Mohon tunggu...
Afzar Harianja
Afzar Harianja Mohon Tunggu... Lainnya - Bhumi

Bumi Pertiwi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Migrasi Peradaban Sunda ke Sindhu

19 April 2024   13:08 Diperbarui: 19 April 2024   13:13 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MIGRASI PERADABAN SUNDA KE SHINDU

 

SUNDALAND

Sundaland Merupakan Daratan Luas Di Asia Tenggara sebelum tenggelam karena naiknya permukaan air laut  sekitar 120 meter yang terjadi diantara 15.000 dan 3.000 BC tahun lalu. Sebelum tenggelam, Sundaland diperkirakan setidaknya dua kali luas India sekarang, termasuk  Indo-China, Malaysia, Indonesia dan Filipina. Paul Kekai Manansala menulis dalam bukunya “Quest of the Dragon dan Bird Clan” :

“Ada 3 banjir utama, banjir pertama terjadi 14.000 tahu yang lalu, yang kedua terjadi 11.500 tahun lalu dan yang ketiga terjadi 8.500 tahun yang lalu. Permukaan air laut secara perlahan mencapai puncaknya sekitar 5.500 tahun yang lalu. Banjir disebabkan oleh naiknya permukaan air laut bukan karena hujan.

James Churchward, Dalam Bukunya  “The Lost Continent Of Mu” (1926) berpendapat bahwa Sundaland bukan hanya dataran luas yang padat penduduknya tapi juga merupakan pusat peradaban manusia prasejarah. Ini seharusnya tidak mengejutkan jika kita  melihat penemuan yang dilakukan oleh Eugene Dubois (1891) dan Koeningswald (1937).  Tengkorak yang mereka temukan di pulau  Jawa, yang disebut dengan “Java Man”- membuktikan keberadaan Homo erectus (manusia berdiri tegak) sekitar 400.000 sampai 700.000 tahun yang  lalu.

Homo erectus adalah spesies yang sudah punah dari genus Homo yang hidup sekitar 1.8 juta sampai 50.000-70.000 tahun yang lalu, dan merupakan leluhur langsung dari Homo sapiens (manusia yang dikenal sekarang) atau kita sendiri.

Hasil Penemuan Mendukung Bahwa Posisi Multiregional evolusi manusia menunjukkan bahwa Hominid seperti Java Man di Indonesia dan Peking Man di China adalah leluhur utama dari Asia Timur Modern. Diamping itu, memang ada bukti-bukti keberadaan Homo sapiens di region ini 43.000 BC. Juga ada bukti-bukti migrasi massal  ke daratan kering jauh, yang diakibatkan oleh zaman es yang mencair sehingga menyebabkan banjir besar berkali-kali.

 (Satu Hal Yang Merupakan Keluhan Saya, adalah bahwa, again, kita ini masih terbawa konsep-konsep lama, dan konsep-konsep lama itu mengatakan bahwa kita berasal dari Afrika, kita berasal dari Mongloid. Tetapi kalau kita melihat, bukti-bukti Homo erectus itu ada disini (Jawa, Indonesia).

 Jadi apakah memungkinkanini pertanyaan yang agak menggunakan logika saja, dengan cara merangkak, apakah memungkinkan, kalau kita belum menjadi Homo erectus, kita datang dari Afrika as a binatang, I don’t think so, I think, apa yang terjadi disini, malapetaka, tsunami yang beruntun, eruption (letusan gunung berapi yang beruntun), itu justru membuat Masyarakat kita ber hijrah. Seperti dalam kitab-kitab kuno, orang Yunani itu disebut Yavan. Yavan itu berarti, exactly, orang dari Yavadwipa. Orang Jawa, Yava.

Jadi  bukannya kita mendapat hijrah dari lain tempat. Justru kita berhijrah kesana. Kita berhijrah ke India, Kita berhijrah ke “Yunani” sampai ke “Mesir”. Kita harus mulai memikirkan sejarah kita secara ulang…tadi aja (maksudnya di museum Sangiran) begitu kita memunculkan manusia modern, yang kita munculkan apa? Manusia yang memakai baju seperti saya kan ?.

 Kenapa tidak memunculkan manusia yang memakai Jarik, pake Batik. Karena baju yang kita tampilkan disitu baru berapa tahun sih ?, sejak kita dijajah kan ?. Apakah sebelumya kita telanjang ?. Tidak. Kita punya kearifan lokal, kita punya kuliner lokal, kita punya pakaian lokal, pakain adat. Ini harus dimunculkan. Ketika memunculkan orang modern, justru orang itu memakai celana barat, baju barat, ini harus dikoreksi sedikit. Sumber : Instagram. anandkrishnaindo. Live. 1 maret 2024


PERADABAN LEMBAH INDUS. Migrasi Pertama Dari Sundaland akibat banjir bandang, terjadi sekitar 14.000 tahun yang lalu dan mengarahkan mereka menuju tempat yang sekarang dikenal dengan subkontinen India. Mereka sangat traumatis akibat banjir bandang di Sundaland sehingga mereka berpindah ke arah utara sejauh yang mereka mampu, sampai akhirnya mereka bertemu dengan sungai Sindhu yang besar atau Indus,  sungai yang besar seperti lautan.

Dalam Bahasa Sanskrit, kata Sindhu berarti lautan. Sungai Sindhu memulai perjalanannya dari Himalaya Tibet yaitu sungai Sengge dan Gar. Sungai Sindhu juga mengalir sampai sekarang melewati India, Pakistan sampai ke laut Arab.

Orang Bijaksana, Pemikir, Filsuf, Dan Ilmuwan diantara mereka pertama kali menetap dipinggir sungai besar Sindhu dan menyebut sungai tersebut  sebagai Saraswati untuk merayakan dan memulikan Dewi Pengetahuan, Kebijaksanaan, Seni dan Musik. Di tempat tersebutlah, di tepian sungai Sindu Saraswati – Sungai Saraswati yang seperti laut- mereka berkomtemplasi dan diperkaya dengan inspirasi yang segar. Kemudian, seluruh inti pengetahuan, sains, seni dan music di sistemasikan, lalu diedit oleh Resi Vyasa Penulis Mahabharata, yang akhirnya juga disebut dengan Veda, yang artinya Esensi Kebijaksanaan.

Seperti itulah, peradaban Sunda dimulai (di Indian Subkontinen), yang sekarang kita sebut Peradaban Lembah Indus, reruntuhan dari peradaban Mohen-jo- Daro di Pakistan dan beberap tempat di India masih dipelajari oleh arkeolog dan antrapolog dari seluruh dunia.

Fragmentasi Benua Jambudwipa. Sekitar 11.500 tahun yang lalu, banjir besar kedua menyebabakan Sundaland terpecah dan terbagi-bagi. Dataran tinggi tetap berada di atas air sedangkan dataran rendah tenggelam dan meyatu dengan lautan. Sundaland tidak lagi menjadi daratan yang luas.

Dulu Dataran Sundaland Menyatu Dengan Subkontinen India (sekarang Modern India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Myanmar dan Bhutan), sekarang pulau-pulau Sunda terpisah. Sebelum terfragmentasi, seluruh region tersebut disebut Jambudwipa, “luas” atau “dataran yang besar”. Memang keberadaan Sundaland yang memberikan nama tersebut ke wilayah yang luas itu. Jambu merupakan jenis guava yang besar yang masih dapat ditemukan di Kepulauan Indonesia. Saya merasa bahwa kata “jumbo” berasal dari “jambu” (AK).

Demikianlah, pulau-pulau pecahan dari Sundaland mulai dikenal dengan berbagai nama. Epos Ramayana  dari India, yang ditulis oleh Resi Valmiki sekitar 8.000 BC, menyebut Yavadwipa – Java or Jawa. Yava sering diartikan sebagai Barley, sorgum tapi itu juga bisa berarti biji-bijian, semua tipe biji-bijian yang putih. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Yavadwipa kaya akan berbagai macam produksi biji-bijian.

Proses Fragmentasi Ini Berlangsung Selama Ribuan Tahun, menyebabkan munculnya ribuan pulau besar dan kecil. Nama baru dibuat dan diperkenalkan. Salah satu yang paling terkenal diantaranya adalah Svarnabhumi atau Svarnadwipa – hari ini disebut dengan Sumatera, pulau terbesar kedua setelah Yavadwipa. Svarna adalah kata Sanskrit untuk “Emas” dan Bhumi adalah “Tanah”, sedangkan Dvipa adalah “Pulau”. Oleh karena itu Svarnabhumi dapat diterjemahkan sebagai Pulau yang tanahnya mengandung Emas.

