Yang Terlewatkan Oleh Swami Krishnananda adalah ucapan dalam Bahasa Cina atau Chinese, yaitu Shintu, Shintuh atau Intu – yang lebih dekat dengan ucapan aslinya, yaitu Sindhu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sang Swami, Istilah atau kata Hindu juga tidak ada dalam lontar-lontar kuno yang ditemukan diwilayah kita sendiri, yakni Dvipantara atau Nusantara. Karya besar Mpu Prapanca, Negarakertagama (sekitar 1365) tidak menyebutnya. Demikian pula dalam kakawin Sutasoma, buah Karya Mpu Tantular (masih sekitar abad ke -14) – tidak ada sebutan Hindu.
Sutasoma meyebut Shiva-tattva dan Jinna-tattva, inti filsafat atau ajaran Shiva dan Jinna, yakni para Buddha dan Tirhankara, mereka yang meraih kesempurnaan hidup dalam kesunyataan abadi.
Kembali Pada Istilah Shindu dari Bahasa Sanskrit… Bali tidak asing dengan istilah tersebut, kata Sindhu sudah dikenal sejak masa lalu dan masih popular hingga hari ini. Antara lain, ada Sindhu beach, ada Desa Sindhu- Demikian pula di India. Kata Hindu mulai popular Ketika terjadi invasi asing; Ketika para penjarah dari luar akhirnya memutuskan untuk menetap di India, dan menyebutnya Hindustha atau Asthana (Sanskrit) yakni tempat orang-orang Hindu.
Saat Itu Pun, Para Penjarah yang kemudian menetap dan membangun Kerajaan India, masih menggunakan istilah Hindu dalam konteks peradaban, budaya, dan wilayah geografis. Penduduk asli yang melawan godaaan konversi untuk meraih penghasilan dan kedudukan yang menggiurkan dan memilih untuk tetap setia pada Dharma – disebut Sanatani atau pengikut Vaidik Dharma.
Adapun, sebagaimana akan kita bahas dalam bagian lain buku ini, Sanatana Dharma merujuk pada “Dharma, pedoman Hidup atau Nilai-nilai Luhur yang memastikan kesejahteraan, kebahagiaan, kebaikan semua mahluk hidup, dan bersifat Sanatana, langgeng Abadi.”
Sementara itu, Istilah Vaidik merujuk pada Veda, yang menjelaskan nilai-nilai luhur Dharma yang bersifat mulia dan memuliakan. Veda, sebagai kitab, Adalah Kumpulan dari nilai luhur tersebut. Secara generik. Veda juga berarti “Pengetahuan” Sejati – Pengetahuan tentang Jati Diri; Pedoman terkait Hubungan Manusia dengan sesama Manusia, bahkan sesame Mahluk Hidup dan Wujud-Wujud Kehidupan lainnya.
Inilah Hindu Dharma, Inilah Dharma Warga Bumi yang berada dalam wilayah peradaban Sindhu-Saraswati – dua sungai besar yang menjadi sumber kehidupan bagi Sebagian besar Masyarakat Sanatani atau Vaidik di masa silam.
Wilayah peradaban ini tidak tanggung-tanggung luasnya – mencakup Sebagian negara modern Iran, Afghanistan, Pakistan, India, Bangladesh, Bhutan, Nepal, Tibet; negara-negara di Asia Tenggara, termasuk kepulauan kita – hingga perbatasan Australia, dulu disebut Astralaya.
Ketika Warga Bumi dari wilayah peradaban ini bermigrasi ke tempat-tempat lain, ke pulau-pulau dan benua-benua lain, maka ikut bermigrasi pula nilai-nilai luhur yang telah menjadi pedoman hidup mereka.
Maka, Tidak Hanya Semua Suku Bangsa yang berada dalam wilayah peradaban terebut saja yang mewarisi filsafat hidup yang sama- Dharma yang sama – tapi juga leluhur bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.
“Walau tampak beda, esensi mereka satu adanya – sebab tiada dualitas, tiada perbedaan dalam Dharma” – Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa - demikian kesimpulan sekaligus rumusan Mpu Tantular sebagaimana tertulis dalam Kakawin Sutasoma. Penggalan awal dari rumusan inilah yang kemudian menjadi motto, menjadi semboyan bangsa kita yang berada dalam wilayah Republik Indonesia.