Penjaga Pengetahuan, mereka menyebut dirinya, melindungi bekal adab manusia di atas menara kokoh yang jauh dari kumuh cerita-cerita tidak berguna. Mereka meyakini langit sudah menceritakan masa lalu dan memprediksi masa depan, berinci-inci sampai gerak minim selembar kertas.
Merekalah yang diharapkan oleh penguasa manapun untuk melanjutkan kekuasan, tetapi sering tidak menggubris hal-hal simbolis sedemikian. Mereka berjalan sendirian, dan bertemu sesama pemikir hanya di saat-saat penting dan dalam suasana serba-khawatir. Mereka menyukai kurungan emas yang tertutup, terowongan-terowongan yang dalam, dan serambi-serambi yang tinggi.
Mereka tidak banyak bicara di ruang terbuka, tidak banyak bertindak, tetapi begitu mengagumi perencanaan. Mereka melihat dunia tiga ratus tahun dari sekarang sejelas lembar-lembar catatan yang mereka khayalkan. Dunia ini penuh sandiwara, dan mereka melihatnya dari banyak sisi yang tidak dilihat golongan lain. Mereka meyakini dunia akan berubah, tetapi bingung bagaimana semua itu akan bermula. Karena itu pula mereka apatis akan banyak hal.
Oleh golongan Pengambil Tindakan mereka dianggap terbatas, para penikmat buku yang kikuk di atas jalan berdebu. Tapi oleh dinding-dinding istana mereka dianggap malaikat, tidak akan jatuh miskin selama berpegang pada kebenaran. Mereka direndahkan karena kecemerlangannya, dianggap berlebihan karena kegusarannya. Karena itulah mereka hidup di menara-menara, melihat dunia berserakan di bawah sana.
Merekalah Guardians of Knowledge, terowongan sempit untuk menjajaki masa depan.
Pembisik Angin
Golongan terakhir ini terbagi atas dua, yang jahat dan yang baik. Meski begitu perbedaan atas dua pengertian barusan dapat diputar-balikkan atas kemampuan mereka menguasai persepsi orang-orang. Golongan terakhir ini begitu lantang memuja-muji sang Raja, juga begitu lihai menerjamahkan titah. Mereka menguasai semua kolong meja, memegang semua kunci-kunci serep rahasia, mengenal banyak orang yang nantinya akan berguna. Mereka menghapal setiap jalur parit tempat berita lalu-lalang dan pecah.
Mereka berbisik pada Raja, dan karena itu dibenci oleh para panglima. Di luar istana mereka dapat duduk berbaur dengan rakyat biasa, dan menempa lidah dengan bahasa berbeda pula.
Para Pembisik Angin punya dua sifat, yang membelah diri-diri mereka untuk dua kepentingan berbeda. Mereka bermuka dua, bisa berada di dua tempat sekaligus, berbicara pada dua kubu peperang dengan bahasa yang sama sekali berbeda.Â
Mereka para penyanjung panglima, dan senang tertawa melihat siapapun akhirnya berseteru karena mereka. Tanpa motif apa-apa, mereka mengakui kemampuan mereka sebagai anugrah, penguasa pikiran manusia yang begitu lemah di depan kecurigaan.
Mereka para pemicu cerita, pemantik api yang akhirnya membara. Meski sejatinya tak punya kebesaran daya, sebagai cendekia mereka paling memahami sifat-sifat dasar manusia yang sebenarnya rentan berubah. Mereka hidup berlimpah dalam ruang-ruang persepsi. Mereka adalah balon gas, terbang makin tinggi saat udara kian hangat, membawa pesan ke dua ujung dunia, dalam dua makna yang berbeda.