Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penguasa Senyap dan Pembisik Angin

26 Agustus 2015   13:36 Diperbarui: 29 Agustus 2019   15:53 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Three Spheres II, cetakan Litograf dari Maurits Cornelis Escher.

*

Sebuah negeri, entah itu konkret atau abstrak, mengandung setidak-tidaknya empat elemen yang menyeimbangkannya pada arah-tujuan penciptaannya, atau setidak-tidaknya dua kutub yang menjaganya berotasi pada poros diamnya.

Kita mengenal elemen Api, Air, Tanah, dan Udara yang diadopsi dari zaman jauh sebelum Confusius, dan digambarkan dalam legenda-legenda tiga dimensi buah karya komputer. Masyarakat penyihir di pelosok New Forest, Inggris pada tahun enam puluhan bahkan begitu mencintai orang-orang berelemen air, dan senantiasa berhati-hati saat menyadari tahun berjalan sedang memasuki elemen angin atau kayu.

Dalam realita opini dan perkembangan interaksi, manusia mendapati dirinya bermain dengan persepsi, lalu membentuk kekuatan jati diri. Sejak lahir dikenalkan dengan tujuan penciptaan, manusia senang menggambarkan fenomena ini dalam analogi sekawanan yang menaiki tangga-tangga, di mana satu orang berada pada ketinggian berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula. 

Ada yang cukup dengan sepuluh anak tangga, ada pula beberapa yang menanjak tinggi dan merasa segumpalan awan yang baru saja dilewatinya belumlah cukup.

Dalam dimensi egoisme dan kemerdekaan naluriah itulah, agar senantiasa berpikir, makhluk berakal mendapati dirinya terjebak di antara elemen-elemen yang mengandung konsekuensi. Itulah karakter, di mana sebagian orang menikmati keriuhan dirinya di tengah keramaian bak api yang membara, sementara lainnya memojokkan dirinya dalam kurungan emas kokoh di mana ia merasa akan terlindungi, dan tak seorangpun dapat mengganggu-gugat pemikiran serta persepsi lahiriahnya.

Di negeri sederhana yang tak beraturan inilah lahir lima kelompok cendekia yang menonjol, termasuk Penguasa Senyap, si pemilik tahta yang sejatinya tak berkuasa, dan Pembisik angin, pejalan kata yang menguasai arah persepsi manusia-manusia lainnya.

Kelima golongan cendekia berada dalam satu bumi yang sama, tetapi bernaung di bawah atmosfer yang berbeda-beda.

Tidak satupun dari mereka menikmati berlama-lama menjadi bagian dari golongan lain. Dan kalaupun terjadi pembauran, kadang kala itu sifatnya semu, mewakili kampanye karakter atau perwakilan yang tidak jujur, tendensius, atau mungkin muslihat.

Di banyak waktu, tiap-tiap dari lima golongan cendekia ini menikmati keriuhan di kelompok mereka sendiri, dan atau mengurung diri pada apa yang diyakininya sebagai cara aman agar tidak tercemari. Mereka sering kali tidak percaya struktur. 

Mereka meyakini bahwa bumi adalah pijakan sama rata, datar tak bermuara. Dan meskipun mereka hidup di bawah naungan sebuah struktur, mereka menganggapnya sekadar wadah, di mana ruang di bagian badan ke bawah lebih leluasa ketimbang sempitnya struktur leher. Mereka inilah para wakil dari keramaian, yang menyadari mereka bisa mengubah sesuatu, sekaligus tidak menyadari betapa semunya keberadaan mereka sendiri.

Mari kita simak satu per satu.

Penguasa Senyap

Jumlah mereka tidak banyak. Bahkan sering kali tunggal. Mereka percaya bahwa Kekuasaan adalah amanat dari langit. Raganya tak melangkah terlalu jauh, tetapi titahnya dapat terbang melewati horison, menggerakkan segenap perwira dan penentu dibukanya kotak-kotak hadiah.

Ia adalah penanda tangan, kepala keluarga, pengatur arah orang-orang yang ditanggungnya. Tetapi sebagaimana lazimnya penguasa, ia menguasai tak lebih dari singgasana. Ia tak banyak bicara namun merasa wajib menyimak apapun yang ia dengar di sekeliling mejanya.

Meski begitu ia buta. Tidak bisa mendengar bisik-bisik para pembenci dari balik dinding istananya. Ia jarang tahu jika para panglima sedang bersekongkol membicarakannya. Ia adalah penguasa senyap, yang mengagumi kilau namanya di atas kertas, tetapi terjebak dalam begitu banyak pilihan yang justru mengekangnya untuk menghasilkan kata-kata.

