media (massa dan daring) yang termanfaatkan dengan baik. Jangan lupakan tokoh media mogul yang mendukung baik Anies-Sandi (maupun Basuki-Djarot). Artinya, tak hanya Basuki-Djarot, Anies-Sandi pun secara ekonomi politik sudah lengkap sebagai produk untuk dipilih. Pertarungan sesungguhnya lebih banyak terjadi di ranah media. Banyak berita hoax bertebaran yang tidak memenuhi verifikasi kebenaran. Ini yang jadi soal utama selama beberapa bulan menjelang pilkada, baik putaran pertama sampai putaran kedua. Munculnya media serius yang menawarkan kredibilitas jurnalistik yang memenuhi standar malah dijadikan arena untuk memanasi isu yang tengah berkembang.
Lantas bagaimana dengan Basuki-Djarot? Pasangan petahana ini tidak kurang kualitas dan dukungan sama sekali dibandingkan Anies-Sandi. Boleh jadi keunggulan mereka sebagai petahana merupakan satu-satunya kelebihan yang patut diwaspadai oleh Anies-Sandi maupun pendukungnya. Namun nyatanya angin populisme masih lebih tinggi mengangkat Anies-Sandi untuk memenangkan Pilkada. Banyak faktor yang bisa kita cermati satu per satu, yang menjadi bola panas.
Hembusan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang 'digoreng' oleh pihak-pihak berkepentingan, menurut saya, mengambil banyak peran yang menjatuhkan Basuki-Djarot. Masih hangat dalam ingatan selama beberapa bulan sebelum dilangsungkan Pilkada Putaran Kedua, betapa panasnya masjid-masjid di Jakarta dengan isu penistaan agama (Islam). Tentunya hal ini secara signifikan menguntungkan Anies-Sandi. Tetapi, bukan berarti Anies-Sandi tidak diterpa isu dan hoax. Jumlahnya dan bobotnya saja yang mungkin kalah heboh dibandingkan Basuki-Djarot.
Penting juga dicatat bahwa dalam populisme, masih menurut Argandoa, masalah yang berkaitan dengan etnis minoritas atau imigran terkadang (tapi tidak selalu) relevan dengan gerakan populis. Jadi, populisme tidak harus xenofobia. Namun yang kita saksikan sepanjang Pilkada Jakarta 2017 justru banyak orang mendadak xenofobia. Media, lagi-lagi, ikut berkontribusi dalam hal ini.
Populisme kanan dan populisme Islam di Pilkada Jakarta
Pilkada Jakarta membuka mata kita akan adanya bentuk populisme lain yang sedang menguat: populisme Islam. istilah ini dipinjam dari Vedi Hadiz, dikutip oleh Ari Perdana dalam artikel IndoProgress berjudul "Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga FPI." Istilah populisme Islam merupakan cara untuk mendefinisikan sebuah tren yang memiliki anatomi mirip dengan populisme, atau seperti kategori keluarga partai politik milik Mudde. Secara spesifik ia mirip dengan populisme kanan, sekaligus membawa Islam atau muslim sebagai identitas kelompok. Menurut Ari, istilah populis Islam juga bisa digunakan untuk membedakan dengan Islam radikal, atau Islam politik yang bergerak di jalur politik elektoral.
Jelang akhir 2016 lalu, rangkaian aksi "Bela Islam" dimulai. Dari situ dapat tergambarkan kelompok Islam populis yang tergabung dalam beberapa kelompok di Jakarta, yang boleh jadi terdiri atas grup-grup vigilante, kelas menengah (ke atas maupun ke bawah) religius, beberapa elit pemuka agama, tokoh politik dan bisnis. Aksi "Bela Islam" secara tegas menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki (Ahok) dipenjarakan sebab dianggap "menistakan Islam dan Kitab Suci Al-Quran."
Rangkaian aksi "Bela Islam" susulan yang dilakukan pun masih menuntut hal yang sama. Klaim jutaan orang berkumpul demi menuntut Basuki dipenjara menjadi heboh dan viral bagi yang pro dan kontra. Oleh kelompok ini, aksi "Bela Islam" setara dengan jihad (membela Islam). Ini merupakan aksi untuk menunjukkan ekspresi kelompok dalam jumlah sangat besar, yang secara demografis merupakan mayoritas. Aksinya pun selalu dilakukan di Ring-1 Jakarta: Monas, Mesjid Istiqlal, Mabes POLRI, dll. Tapi, kita perlu berhati-hati dalam menuliskan "umat Islam" karena ada sebagian banyak "umat Islam" lain yang tidak sudi dikategorikan ke dalam kelompok Islam Populis.
Sebagaimana diketahui bahwa Basuki (bersama Djarot) merupakan lawan dari Anies-Sandi dalam kontestasi Pilkada Jakarta. Motif politik yang beredar luas di masyarakat hampir dipastikan menginginkan Basuki agar mundur dalam pencalonan dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang mana semakin membulatkan tekadnya untuk terus maju.
 Di satu sisi, hal tersebut justru menguntungkan Anies-Sandi. Mereka seolah-olah abai pada isu aksi "Bela Islam". Tapi, sebagian masyarakat lain tahu bahwa tokoh-tokoh yang datang dan menggerakkan aksi "Bela Islam" tak lain merupakan para pendukung Anies-Sandi. Di sini kita dapat melihat di mana keberpihakan Anies-Sandi dalam politik elektoral (Pilkada) yang diuntungkan oleh politik jalanan, lewat serangkaian aksi "Bela Islam". Lalu samakah 'masyarakat kebanyakan' yang kerap disebut oleh Anies dengan mereka yang melakukan aksi "Bela Islam", yang menjadi representasi Islam populis?
Selain itu, penggunaan narasi nativism kerap muncul dalam penguatan identitas gerakan umat Islam di Indonesia. Menariknya, isu SARA tidak pernah secara tegas diangkat dalam aksi "Bela Islam" sebab sasaran utama dari aksi adalah Basuki yang notabene beretnis Tionghoa dan beragama Kristen. Di luar aksi tersebut, saya sering jumpai sentimen SARA maupun 'anti-asing' dan 'anti-aseng' mewarnai berita di media massa, daring, maupun perdebatan di media sosial. Selalu ada satu atau dua topik yang menjadi trending topik di Twitter, misalnya, yang ramai berbicara tentang "Ahok", "Bela Islam", "Aksi 212", dan lainnya. Hari-hari terakhir ini, saya pun masih menemui ceramah keagamaan maupun spanduk bertebaran yang mengindikasikan secara tidak tegas bahwa akan ada aksi lanjutan yaitu "Bela Ulama" yang mana senafas dengan aksi "Bela Islam".
Penutup: tantangan untuk masa depan Indonesia?
Idi Subandy Ibrahim dalam Hegemoni Budaya mengutip bagaimana kekecewaan Bung Hatta sewaktu merasa ruang publik untuk rakyat diintervensi oleh tokoh politik kolonial. Kekecewaan tersebut yang akhirnya mendorong Bung Hatta merintis majalah Daulat Rakyat, semacam ruang publik yang akan mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan: dalam politik, perekonomian dan pergaulan sosial, tulis Ibrahim dalam Hegemoni Budaya (1997: 339-340).
"Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souveriniteit). Karena rakyat adalah jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat bangsa kita. Dengan rakyat kita akan mati dan dengan rakyat itulah kita akan tenggelam. Hidup atau mati rakyat Indonesia bergantung pada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan terpelajar baru ada artinya, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya," demikian Bung Hatta.[7]
 Ide Bung Hatta di atas tak lain adalah semangat idealis populisme yang terjadi di jamannya, berikut konstelasi politik yang cenderung Kiri. Namun hari ini kita lebih banyak melihat poros atau sayap Kanan yang populis -- bahkan ultra nasionalis. Tentu banyak yang berubah. Bila dahulu ruang publik dikuasai kelas menengah, kini masyarakat kebanyakan yang kelas menengah ke bawah juga insyaf akan haknya yang sama atas ruang publik. Aksi "Bela Islam" berjilid dapat kita tandai dalam konteks ini sebagai dan sekaligus kebangkitan Islam populis yang marak mewarnai media di Indonesia.Â
Sebagian pihak sempat menelurkan kecemasan ketika menuduh aksi bela Islam ditunggangi oleh aktor-aktor politik yang berkepentingan. Sebagian orang menganggap Pemerintah Jokowi pun merespon hal itu dengan cukup bijaksana, walaupun di sisi lain juga dapat menimbulkan kecemasan baru. Toh, Islam populis kini tidak bisa dianggap tidak ada dan secara politik harus diperhitungkan.
 Artikel ini merupakan observasi umum daripada hasil riset mendalam, sebab beberapa hal perlu dikonfirmasi lebih lanjut. Kita tidak dapat mengabaikan fenomena global yang terjadi hari ini di Amerika Serikat dengan Donald Trump, Brexit di Inggris, dan lain sebagainya. Jika membandingkan fenomena yang terjadi, tampak banyak kesamaan. Apakah artinya identitas Islam yang diusung di Indonesia memimiliki kecenderungan populisme seperti di identitas nativist lainnya? Kita perlu memeriksa beberapa kesamaan ungkapan politik yang beredar, misalnya, "Bela Islam" dengan "make America great again" oleh Trump, atau "UK first" dalam Brexit. Ketegangan rasialis yang terjadi juga hampir mirip antara Amerika dengan Indonesia bagian Jakarta. Di wilayah lain Indonesia ketegangan itu tidak muncul secara eksplisit. Jadi, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa Jakarta adalah Indonesia atau Indonesia hanya Jakarta. Toh, Indonesia tidak sesempit itu.
Di Indonesia, trend populisme akan diikuti oleh tokoh-tokoh populis. Ada beberapa nama yang kita tahu sering bercengkrama di media. Selain Anies-Sandi, saya melihat patron yang kuat masih dimiliki oleh Prabowo Subianto. Harry Tanoe, salah seorang media mogul, juga kerap muncul. Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) juga masih memiliki gaya populis.
 Di arus populer, beberapa nama kepala daerah juga perlu dipertimbangkan. Ada Ridwan Kamil di Bandung, Jawa Barat. Ada juga, Tri Rismaharini di Surabaya, Jawa Timur. Dalam skala yang besar, beberapa tokoh populis muncul. Dan, dalam konteks Indonesia, menjadi tokoh populis yang pribumi dan muslim bisa jadi akan lebih memiliki nilai tambah. Selain itu, figur Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini identik dengan aksi vigilante, mulai diakui sebagai pimpinan gerakan umat Islam populis.
Kecenderungan populisme Islam tampaknya masih akan berlanjut dan menemui puncaknya pada kontestasi politik yang akan datang: Pilkada serentak 2018 dan Pipres 2019. Suka atau tidak, demokrasi di Indonesia akan semakin diwarnai oleh populisme Islam. Selama ini yang menjadi perdebatan adalah siapa lawan dari gerakan umat Islam? Karena siapa pun yang menolak atau keberatan dengan gerakan Islam populis, secara semena-mena bisa dituduh anti-Islam. Kita dengan segera telah memasuki area darurat di mana penghargaan terhadap nilai kemanusiaan dan keberagaman, perlahan dibenturkan dengan umat islam, dan sulit sekali untuk dihindari. Paling tidak itulah yang saya cermati selama Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu.**
Oleh: Prastowo Ragawi
aktif di matabudaya
Peneliti di Alvara Strategic
[1] Ali, Hasanuddin (2017). "Anies, Riding The Populism Wave." Alvara, 3 Mei 2017. Diakses 21 Juni 2017. URLhttp://alvara-strategic.com/anies-riding-the-populism-wave/
[2] Mudde, Cas. 2004. 'The Populist Zeitgeist', Government and Opposition, Vol. 39(4), pp. 542--563, dalam Perdana, Ari (2017). "Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga FPI." IndoProgress, 23 Januari 2017. Diakses 2 Juli 2017. URLhttps://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump-brexit-hingga-fpi/
[4] Argandoa, Antonio (2017). "Why Populism Is Rising And How To Combat It." Forbes, 24 Januari 2017. Diakeses 29 Juni 2017. URLhttps://www.forbes.com/sites/iese/2017/01/24/why-populism-is-rising-and-how-to-combat-it/#b08e6b81d442
[5] Roth, Kenneth (2017). "The Dangerous Rise of Populism: Global Attack on Human Rights Values." Keynote di Human Rights Watch, 2017. Diakses 29 Juni 2017. URLhttps://www.hrw.org/world-report/2017/country-chapters/dangerous-rise-of-populism
[6] Palatino, Mong (2014). "The Jokowi Effect in Southeast Asia." The Diplomat, 16 Mei 2016. Diakses 1 Juni 2017. URLhttp://thediplomat.com/2014/05/the-jokowi-effect-in-southeast-asia/Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H