 

PERADABAN MESIR KUNA. Banjir bandang kedua (11.500 tahun yang lalu) dan fragmentasi Sundaland memaksa lebih banyak warga Sundaland untuk meninggalkan kampung halamannya mengikuti jalan yang telah dilalui leluhur mereka menuju dataran tinggi. Mereka mengalami trauma yang lebih berat dibandingkan dengan migrasi yang pertama. Sangat menyedihkan melihat tanah di dibawah kaki mereka retak dan memisahkan kota-kota mereka serta menelan kampung-kampung mereka.

Dan yang memperburuk keadaan adalah terjadinya ledakan gunung berapi dan gelombang tinggi yang tidak terprediksi dan membunuh ribuan hanya dalam sekejap mata. Pada saat itu, mereka betul-betul terpecah-pecah. Mereka mengambil beberapa rute yang berbeda untuk mencari dataran yang aman.

Demikianlah, satu group besar, setelah berjalan beberapa ratus tahun dan beberapa generasi, akhirnya mereka tiba di tanah si Hitam, anak dari Mama Africa. Dalam perjalanan menuju kesitu, mereka berinteraksi dan kawin campur dengan beberapa suku yang berbeda, termasuk dengan sepupu jauh mereka, suku Sunda yang pertama migrasi dan menetap di Inda, Dimana mereka dipanggil Mishra artinya campuran atau gabungan.

Mereka adalah warga Masyarakat Kosmopolitan yang pertama. Dan mereka bangga akan hal itu dan dinamakan Mishra- kosmopolis- karena telah menemukan tanah yang baru dan menjadi tempat tinggal mereka. Inilah Mesir Kuno, dulunya disebut “Kemet”, yang artinya “hitam”.

PERADABAN YUNANI KUNO. Banjir bandang ketiga terjadi seekitar 8.500 tahun yang lalu, sekali lagi, memindahkan warga Sundaland. Saat itu, pulau utama mereka, Pulau Yavadwipa yang mengalami perpecahan.

Java, hari ini, adalah pulau yang paling padat penduduknya, merupakan pecahan dari Yavadwipa yang lebih besar sebelum terjadinya banjir bandang ketiga. Beberapa kelompok penting pada saat migrasi besar tersebut bergerak menuju daerah yang kita sebut dengan Greek. Saat itu adalah tanah luas yang tidak berpenghuni. Warga Sundaland dari Yavadwipa bukan hanya pembangun yang hebat tapi juga artistik.

Mereka menyebut mereka sendiri dan negerinya dengan sebutan Yavan, artinya “dari pulau yava”. Ribuan tahuan kemudian, pelancong dari China akan menyebut Yavan sebagai Yunan. Greek Kuna- sumber demokrasi modern dan filosopi barat- tidak lain adalah cabang dari Sundaland yang besar atau Vangadesh, demukian warga sunda kuno menyebut tempat mereka.

Ya, Vangadesh. Adalah Charles de Brosses yang membuat nama Sundaland dalam risalahanya pada tahun 1756 yang berjudul “Histoire de Navigations aux terres Australes”. Beberapa ahli berpendapat bahwa ia mendapatkanya dari Bahasa latin untuk kata “ Asia Selatan”. Namun setelah mempelajari rekaman sejarah kuna, saya tidak yakin dengan hal tersebut. Charles de Brosses, saya meyakini dengan kuat, pasti sudah pernah mempelajari tentang Sunda dan Warga Sunda dari berbagai literatur sehingga akhirnya menambahkan kata “land” dibelakang kata Sunda.

 

SUNDARA KANDA : THE BEAUTIFUL EPISODE

( The Fifth Part Of Ramayana)

 

Kisah Ramayana, epik yang paling terkenal di kepulauan kita menjelaskan tentang keindahan dan kekayaan pulau Yavadvipa (Jawa) dan Svarnadvipa (Sumatra). Kish ini ditulis sekitar 10.000 tahun yang lalu dengan tokoh utamanya adalah Sri Rama.

“ Setelah menjelaskan pulau dengan dinding emas (Svarnadwipa atau Sumatra), dengan segala Upaya capailah Yavadwipa (the island of Java), adorned oleh 7 Kerajaan, pulau emas dan perak, dipenuhi oleh tambang emas, kemudian setelah Yavi (Java) kamu akan menemukan gunung Shishira yang puncaknya menyentuh langit dan tempatnya para dewa dan setan berdiam” (Source. “India and Java” by Bijan Raj Chatterjee, 1993)

 

Sundara, Sunda, Yavadvipa, Svarnadvipa. Dalam Kisah Ramayana, dalam kisah Sundara Kanda, kisah  di Negeri yang Indah, menyebutkan tentang kepulauan kita yang Makmur, beradab dan maju. Artin ya, kita adalah bangsa yang sudah berbudaya dan maju sejak dulu kala. Kita tidak mengimpor budaya dari India, Sundaland, Jambudvipa, adalah satu daratan yang mewarisi peradaban yang sama. Dan peradaban kita adalah Peradaban  , Sindhu, Hindu, Indus atau Sanatan Dharma yang berasal dari Sunda, Sundaland. (ah.penulis)

 

(Anand Krishna. The Wisdom of Sundaland: The Ancient Urecorded Prehistory of the Indonesian Archipelago. 2021. PT. Gramedia Pustaka Utama)

 

 

CREATING HARMONY

 

Segala Sesuatu Di Dalam Alam Ini berjalan lancar sesuai dengan kodratnya, sampai pada suatu saat manusia mulai melakukan intervensi. Dengan menggunakan kurang dari 10 persen potensi otaknya, ia berhalusinasi bahwa dirinya dapat memperbaiki alam.  Ia menebang pohon secara sembarang, mengubah fungsi hutan, mendirikan bangunan di atas lahan serapan air, mengeringkan lautan, dan merasa Bahagia karena merasa berhasil menaklukkan alam. Padahal, alam tidak bisa ditaklukkan.

………………………………………………………………………………………….

Ketidaksadaran diri dan ketakharmonisan dengan alam telah menyebabkan berbagai bencana yang msih terasa dampaknya.

Belasan Ribu Tahun Yang Lalu, badai, topan, banjir hebat memunculkan pegunungan Himalaya dan memecah belah jambudwipa- Benua Besar. Kita terpisah, jarak antar kepulauan pun bertambah. Keluarga besar kita tercerai-berai. Maka, kekuatan-kekuatan asing pun dengan sangat mudah dapat menguasai kita. Terjadilah penjajahan budaya, agama, kepercayaan, adat istiadat, ekonomi dan politik.

Saat Itu Pun, Penyebabnya Arogansi Kita. Kemajuan teknologi dan sains tidak diimbangi dengan kesadaran. Saat itu pun, kita sempat merusak alam, meracuni air sungai, mencemari air laut. Akibatnya, kita warisi “dunia” yang kita huni saat ini. Belahan barat kelebihan produk susu, benua Afrika kekeurangan gizi. Amerika kelebihan produksi gandum, Asia kekuranagan. Ada daerah-daaerah Dimana air brlimpah, ada yang tandus, gersang

Orang “Bule’ harus melawan alam, karena memang alam di sana kurang bersahabat. Kita menjadi pemalas di Tengah udara yang amat lembap.

Setelah Bencana Besar Itu, Berikutnya Adalah Bencana yang terekam dalam literatur dan kitab-kitab suci Timur Tengah: Banjir yang dikaitkan dengan Nabi Nuh. Kendati demikian, antara bencana besar yang melahirkan Himalaya dari kandungan laut atau Sindhu dan banjir di masa Nabi Nuh ada masa tenang yang cukup Panjang. Hampir 10.000 tahun atau bahkan lebih dari itu.

Bencana Alam Berikutnya Yang Memengaruhi kehidupan manusia adalah letusan Krakatau; hampir 4.000 tahun kemudian. Namun antara Krakatau (Meletus pada tahun 1883, meyebabkan dunia gelap selama 2,5 hari. Getarannya terasa sampai ke Eropa. Korban jiwa 36.000 orang ) dan Tsunami 2004 kurang lebih dari dua abad.

Jarak antara satu bencana dan bencana lain makin dekat, makin pendek. Ini sungguh mengkhwatirkan. Ini membuktikan betapa sudah tidak harmonisnya diri kita dengan alam, dengan lingkungan.

………………………………………………………………………………………….

Bila kita mendambakan kedamaian dunia, mari berdamai terlebih dahulu dengan diri sendiri. Bila kita menginginkan keselarasan alam, mari kita selaraskan terlebih dahulu pikiran serta perasaan kita dengan ucapan serta tindakan kita.

Solusi-solusi luaran tidak membantu. Kita harus mencari Solusi di dalam diri. Perang dan pertikaian yang terjadi di luar; ketakselarasan dan ketidakseimbangan yang kita lihat Dimana-mana berasald ari dalam diri kita; bukan orang laiun. Bukan keaadaan di luar. Diri kita masing-masing beres, kita semua beres, negara dan bangsa beres, dunia beres, alam beres.

Kita harus belajar cara-cara untuk membereskan “aku”, diriku.

MEMBERESKAN “AKU” DIRIKU

(Anand Krishna. Neo Psychic Awareness. 2005. PT. Gramedia Pustaka Utama)

PT. Gramedia Pustaka Utama
PT. Gramedia Pustaka Utama

SHINDU…SHINTU…HINDU…INDUS

Peradaban Penyaksi Kelahiran Kepercayaan-Kepercayaan Manusia

…kata itu (Hindu-ak) tidak ada dalam budaya India.

Kata itu adalah pemberian orang-orang yang dating dari luar India, untuk wilayah

 (geografi-ak)

dan warga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.

Adapun warga masyarakat Persia dan Yunani adalah orang-orang (asing-ak) pertama yang dating dari luar India dan mereka harus menyebrangi sungai Sindhu, yang sekarang disebut Indus.

(Saat itu- ak) mereka belum tahu sesuatu apa pun tentang wilayah luas yang berada di Seberang sungai, sehingga Sindhu, sekaligus mereka anggap sebagai nama negara, Masyarakat dan budayanya.

Dalam Bahasa Persia, “S” diucapkan sebagai “H”, maka Sindhu menjadi Hindu. Dalam Bahasa Yunani, “H” menjadi “I”, sehingga Hindu menjadi Ind..

(ak. = Anand Krishna)

(Swami Krishnananda, 1922-2001, Sanyasi dari Ordo Sivananda Divine Life Society dalam “Heritage of Indian Culture”)

 

 

Sejarawan besar Arab, Al-Biruni (973-1048) dalam Magnus Opus-nya “Tarik Al-Hind (Sejarah India atau lebih di kenal sebagai Indica) sesungguhnya adalah bagian dari peradaban yang satu dan sama – peradaban yang sekarang disebut sebagai peradaban Lembah Indus.

Sindhu dalam Bahasa asli Sanskrit, pertama sekali disebut o leh para pelancong Cina sebagai Shintu, kemudian Intu – dilafalkan sebagai Hindu oleh para Arab dan Persia. Portugis menyebutnya Indies, dan Inggris serta Belanda menciptakan kata India dan Indo.

(Anand Krishna, Dvipantara Yoga Sastra. Ilmu Yoga Kuna Nusantara untuk Masa Kini : Vrati Sasana, Tattva Sang Hyang Mahajnana. Centre for Vedic & Dharmic Studies. 2015)

 

PT. Gramedia Pustaka Utama
PT. Gramedia Pustaka Utama

 

Yang Terlewatkan Oleh Swami Krishnananda adalah ucapan dalam Bahasa Cina atau Chinese, yaitu Shintu, Shintuh atau Intu – yang lebih dekat dengan  ucapan aslinya, yaitu Sindhu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Sang Swami, Istilah atau kata Hindu juga tidak ada dalam lontar-lontar kuno yang ditemukan diwilayah kita sendiri, yakni Dvipantara atau Nusantara. Karya besar Mpu Prapanca, Negarakertagama (sekitar 1365) tidak menyebutnya. Demikian pula dalam kakawin Sutasoma, buah Karya Mpu Tantular (masih sekitar abad ke -14) – tidak ada sebutan Hindu.