Ia adalah King of the Silent, penguasa simbolis belaka.

Pengambil Tindakan

Bertempat tinggal di antara dua dunia. Ibarat pertemuan dua bantaran sungai, ia adalah jembatan, penyambung lidah antara dunia tahta dan dunia jelata. Ia begitu disanjung di kalangan bawah, dan begitu dihormati oleh para petinggi. Kokoh sifatnya memerlukan karakter suara yang lantang, artikulasi ide yang tajam, serta efek kepercayaan yang nyata.

Mereka, Pengambil Tindakan sering kali merasa menjadi duta dari Raja, mengambil tindakan di luar perintah. Mereka para inisiator, penghulu, ujung tombak. Meski begitu mereka tak dibekali kekuatan berpikir, meski kaya akan ambisi. Mereka pengagum peta dan aneka struktur rumit perbekalan perang. Mereka memercayai bahwa dunia dibentuk oleh tindakan dan bukan kata-kata. 

Mereka punya kuasa menerima titah dari sang raja, sekaligus menelikung dan memelintirnya jika mereka mau, saat huru-hara adalah kesempatan emas menonjolkan diri.

Merekalah Walker of the Talk, para panglima kepercayaan. Mata mereka ada di depan dan di belakang.

Duta Keramaian

Mereka penyuka kue. Mereka memasak untuk para tentara, berbicara dengan para panglima. Di banyak negeri, jumlah mereka paling banyak. Mereka tinggal di rumah-rumah tapi suara mereka dapat menembus langit. Mereka bulir-bulir hujan pecah, kalau bersatu dapat merobohkan tebing, dan kalau mengalir terus menerus dapat melubangi batu. 

Mereka Duta Keramaian, tidak ambil pusing dengan urusan-urusan yang berat. Pemikiran mereka sederhana dan persepsi mereka begitu terbatas, tetapi mereka menikmati itu.

Mereka suka keragaman, percaya bahwa semua makhluk diciptakan dengan rasa yang sama. Karena itu mereka senang memasak, menciptakan sebuah acara di mana siapapun dapat berkunjung. Mereka penyayang meja, karena di situlah cerita-cerita mereka berpadu. Mereka bukanlah penambang, tetapi sangat bergairah melihat keping-keping emas. 

Mereka berada di manapun, mengokupasi hampir semua pasar, menghangatkan hampir semua bangku. Mereka tak berpikir saat topik telah menguasai mereka, dan begitu tersinggung ketika seseorang menggunjingkan atau mengkritik naluri alamiah mereka. Mereka para pengobrol yang alergi pada diskusi.

Mereka menyukai sorot lampu, panggung keramaian, riuh tepuk tangan, tapi membenci wujud keseriusan yang penting. Mereka tidak percaya struktur tetapi ingin jadi bagian utama darinya. Dunia adalah kesempatan terbatas, dan keramaian bukanlah kemegahan yang bertahan lama.

Mereka para pembicara handal yang takut menghadapi podium. Merekalah Ambassador of Crowd, menikmati keriuhan yang janggal di tengah udara panas yang bercampur-campur.

Penjaga Pengetahuan

Perpustakaan Alexandria adalah pusat peradaban manusia, tempat lahir pengetahuan dan gumuk pasir rasa penasaran.

Tidak banyak manusia yang lahir dengan rasa haus akan kecemerlangan, rasa gemas pada tepi-tepian pencapaian. Golongan satu ini ingin terbang ke semua tempat, ingin menjelajah semua muara. Mereka meyakini bahwa keterbatasan waktu di dunia adalah keabadian pemikiran yang diciptakan para pendahulunya. Mereka terlibat dalam banyak hal, tetapi bukan remah-remah yang berserakan seadanya.

Penjaga Pengetahuan, mereka menyebut dirinya, melindungi bekal adab manusia di atas menara kokoh yang jauh dari kumuh cerita-cerita tidak berguna. Mereka meyakini langit sudah menceritakan masa lalu dan memprediksi masa depan, berinci-inci sampai gerak minim selembar kertas.

Merekalah yang diharapkan oleh penguasa manapun untuk melanjutkan kekuasan, tetapi sering tidak menggubris hal-hal simbolis sedemikian. Mereka berjalan sendirian, dan bertemu sesama pemikir hanya di saat-saat penting dan dalam suasana serba-khawatir. Mereka menyukai kurungan emas yang tertutup, terowongan-terowongan yang dalam, dan serambi-serambi yang tinggi.

