Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Laki-laki yang Tak Disebut

23 Agustus 2013   11:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:55 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Erlina memejamkan matanya. Untuk kesekian kalinya ia membayangkan tangannya menyentuh jari-jemari seseorang. Badannya ia dorong mendekat ke sepasang pundak, bersandar lebih rendah dari gapaian angin. Mulai ia susun kata-katanya seirama dengan sebait lagu. Di bawah kanopi daun rambat yang dipenuhi bulir-bulir hujan, ia mendekap orang yang mungkin akan mencintainya juga.

Perempuan ini tahu betul bagaimana rasanya mengungkapkan kebencian pada seseorang. Ia hapal semua langgam yang mencitrakan rangkai ketidaksenangan dan pandang rendah yang membuatnya jemawa.

"Aku tidak akan menyanyi apapun di depan orang seperti dia. Tidak. Tidak. Sher, kamu tahu sendiri aku punya banyak hal penting untuk dipikirkan ketimbang orang seperti..."

"Bayu?" sergap si teman itu. Sheron sudah lima tahun menjalin pertemanan dengan Erlina, dan menurutnya ia kadung paham apa yang diinginkan, dan yang dibutuhkan perempuan karibnya ini. Sedikit banyak ia bisa menebak berdasarkan pengalamannya sendiri.

"Jangan sebut namanya," balas Erlina sewot.

"Kenapa? Apakah karena kamu membencinya, kamu jadi tidak sudi menyebut namanya? Bukankah kamu berani dengan siapa saja?"

Selama sejam terakhir dua sahabat ini menjalari langkah mereka melewati dua pusat perbelanjaan sebelum akhirnya terdampar di sebuah tempat duduk tembok di dekat jajaran pedagang asongan. Tak ada tas belanja ataupun bungkus es krim.

Ini sebetulnya tempat favorit Sheron sepulang kuliah, tapi Erlina pun akhirnya tidak pungkir kalau dirinya suka suasana seperti ini. Ia tak perlu berpikir angin dan keriuhan bisik acak ini akan menyimaknya. Tenang dan tak banyak bicara. Perbincangan mereka mengalir dalam ruang rahasia yang menghangatkan.

"Aku berani terutama pada orang-orang yang nampak salah di mataku." Erlina membalas.

"Apa salahnya si Bayu sampai kamu benci dia?"

"Banyak, buku catatanku tebal menuliskannya."

"Tapi kamu tidak pernah konfirmasi langsung ke dia. Tentang apa yang tidak kamu senangi, apa yang iya. Tentang apa yang mungkin kamu inginkan dari dia."

"Apa yang harus aku inginkan dari orang seperti dia?" Erlina mulai tidak nyaman dengan sergapan pertanyaan-pertanyaan itu.

"Tidak harus ada, Erlin. Maksudku, homo socius. Setiap orang berhak mengenali apa yang dihadapinya."

"Iya, memang. Astaga, Sheron. Tidak kusangka kamu sampai pakai istilah-istilah latin untuk mendebatku. Sayang, Aku hanya sedang tidak ingin menyebut namanya." Erlina menembuskan pandangannya melewati celah-celah baris tiang lampu yang menghiasi taman jalan itu.

"Aku hanya menyebut namanya saat marah."

**

Erlina memejamkan matanya. Kekuatan hatinya tidak pernah setebal ini, rasa kagum telah lesap dan berganti kejengkelan yang menebal. Seorang Bayu pernah jadi seorang yang dikagumi. Mereka merencanakan sebuah acara dan sebuah kecerobohan membuat Erlina merasa dirinya dijebak. Tapi ia pun tak tahu betul, ia sempat mengira-ngira juga. Bagaimana bisa Bayu mengaku tanda tangannya dipalsukan oleh sekretarisnya sendiri dan ia enggan menunjuk terduga lain. Erlina bungkam selama tiga hari, hingga pada akhirnya ia menyudahi konflik dengan ganti rugi jutaan. Bayu sempat meminta maaf tapi semuanya kadung terjadi. Perseteruan dua pengurus harian kampus menyeruak sampai Erlina merasa dirinyalah yang terpojok. Begitu saja, sampai Erlina memutuskan untuk melihat seorang Bayu dari kacamata merah penuh kebencian.

"Tidak seharusnya aku menuduhmu demikian," Bayu berkata suatu hari.

Mendengar itu, mengetahui dirinya dipanggil secara sengaja sampai akhirnya mereka mereka duduk berdua di sudut kafe kecil yang disengat sinar matahari, perempuan itu gelisah.

"Romero sudah mengakui kalau dia yang memalsukan tanda tanganku, dan itu terpaksa untuk mencairkan dana segera. Maaf, Erlina, seharusnya aku bisa tahu waktu itu."

Erlina bungkam. Awan pekat menyelimuti kepalanya.

"Aku harap hubungan pertemanan kita baik-baik saja," ujar Bayu lagi. Di fase ini wajahnya sudah layu, agak kemerahan tapi menandakan rasa lepas, pasrah. Kalaupun ia akan ditampar atau bacok, ia bisa pahami itu. Sebagai laki-laki ia hanya merasa kewajibannya belum tunai sebelum mendapat jawaban.

Beberapa menit kesunyian menari-nari di atas meja itu. Tak satupun dari mereka berucap sepatah kata. Bunyi seruputan minuman buah segar sesekali memecah keheningan, tapi tak kunjung mencairkan perasaan. Bayu melirik beberapa kali, kemudian kembali menyembunyikan pandangannya. Erlina tidak melihat ke satu titik yang pasti. Ia ingin pergi dari situ.

"Permisi, selamat siang."

Keheningan itu akhirnya dipecah oleh seseorang dengan gitar yang digendongnya. Senyuman dan anggukan khas membuat orang mudah mengenali orang ini sebagai pengamen. Bayu menggeleng kesal dan Erlina tersenyum asal lempar. Setelah meminta maaf berbasa-basi, pengamen itu bersenandung.

Bayu melirik sesekali dan Erlina bergeming. Lagu itu mendayu-dayu tapi seperti langsung menguap di atas mereka. Tak ada jentikan jari atau anggukan mengikuti nada. Pengamen itu mengangguk begitu selesai, meminta bayaran.

"Semoga hubungan Mas dan Mbaknya langgeng," ujar pengamen itu setelah menerima dua koin.

"Heh! Aku bukan kekasih dia! Kenapa semua pengamen selalu sok tahu urusan orang?" Erlina bangkit dari kursi dan memarahi si pengamen, yang langsung meminta maaf, mengangguk, kemudian mundur teratur seperti menghindari amuk amarah seorang ibu rumah tangga. Bayu coba menenangkan tapi percuma saja.

Setelah pengganggu pergi, kedua orang yang bersengketa ini saling tatap selama dua detik. Tanpa kata, tanpa makna.

**

Pukul tiga sore dan sudah seharusnya Sheron tiba di dekat panggung itu. Pertunjukan musik jazz merupakan satu hal yang termasuk bagian penting bersatunya dua sahabat ini. Erlina sering kali mendapat tiket gratis dan hanya mengajak Sheron untuk menonton bareng. Tapi kali ini, entah apa yang menunda karibnya itu sampai telat sudah hampir satu jam.

"Orang ini tidak mau pergi...." Suara bisik dari seberang telepon berdesis di telinga Erlina. Katanya Sheron kedatangan seorang laki-laki, temannya juga, yang sebetulnya tidak dia harapkan kehadirannya di sore seperti ini. Sheron akhirnya menyimpulkan kalau dengan gerak-gerik nekatnya, laki-laki itu seperti ingin mengungkapkan perasaan. "Tolong kamu kemari ya! Bantu aku selesaikan ini dulu."

Erlina berangkat. Sesaat sebelumnya, ia tertawa.

Di tengah jalan Erlina seperti tiba-tiba tenggelam dalam lamunannya. Dua lengannya menggamit setang kemudi motor yang melaju teratur tapi pikirannya kembali melayang. Bayangan itu selalu datang entah dari mana. Mungkin ketakutan atau kebencian yang menggodanya. Ataukah rasa lama yang ia tak kuasa tahan hingga tergambar jelas.

Ia memeluk laki-laki itu sambil berdiri. Membisikkan kata-kata rahasia yang membuat keduanya tersenyum. Erlina berjinjit setiap kali merasakan pelukan di pinggangnya mengendur. Wajah laki-laki itu sesegar tanaman gantung di taman tempat ia sering duduk berbincang dengan angin. Jangan lepas, lima menit lagi.

Bayangan berulang-ulang dan menarik sedikit senyuman di ujung bibir Erlina. Yang tak disangkanya adalah, jalan itu tidak mulus-mulus amat. Ban motornya terjungkal ke dalam lubang sedalam mata kaki dan akhirnya ia tersungkur hingga ke aspal.

Saat akhirnya membuka mata dan melihat tak ada selain langit mendung, dengan gerimis yang menjatuhinya di mana-mana, ia melihat Bayu tersenyum. Kakinya kesakitan dan mungkin ada tiga-empat luka di kakinya. Tak lama kemudian ia sudah merasakan tubuhnya diangkat ramai-ramai dan sejam berikutnya ia sudah sadar di ruang nyaman rumah sakit.

