Menjelang peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2017 Dewan Pers (DP) Indonesia merilis hanya 74 media yang terverifikasi. Pernyataan DP dalam siaran pers yang dikeluarkan per 3 Februari 2017 tentu membuat masyarakat Indonesia kaget. Kaget bukan karena jumlah media yang terverifikasi sangat sedikit, tapi karena banyaknya media mainstream yang tak masuk di dalamnya.
Media mainstream yang tersebar di seluruh tanah air tak ditemukan dalam daftar media yang ditetapkan DP. Bukan hanya media kelas lokal, tapi juga kelas nasional di antaranya Tempo, Liputan6.com, dan The Jakarta Post termasuk TVRI tak tertera di daftar tersebut.
Siaran pers yang diterbitkan di sejumlah media tentu jadi “kado” spesial saat peringatan HPN yang akan digelar di Ambon, 9 Februari 2017 ini. Juga jadi bumerang bagi aura pers Indonesia karena pada 3 Mei tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah World Press Freedom Day (WPFD).
Keputusan DP akan mengawali program ratifikasi Piagam Palembang yang dilahirkan pada 9 Februari 2010 lalu. Perusahaan pers yang menyatakan siap menjalankan Piagam Palembang akan dibuktikan dalam “kick off” dimulainya era baru pers Indonesia.
Ada yang menganggap hoax atau berita bohong terhadap informasi ini. Asumsi hoax sangat beralasan karena keputusan DP kali ini bersamaan dengan maraknya fenomena hoax di ranah sosial dan media. Hoax merangsek ke berbagai sudut kehidupan. Bahkan sempat beredar informasi bahwa mantan presiden BJ Habibie dinyatakan wafat. Padahal, beliau cuma masuk rumah sakit dan sehat saja.
Namun, jumlah media tervefikasi DP benar adanya. Bahkan situs Tempo.co pada 5 Februari 2017 menurunkan berita yang mengutip pernyataan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo.
“Media yang belum dikeluarkan terverifikasi akan diumumkan secara bertahap,” ujar Yosep Adi Prasetyo seperti disampaikan kepada Tempo.co.
Data terbaru yang dikeluarkan DP per 31 Januari 2017 yang diunduh 6 Februari 2017, jumlah media yang terverifikasi administrasi dan faktual menjadi 77 media. Artinya ada tiga media yang bermarkas di Kalimantan Timur lolos verifikasi lanjutan.
Untuk media terverifikasi, DP akan mencantumkan lebel QR Code atau barcode untuk memudahkan pemindaian khusus media cetak dan siber. Sehingga masyarakat akan bisa memilih media yang ada barcode sebagai media yang sudah dijamin DP layak dilirik masyarakat. Sementara media penyiaran radio dan televisi, DP memberikan jingle Dewan Pers pada awal dan akhir program siaran.
Tak hanya media mainstream yang meradang. Banyaknya media kecil yang lolos verifikasi membuat sejumlah pihak bertanya-tanya. Bahkan mereka menganggap DP memainkan gaya Orde Baru untuk memainkan perannya mengebiri media yang diyakini kerap mengeritik pemerintah.
Standar Pers
Sejumlah pekerja pers pun mempersoalkan verifikasi administrasi dan faktual yang dikeluarkan Dewan Pers. Karena selama ini DP dituding hanya bisa menerima pengajuan admintrasi tanpa ada edukasi maksimal kepada perusahaan pers dan badan publik lainnya.
Agoez Perdana, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dalam artikelnya yang dikirimkan ke media mempertanyakan belum ada standar operasional prosedur (SOP) terhadap berkas yang harus diajukan warga untuk mendirikan perusahaan pers. Satu daerah dengan daerah lain tidak seragam dalam memberlakukan ketentuan.
Saat ini, rujukan terkait bentuk dan standar perusahaan pers hanyalah Peraturan Dewan Pers No.4/Peraturan-DP/III/2008 Tentang Standar Perusahaan Pers, yang diperbarui dengan Surat Edaran Dewan Pers No.01/SE-DP/I/2014 Tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers.
Dalam peraturan tersebut butir 1 berbunyi “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia” (merujuk pada Pasal 9 Ayat 2 UU No. 40/1999). Sesuai Standar Perusahaan Pers. Badan hukum Indonesia yang dimaksud di atas berbentuk Perseroan Terbatas (PT), atau badan-badan hukum lainnya yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan hukum lainnya yaitu Yayasan atau Koperasi.
Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers juga menyebutkan, perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang. Sayangnya, tidak ada penjelasan instansi lain apa saja yang berwenang mengesahkan sebuah perusahaan pers. Apakah misalnya, Dinas Komunikasi dan Informatika kabupaten/kota berwenang pula mengeluarkan surat rekomendasi untuk pendirian media siber? Ketentuan akan rancu jika tidak ada penjelasan secara rinci.
Para pekerja pers dan media yang belum terverikasi wajar merajuk. Karena selama ini DP hanya bisa menjaga kualitas pers secara partial atau lebih pada formalitas seperti administrasi dan faktual. Padahal, ada tugas DP yang tak kalah penting seperti soal kesejahteraan pekerjanya seperti yang diamanatkan dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers pada pasal 10. “Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya”.
Oleh karenanya, verifikasi perusahaan perlu, tapi mengawasi perusahaan pers yang tidak memperhatikan pekerjanya juga penting. Karena itu juga tugas UU yang sama derajatnya dengan mendata perusahaan pers terverifikasi. Sehingga, keputusan media terverifikasi DP tidak membuat pekerjanya meradang, apalagi hoax. Jika tidak ada perubahan mekanisme kerja, maka yang subur adalah hoax bukan pers yang mengedepankan verifikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H