"Romero sudah mengakui kalau dia yang memalsukan tanda tanganku, dan itu terpaksa untuk mencairkan dana segera. Maaf, Erlina, seharusnya aku bisa tahu waktu itu."
Erlina bungkam. Awan pekat menyelimuti kepalanya.
"Aku harap hubungan pertemanan kita baik-baik saja," ujar Bayu lagi. Di fase ini wajahnya sudah layu, agak kemerahan tapi menandakan rasa lepas, pasrah. Kalaupun ia akan ditampar atau bacok, ia bisa pahami itu. Sebagai laki-laki ia hanya merasa kewajibannya belum tunai sebelum mendapat jawaban.
Beberapa menit kesunyian menari-nari di atas meja itu. Tak satupun dari mereka berucap sepatah kata. Bunyi seruputan minuman buah segar sesekali memecah keheningan, tapi tak kunjung mencairkan perasaan. Bayu melirik beberapa kali, kemudian kembali menyembunyikan pandangannya. Erlina tidak melihat ke satu titik yang pasti. Ia ingin pergi dari situ.
"Permisi, selamat siang."
Keheningan itu akhirnya dipecah oleh seseorang dengan gitar yang digendongnya. Senyuman dan anggukan khas membuat orang mudah mengenali orang ini sebagai pengamen. Bayu menggeleng kesal dan Erlina tersenyum asal lempar. Setelah meminta maaf berbasa-basi, pengamen itu bersenandung.
Bayu melirik sesekali dan Erlina bergeming. Lagu itu mendayu-dayu tapi seperti langsung menguap di atas mereka. Tak ada jentikan jari atau anggukan mengikuti nada. Pengamen itu mengangguk begitu selesai, meminta bayaran.
"Semoga hubungan Mas dan Mbaknya langgeng," ujar pengamen itu setelah menerima dua koin.
"Heh! Aku bukan kekasih dia! Kenapa semua pengamen selalu sok tahu urusan orang?" Erlina bangkit dari kursi dan memarahi si pengamen, yang langsung meminta maaf, mengangguk, kemudian mundur teratur seperti menghindari amuk amarah seorang ibu rumah tangga. Bayu coba menenangkan tapi percuma saja.
Setelah pengganggu pergi, kedua orang yang bersengketa ini saling tatap selama dua detik. Tanpa kata, tanpa makna.
**