Bayu yang menungguinya. Tiga hari.

Erlina tidak banyak cerita. Ia sempat berucap "terima kasih" kemudian di banyak kesempatan tak tahan karena harus berpura-pura tidur. Tangannya kesakitan dan ia langsung memanggil suster, tidak mengadu pada Bayu yang selalu siaga di sampingnya. Hingga pada akhirnya setiap sore sepulang kuliah Sheron mampir dan menemaninya tertawa hingga malam, dan Bayu pulang setelah menyiapkan segala keperluan mandi Erlina pagi berikutnya.

"Orang tuamu tidak perlu kamu panggil kemari, paling besok juga kamu pulang," saran Sheron sembari mengupaskan buah.

Erlina manut saja, asalkan ia sebagai sahabat bisa merahasiakan segala hal yang menimpa dirinya ini.

"Orang itu yang menolongku."

"Iya aku dengar begitu. Bayu kebetulan lewat di situ. Beruntung kamu, kalau tidak, orang lain mana berani pegang tanganmu yang bersih begini, menggotongmu yang bercelana pendek begitu, bisa mati kehabisan darah kamu!"

Mereka menertawakan diri masing-masing.

Setelah suasana menghangat, Sheron berujar lagi, "Kamu masih belum mau menyebut namanya?"

"Siapa...."

"Pura-pura tidak tahu lagi. Siapa lagi?"

"O, itu."

Jawaban begitu membuat Sheron geleng-geleng kepala. "Erlin, manusia tidak punya kekuatan melebihi Tuhan."

"Maksud kamu apa?"

"Tuhan saja yang menguasai perasaan manusia, menghukum manusia, bisa memaafkatn siapa saja yang dikehendaki. Kenapa kita tidak?"

"Aduh, Sheron, maaf. Untuk urusan ini aku benar-benar belum bisa berpikir sejauh itu. Kalau belum mau, ya belum. Aku sudah berterima kasih pada orang itu karena telah menolongku. Kurasa kewajibanku sudah tuntas sampai di situ."

"Kamu tidak berharap lebih pada orang itu?"

"Kayak apa?"

"Kayak, misalnya... kalian berteman, atau bersahabat, atau, lebih?"

"Hus! Cuma di FTV bisa seperti itu. Ini dunia nyata, di mana perasaan manusia tidak bisa ditebak."

Sheron menghela napas. "Erlin, aku rasa sebagai teman pun aku kadang tidak bisa menebak perasaanmu. Dan aku rasa, apapun yang kamu putuskan, aku wajib mendukungmu deh."

Erlina tersenyum. Ia tak pernah merasa lebih beruntung daripada ini, mempunyai seorang sahabat yang berani menerobos celah opininya, termasuk soal perasaan yang sebetulnya tak pernah dimengerti lebih baik oleh selain pemilik hati itu sendiri. Di banyak kesempatan Erlin meminta nasihat kepada Sheron untuk urusan ini-itu. Tapi jika sudah menyangkut perasaan cinta atau benci, ia seperti mengemas penilaiannya rapat-rapat, dengan kata sandi yang dibuat dan disimpannya sendiri. Dan Sheron tahu saat tak harus memaksakan apapun. Perbincangan itu mengalir hingga malam, membuat penyembuhan terasa lebih cepat.

**

Di hari ketujuh belas setelah kecelakaan itu, Erlina bertemu Bayu lagi. Tapi kali ini, benar-benar tanpa kata. Seperti angin yang saling melewati, kedua orang itu berpapasan di jalan kampus bak tidak saling kenal.

Bayu sempat menunduk tapi akhirnya mengangkat mukanya lagi, tersenyum tapi pada orang lain yang lantas ia sapa dengan ramahnya.

Peralihan itu tak lantas membuat Erlina merasa kalah. Kebencian pada hatinya masih tersisa beberapa lapis. Meski luka di lututnya menyampaikan tumpukan pesan, ia memilih untuk mengeringkannya cepat-cepat hingga bekasnya lenyap. Seperti sedia kala, ia berjalan pada pilihan perasaannya sendiri. Kisah masa lalu yang belum begitu lama akan memberinya pelajaran penting tentang hal-hal yang mungkin akan berubah, dan hal-hal lain yang harus tetap demikian. Artian homo socius ia beri batasan sendiri.

Faktanya, hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Erlina tetap membaca, tertawa dengan sahabatnya, berkenalan dengan orang-orang baru, dan setiap sore duduk merenung di sudut taman.

Di malam hari, ia masih sering membayangkan banyak hal, termasuk tentang pelukannya pada seorang laki-laki.

*

-----------------------------------------

Ilustrasi: dreamstime.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun