Kali ini Edwar yang menghela napas. Beratus-ratus kali ia berdebat dengan Dausi soal pertentangan ini, dan impian yang tak semua manusia pernah memikirkannya. Ia pernah berpikir mungkin sahabatnya ini terlalu terobsesi dan itu berbahaya, meski ia belum berani berprasangka kalau Dausi mulai gila. Pikiran saintis menuntunnya untuk berpikir sebab-akibat, hipotesis-kesimpulan. Ia mempelajari data sebelum mendeklarasikan fakta. Tapi kali ini ia melihat pancaran yang lebih serius dari mata sahabatnya itu, seakan mimpi-mimpi itu sudah berubah dari bibit bayi menjadi seorang monster di dalam dua bola mata dan kepalan tangan. Maka ia memilih bersikap tenang dan dengan begitu, mungkin ia tidak akan kelihatan bodoh lagi dan mungkin perbincangan mereka akan lebih berkualitas.
Edwar berusaha mengalihkan topik dengan menyinggung hal seputar kunjungan Dausi ke Ngawi yang terhenti karena kecelakaan waktu itu.
"Justru itu," timpal Dausi. "Aku butuh masukan soal pola makan, nutrisi dan pola sehat dalam jangka panjang. Aku tak percaya siapapun kecuali kerabat, atau sahabat-sahabatku sendiri. Maka aku bertanya ke dokter Rusmad, apa yang bisa ia bantukan. Â Sebagai gantinya ia meminta dipinjamkan salinan manuskrip Book of Enoch itu, yang katanya akan berguna bagi telusur sejarah ilmu. Dengan memilah pola makan dan mengatur pola hidup, bukankah banyak orang berhasil menunda kematiannya?" Dausi mengangkat jari telunjuk dan jari tengah di dua tangannya bersamaan.
"Dausi kau sudah gila!" Edwar bangkit dari kursinya begitu saja. Pikirannya masih bisa tenang tapi impuls perasaan yang terkejut tetap saja membuatnya nyaris tidak percaya. Di sebagian pikirannya ia takut sahabatnya benar-benar di luar kendali pikiran manusia normal. Tapi bereaksi seperti itu tak membuat banyak perubahan. Dausi tetap tersenyum dan tampak tenang, membuatnya menggeleng dan beranjak dari situ.
"Mau ke mana?" tanya Dausi.
"Berlin. Ingat? Pesawatku berangkat jam lima sore ini. SMS saja setiap kau menemukan sesuatu."
"Kau tahu aku masih menjadikanmu penasihat profesionalku, Edwar!" teriak Dausi saat sahabatnya menghilang di balik pintu laboratorium yang tak jauh dari taman itu. Tak ada balasan yang diterimanya kecuali acungan jempol. Sesaat kemudian ia mendengar bait pertama "I believe I can Fly" terputar samar.
**
Dausi duduk di dermaga Tanjung Perak Surabaya. Sebentar lagi kapal motor akan membawanya ke Sulawesi untuk liburan keluarga yang kiranya menyenangkan. Di dekatnya kedua anaknya bermain dan saling bercanda, dan istrinya Merri yang lebih sering menebar senyum. Sebuah tas jinjing berisi bundel-bundel kertas, kaca pembesar tersembunyi di dalam lipatan belasan lembar pakaian menemaninya. Meski pikirannya banyak dialihkan untuk urusan perut dan kebahagiaan keluarga yang pelan-pelan ia rasakan sendiri, ia tak bisa melupakan impiannya. Di pelabuhan itu ia melihat ke arah langit tanpa menghitung gerak semu matahari. Menikmati begitu saja tanpa embel-embel teori. Ia masih mengejar impiannya. Ia berhasil menemukan kontak sebuah komunitas yang mempelajari komet Halley dan sekaligus punya ruangan khusus untuk mengumpulkan orang-orang yang punya ketertarikan yang sama: untuk mati di lintasan Halley berikutnya. Sejenak ia bisa tenang untuk itu.
Meski merasa dirinya berbeda dengan orang dunia kebanyakan. Dausi tetap membaur. Ia meyakini hubungan sesama manusia-lah yang mewujudkan banyak impian. Bukan obsesi individu yang digerakkan sendirian.
*