Mereka tidak banyak bicara di ruang terbuka, tidak banyak bertindak, tetapi begitu mengagumi perencanaan. Mereka melihat dunia tiga ratus tahun dari sekarang sejelas lembar-lembar catatan yang mereka khayalkan. Dunia ini penuh sandiwara, dan mereka melihatnya dari banyak sisi yang tidak dilihat golongan lain. Mereka meyakini dunia akan berubah, tetapi bingung bagaimana semua itu akan bermula. Karena itu pula mereka apatis akan banyak hal.

Oleh golongan Pengambil Tindakan mereka dianggap terbatas, para penikmat buku yang kikuk di atas jalan berdebu. Tapi oleh dinding-dinding istana mereka dianggap malaikat, tidak akan jatuh miskin selama berpegang pada kebenaran. Mereka direndahkan karena kecemerlangannya, dianggap berlebihan karena kegusarannya. Karena itulah mereka hidup di menara-menara, melihat dunia berserakan di bawah sana.

Merekalah Guardians of Knowledge, terowongan sempit untuk menjajaki masa depan.

Pembisik Angin

Golongan terakhir ini terbagi atas dua, yang jahat dan yang baik. Meski begitu perbedaan atas dua pengertian barusan dapat diputar-balikkan atas kemampuan mereka menguasai persepsi orang-orang. Golongan terakhir ini begitu lantang memuja-muji sang Raja, juga begitu lihai menerjamahkan titah. Mereka menguasai semua kolong meja, memegang semua kunci-kunci serep rahasia, mengenal banyak orang yang nantinya akan berguna. Mereka menghapal setiap jalur parit tempat berita lalu-lalang dan pecah.

Mereka berbisik pada Raja, dan karena itu dibenci oleh para panglima. Di luar istana mereka dapat duduk berbaur dengan rakyat biasa, dan menempa lidah dengan bahasa berbeda pula.

Para Pembisik Angin punya dua sifat, yang membelah diri-diri mereka untuk dua kepentingan berbeda. Mereka bermuka dua, bisa berada di dua tempat sekaligus, berbicara pada dua kubu peperang dengan bahasa yang sama sekali berbeda. 

Mereka para penyanjung panglima, dan senang tertawa melihat siapapun akhirnya berseteru karena mereka. Tanpa motif apa-apa, mereka mengakui kemampuan mereka sebagai anugrah, penguasa pikiran manusia yang begitu lemah di depan kecurigaan.

Mereka para pemicu cerita, pemantik api yang akhirnya membara. Meski sejatinya tak punya kebesaran daya, sebagai cendekia mereka paling memahami sifat-sifat dasar manusia yang sebenarnya rentan berubah. Mereka hidup berlimpah dalam ruang-ruang persepsi. Mereka adalah balon gas, terbang makin tinggi saat udara kian hangat, membawa pesan ke dua ujung dunia, dalam dua makna yang berbeda.

Mereka adalah Baelys. Kepercayaan memberinya harta di banyak negeri, kebodohan manusia memberinya gundik-gundik di balik jubahnya. Mereka para pemuja angin, para nahkoda kapal, penentu arah di tiap musim. Kala jahat mereka adalah penjelmaan penyihir, kala baik mereka adalah kilau pendeta.

Merekalah Whisperers of the Wind, penyebab banyak Raja turun tahta.

**

Demikianlah kelima golongan “cendekia”.

Kata itu sendiri sebetulnya muslihat, karena dunia membolehkan siapapun menganggap dirinya pintar. Tiap golongan mewarisi kebodohan golongan sebelumnya, tapi tiap mereka begitu pandai menutupi kelemahan. Semuanya tergantung pada siapa, kapan, dan mengapa. Kala rupa dan alasan berdiri pada karakternya sendiri-sendiri, tak ada yang tahu siapa sebetulnya penguasa negeri.

Tiap-tiap dari golongan di atas membagi dunia dalam atmosfer-atmosfer kecil yang berserakan, terkadang bertabrakan dan bergesekan. Meski begitu tak satupun dari mereka yang pecah. 

Tiga, empat, atau lima di antara golongan-golongan ini kerap bertemu, dan mereka menertawakan hal-hal yang sama. Barulah setelah itu mereka diam, berpikir lurus cara kembali ke peraduannya sendiri-sendiri.

Mereka sudah mewakili semua unsur pembentuk negeri, sejak zaman dulu ketika Bumi masih datar. Kemenangan mereka akan ditentukan oleh waktu, atau keputusan mendadak untuk keluar dari balik kelambu.

 

 *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun