"Kamu tidak berharap lebih pada orang itu?"
"Kayak apa?"
"Kayak, misalnya... kalian berteman, atau bersahabat, atau, lebih?"
"Hus! Cuma di FTV bisa seperti itu. Ini dunia nyata, di mana perasaan manusia tidak bisa ditebak."
Sheron menghela napas. "Erlin, aku rasa sebagai teman pun aku kadang tidak bisa menebak perasaanmu. Dan aku rasa, apapun yang kamu putuskan, aku wajib mendukungmu deh."
Erlina tersenyum. Ia tak pernah merasa lebih beruntung daripada ini, mempunyai seorang sahabat yang berani menerobos celah opininya, termasuk soal perasaan yang sebetulnya tak pernah dimengerti lebih baik oleh selain pemilik hati itu sendiri. Di banyak kesempatan Erlin meminta nasihat kepada Sheron untuk urusan ini-itu. Tapi jika sudah menyangkut perasaan cinta atau benci, ia seperti mengemas penilaiannya rapat-rapat, dengan kata sandi yang dibuat dan disimpannya sendiri. Dan Sheron tahu saat tak harus memaksakan apapun. Perbincangan itu mengalir hingga malam, membuat penyembuhan terasa lebih cepat.
**
Di hari ketujuh belas setelah kecelakaan itu, Erlina bertemu Bayu lagi. Tapi kali ini, benar-benar tanpa kata. Seperti angin yang saling melewati, kedua orang itu berpapasan di jalan kampus bak tidak saling kenal.
Bayu sempat menunduk tapi akhirnya mengangkat mukanya lagi, tersenyum tapi pada orang lain yang lantas ia sapa dengan ramahnya.
Peralihan itu tak lantas membuat Erlina merasa kalah. Kebencian pada hatinya masih tersisa beberapa lapis. Meski luka di lututnya menyampaikan tumpukan pesan, ia memilih untuk mengeringkannya cepat-cepat hingga bekasnya lenyap. Seperti sedia kala, ia berjalan pada pilihan perasaannya sendiri. Kisah masa lalu yang belum begitu lama akan memberinya pelajaran penting tentang hal-hal yang mungkin akan berubah, dan hal-hal lain yang harus tetap demikian. Artian homo socius ia beri batasan sendiri.
Faktanya, hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Erlina tetap membaca, tertawa dengan sahabatnya, berkenalan dengan orang-orang baru, dan setiap sore duduk merenung di sudut taman.