Sutasoma meyebut Shiva-tattva dan Jinna-tattva, inti filsafat atau ajaran Shiva dan Jinna, yakni para Buddha dan Tirhankara, mereka yang meraih kesempurnaan hidup dalam kesunyataan abadi.

Kembali Pada Istilah Shindu dari Bahasa Sanskrit… Bali tidak asing dengan istilah tersebut, kata Sindhu sudah dikenal sejak masa lalu dan masih popular hingga hari ini. Antara lain, ada Sindhu beach, ada Desa Sindhu- Demikian pula di India. Kata Hindu mulai popular Ketika terjadi invasi asing; Ketika para penjarah dari luar akhirnya memutuskan untuk menetap di India, dan menyebutnya Hindustha atau Asthana (Sanskrit) yakni tempat orang-orang Hindu.

Saat Itu Pun, Para Penjarah yang kemudian menetap dan membangun Kerajaan India, masih menggunakan istilah Hindu dalam konteks peradaban, budaya, dan wilayah geografis. Penduduk asli yang melawan godaaan konversi untuk meraih penghasilan dan kedudukan yang menggiurkan dan memilih untuk tetap setia pada Dharma – disebut Sanatani atau pengikut Vaidik Dharma.

Adapun, sebagaimana akan kita bahas dalam bagian lain buku ini, Sanatana Dharma merujuk pada “Dharma, pedoman Hidup atau Nilai-nilai Luhur yang memastikan kesejahteraan, kebahagiaan, kebaikan semua mahluk hidup, dan bersifat Sanatana, langgeng Abadi.”

Sementara itu, Istilah Vaidik merujuk pada Veda, yang menjelaskan nilai-nilai luhur Dharma yang bersifat mulia dan memuliakan. Veda, sebagai kitab, Adalah Kumpulan dari nilai luhur tersebut. Secara generik. Veda juga berarti “Pengetahuan” Sejati – Pengetahuan tentang Jati Diri; Pedoman terkait Hubungan Manusia dengan sesama Manusia, bahkan sesame Mahluk Hidup dan Wujud-Wujud Kehidupan lainnya.

Inilah Hindu Dharma, Inilah Dharma Warga Bumi yang berada dalam wilayah peradaban Sindhu-Saraswati – dua sungai besar yang menjadi sumber kehidupan bagi Sebagian besar Masyarakat Sanatani atau Vaidik di masa silam.

Wilayah peradaban ini tidak tanggung-tanggung luasnya – mencakup Sebagian negara modern Iran, Afghanistan, Pakistan, India, Bangladesh, Bhutan, Nepal, Tibet; negara-negara di Asia Tenggara, termasuk kepulauan kita – hingga perbatasan Australia, dulu disebut Astralaya.

Ketika Warga Bumi dari wilayah peradaban ini bermigrasi ke tempat-tempat lain, ke pulau-pulau dan benua-benua lain, maka ikut bermigrasi pula nilai-nilai luhur yang telah menjadi pedoman hidup mereka.

Maka, Tidak Hanya Semua Suku Bangsa yang berada dalam wilayah peradaban terebut saja yang mewarisi filsafat hidup yang sama- Dharma yang sama – tapi juga leluhur bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

“Walau tampak beda, esensi mereka satu adanya – sebab tiada dualitas, tiada perbedaan dalam Dharma” – Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa -  demikian kesimpulan sekaligus rumusan Mpu Tantular sebagaimana tertulis dalam Kakawin Sutasoma. Penggalan awal dari rumusan inilah yang kemudian menjadi motto, menjadi semboyan bangsa kita yang berada dalam wilayah Republik Indonesia.

Aneh Tapi nyata, bagi Masyarakat awam China atau Chinese, hingga saat ini pun orang Indonesia atau orang India adalah Intu, warga Shintu atau Shintuh. Mereka justru mengapresiasi persamaan diantara kita.

Istilah-istilah India, Indonesia, Indies, Indo, bahkan Indigenous untuk warga  Asli di manapun – Red Indian di Amerika, Aborigin di Benua Australia, dan lainnya – jadi bukan sekedar pribumi India dan Indonesia – semuannya bersumber dari satu kata yang sama : Sindhu.

