Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Komet

30 Juli 2013   10:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:50 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Itu di tahun 2061."

Edwar menurunkan gelas dari seruputan dalam yang melumeri bibirnya dengan campuran sari alpukat dan susu coklat. Matanya menyelidik ke arah lawan bicaranya di meja kayu bundar itu. Pagi terasa bersahabat dengan udara sejuk yang mengigit dan kicau burung yang banyak bersembunyi. Bangunan utama di sisi taman itu tetap bersinar dengan kubah putihnya yang terbelah dan menonjolkan batang silinder raksasa untuk menghadap ke langit. Di seberang meja, Dausi menghela napas dan membenarkan tongkat berjalannya di sisi kursi.

"Ya. Ya. Edwar, demi Tuhan. Sudah ratusan kali kau menyebutkan itu di depanku."

"Aku tahu. Aku sahabatmu, benar? Aku tidak akan pernah bosan memperingatkanmu soal ini. Dengar, Dausi. Tidak banyak orang di Indonesia, bahkan di dunia ini, yang berpikiran seperti dirimu. Tidak bahkan aku dan kalangan ilmuwan profesional lain. Di generasi era digital seperti sekarang ini, semua perhitungan tentang masa depan bisa dilakukan, seperti yang kau sama pelajari. Tapi obsesimu ini..., tidak ada orang yang tahu kapan kematiannya, kawan."

"John Lennon?" Dausi memprotes.

"Ya, John Lennon, musisi itu, Nostradamus, sang peramal, atau siapapun. Di Indonesia kita bahkan punya Mama Lauren, yang ternyata tidak bisa juga memprediksi tanggal kematiannya. Agamamu, dan agamaku mengajarkan manusia untuk berpikir belajar selama hidup dan bersiap untuk mati, tapi bukan memilih tanggal kematian."

"Tapi tidak ada salahnya kan, berharap?" Dausi merapatkan lengannya ke bidang meja, menyorotkan pandangan lebih tajam. "Dengar, setiap orang punya mimpi, seperti kau yang ingin suatu saat membawa orang Indonesia ke angkasa luar. Aku memilih mimpi ini, mati di hari melintasnya Halley. Aku tak ingin dicatat sejarah, hanya ingin merasakan mimpi itu jadi nyata, sebelum menutup mata. Mark Twain lahir di tanggal yang sama saat Komet Halley melintas dan ia meninggal tahun 1910. Aku memang tidak terobsesi dengan orang seperti dia yang begitu moderat akan tetapi keteguhannya, beserta banyak momen di dalam perjalanan kehidupannya, memberiku pelajaran untuk tidak berhenti berharap. Aku kira keyakinan seperti ini tidak mencederai keyakinan mendasar manusia."

"Tidak, bukan itu maksudku. Hanya saja, menurutku ilmu yang banyak itu dan telah kau pelajari, bisa lebih berguna bagi umat manusia ketimbang untuk obsesimu. Kau bisa mengajarkan anak-anak tentang bagaimana menghitung kalender Masehi, menghapal nama-nama satelit planet atau... sekadar mengenali sejarah nama-nama komet. Kau bahkan bisa menjadi dosen untuk banyak penelitian yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan baru yang berguna bagi kemajuan bangsa ini. Tidak ada salahnya bermimpi, dan ya aku punya impianku sendiri. Tapi apakah kau lihat aku begitu tersiksa menghidupi impianku? Tidak. Itu karena aku menikmatinya bersamaan dengan menikmati hidup di luar jalur impian."

"Tapi kenapa kau tidak menikah?"

"Menikah, itu lagi. Dausi, kau ini kurang ajar kadang."

"Bukan begitu. Maksuku, adalah sebuah paradoks ketika seseorang menjelaskan sebuah hipotesis tapi fakta yang ada di depan hidungnya justru menjatuhkannya dalam penemuan yang keliru. Aku memang mengakui telah berlebihan menyikapi keinginanku ini. Lihat, kita di Bosscha, pusat penelitian antariksa Indonesia. Dan kau berkata seperti itu. Bukankah itu menyedihkan? Tenang, tenang saja, habiskan saja jusmu. Aku tidak akan menjelek-jelekkanmu di luar sana." Dausi menyeringai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun