"Kakimu patah," kata seorang perempuan yang kini tersenyum di sebelah kirinya.
Dausi ingat wajah itu, dan ia bersyukur ia tak mengalami gegar otak atau hilang ingatan seperti banyak suami yang dengan sangat menyesal tidak bisa mengenali istrinya sendiri.
"Tidak usah dulu tanyakan soal mobil, barang-barang, ataupun Rusmad. Temanmu itu sudah kukasih tahu dan mungkin sebentar lagi dia sampai. Anak-anak juga aku larang buat sementara menjenguk ayahnya sampai mereka menyelesaikan jam sekolah," ujar Merri, sang istri yang lalu bangkit memeras handuk dan menempelkannya pada kepala suaminya.
"Di rumah sakit mana ini?" tanya Dausi penasaran. Ia masih merintih dan manut saja saat diminta tak banyak bergerak dulu.
"Juanda. Kemarin aku diberitahu dokter biar kau langsung dirujuk karena takut kau kenapa-kenapa. Alhamdulillah tak ada pendarahan dalam. Kecuali, ya... kaki kiri itu. Karena terjepit dan terhempas ke parit. Kata dokter bisa sembuh dalam sebulan-dua bulan."
Dausi mulai ingat kejadian kemarin petang ituIa tergelak, dan bertanya mendadak kepada Merri.
"Buku! Bukuku itu, sekarang di mana?"
"Buku apa?"
"Komet! Tebal dengan sampul merah tua. Pasti ikut terlempar keluar mobil. Ada yang menemukannya? Ayolah Merri, kau tahu sendiri buku itu sangat penting buat penelitianku."
Merri terdiam sejenak karena benar-benar tidak tahu buku apa yang dimaksud suaminya. Sebagai kerabat terdekat korban ia tidak mendapat titipan apa-apa dari warga yang menolong, tidak bahkan dompet atau barang-barang di dalam kabin. Ia pun merasa gusar karena lagi-lagi suaminya menyinggung soal komet. Selama hidup bersama hampir dua puluh tahun, ia tak pernah mengenal hobi suaminya kecuali soal astronomi, terlebih-lebih soal komet. Benda langit berekor cahaya itu sempat membuatnya hampir putus asa berkali-kali untuk urusan komunikasi rumah tangga. Tapi tak mungkin ia mengungkit hal-hal menyakitkan di saat-saat seperti ini. Cinta masih tersisa banyak bagi suaminya.
"Maaf, sayang. Tidak ada buku yang kau maksud. Sekarang beristirahatlah.