Jika Anda memperhatikan peta bumi, seluruh wilayah peradaban ini memberi kesan gambar seekor singa. Setidaknya sejak 2.000-an tahun, seperti inilah bentuk geografis wilayah peradaban kita. Oleh karena itu, Raja Ashoka (304-232 SM), memilih singa sebagai logo kerajaannya yang kemudian diadopsi oleh Republik India Modern.

Fakta-Fakta Historis Ini Perlu Kita Ketahui, supaya terbebaskan dari ilusi bahwasanya Hindu adalah kepercayaan atau budaya impor dari India. Tidak. Kita di dalam wilayah Peradaban Sindhu atau Hindu, memang mewarisi akar budaya yang sama, peradaban yang sama, filsafat hidup atau Dharma yang sama.

Kepercayaan-kepercayaan asli di seluruh wilayah peradaban ini; bahkan nilai-nilai unggul dalam budaya-budaya kuno di seluruh dunia bersumber dari satu induk yang sama: Sindhu atau Hindu dalam pengertian generik Peradaban Sindhu atau Hindu.

Anggapan Bahwa Hindu Bali Beda Dari Hindu India; Hindu Jawa beda dari Hindu Bali; apa yang sekarang kita sebut kepercayaan-kepercayaan awal di suatu tempat dari kepercayaan-kepercayaan awal di tempat lain, dan sebagaiannya dan seterusnya – adalah benar selama konteksnya adalah adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan  yang memang subject to change – dapat berubah-ubah berdasarkan  jati-desa-kala-samaya dan patra – latar belakang suku, tempat kelahiran maupun tempat tinggal, waktu, keadaan dan segala perbedaan duniawi atau material lainnya termasuk pelaku dari adat-istiadat tersebut.

Namun Jika Konteksnya Adalah Dharma, maka tiada dualitas dalam Sindhu atau Hindu Dharma – sejak awal satu dan sama. Sejak awal sudah demikian, dan di kemudian hari pun nilai-nilai luhur Dharma bersifat Sanatana, Sama, Langgeng, Abadi.

Kiranya perlu saya ulangi dan tegaskan Kembali bahwa suara-suara demikian; teori-teori yang membedakan Dharma seperti itu – hanya akan melemahkan kita sendiri, dan sesungguhnya memang tidak sesuai dengan nilai-nilai kita sendiri.

Sayang, Beribu-Ribu Kali Sayang – buku-buku Pelajaran kita tidak mengungkapkan hal-hal seperti ini. Bahkan banyak pula dosen-dosen kita yang masih terpengaruh  oleh tulisan-tullisan sebelum 1970-an, Dimana Hindu dikaitkan dengan kaum Arya, yang kemudian disebut berasal dari wilayah lain, di luar wilayah peradaban kita sendiri.

Celakannya, bangsa Arya ini ditampilkan sebagai bangasa yang menginvasi wilayah peradabaln kita, kemudian menggusur kepercayaan-kepercayaan dan budaya asli pribumi. Hasil rise, penelitian dan penggalian di wilayah perbatasan antara India dan Pakistan, negara bagian Gujarat, Haryana dan lainnya – sudah membuktikan tanpa keraguan apa pun bahwa anggapan-anggapan sebelumnya itu keliru semua.

Tulisan-Tulisan Kita Sendiri, Termasuk Veda tidak menyebut Arya sebagai kaum pendatang. Arya adalah sebutan generik bagi mereka yang beradab, the civilized people, mereka yang berakhlak, mereka yang mulia dan memuliakan. Bahkan dalam Dhammapada, yang memuat inti ajaran Buddha Siddharta Gautama, sebutan Arya masih tetap digunakan dalam konteks tersebut. Sang Buddha menjelaskan kualitas-kualitas seorang Arya, kualitas-kualitas yang mulia dan memuliakan. Jadi Arya bukanlah sebutan bagi suatu kaum atau bangsa tertentu. Anggapan demikian keliru adanya.

 

(Anand Kirishna.Sindhu Samskriti : Nilai-nilai Luhur Warga Bumi. Pusat Studi Veda dan Dharma)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun