Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Komet

30 Juli 2013   10:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:50 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Bintang berekor. Melaju secepat cahaya kemudian menabrak raksasa hingga terbelah. Tumbukan itu memunculkan bunyi dentuman yang keras disusul kilau nyala api yang kemudian membiru. Selanjutnya yang terlihat adalah kawah yang terbentuk di permukaan bulan yang semakin menjauh. Lepas dari gelapnya angkasa yang sunyi, laki-laki itu membuka mata, tersadar dari mimpinya.

Lagu "My Way" Frank Sinatra terputar pelan di radio. Bunyi gemerisik di antara lirik-liriknya meyakinkan pendengar kalau lagu ini seharusnya diputar di saat-saat tertentu saja atau, setidak-tidaknya tidak saat cuaca sedang suram seperti ini. Mobil itu melaju lancar di lajur kiri jalan menanjak Caruban ketika langit semakin bergemuruh. Cuaca bulan Juli biasanya panas, tapi anomali dari perubahan iklim membuat semuanya sulit ditebak. Maka di sanalah, Dausi Prayogo, melihat jam tangannya di sisi lain setir, kemudian sedikit menggerutu bahwa tidak mungkin kemacetan di depan sana akan membuatnya terlambat lagi.

Mobil itu terpaksa berhenti di ujung belakang antrean sepanjang seratusan meter. Dausi tak mengerti apa yang terjadi tapi sepertinya masalah ini akan segera dibereskan karena dua mobil sedan polisi sudah berada di dekat lampu merah sana. Dausi tak terlalu tertarik dengan kepentingan mendadak orang-orang yang mengisi kebosanan dengan saling tukar pendapat tentang ada apa sebenarnya, berbasa-basi dan beberapa pengendara sepeda motor saling goda. Ia mengambil koran dari selipan buku tebal di jok belakang mobilnya dan membaca berita sains terbaru. Di lembar-lembar belakang ia tenggelam dalam keasyikan membaca artikel tentang Supermoon yang akan muncul di langit sebanyak tiga kali tahun ini dan satu lagi soal hari tepat penentuan arah kiblat, saat matahari berada tepat di atas Mekah pada pukul 16.27 hari berikutnya. Saat ponselnya berdering, Dausi berkata bahwa ia terpaksa harus minta maaf kepada temannya itu dan mungkin pertemuan bisa ditunda satu jam.

Tapi satu setengah  jam kemudian tak banyak hal berubah di ruas jalan itu. Laju antrean hanya bergerak sepuluh meter sejak Dausi ikut mandek di situ. Polisi sudah menjelaskan bahwa bangkai truk yang terguling tidak bisa langsung dipindahkan karena --demi keamanan-- muatan gas cairnya harus dikuras terlebih dahulu. Lelah dan takut tak bisa memenuhi janjinya, Dausi terpaksa keluar jalan dan memaksakan sedan Charade tahun 1982-nya berbalik arah dan memutar ke jalan alternatif lain. Menurut perkiraannya, jika jalur alternatif ini lancar tanpa hambatan, ia masih bisa mengejar bertemu dengan temannya di Ngawi, meski tetap akan terlambat hingga dua setengah jam.

Jalur alternatif Caruban-Ngawi harus melewati desa Kaliabu yang jaraknya memutar sejauh 14 kilometer. Medan sebetulnya tidak terlalu sulit karena hampir semua ruas jalan sudah ditutupi aspal meski sempit dan tanpa penerangan. Hujan turun deras dan Dausi terpaksa menurunkan kecepatan mobilnya ke 50 kilometer per jam lantaran jarak pandang tersisa lima puluh meter. Lewat kaca ia bisa menyaksikan di sore hari jelang petang seperti ini jalan desa sepi, bahkan ia sadar di jarak dua ratus meter di belakangnya tak ada kendaraan selain sepeda para petani yang coba menerobos jalan menanjak. Deru hujan terasa lama di telinga dan belum ada tanda-tanda langit akan membelah cerah. Khawatir terlambat, Dausi kembali menginjak lebih dalam pedal gasnya.

Tapi jarak pandang yang terbatas mencelakakannya. Ia tiba-tiba melihat sekilas cahaya terang yang menembus jendela depan dan membuatnya tak bisa mengendalikan kendaraan. Bunyi terakhir yang ia dengar sedetik itu adalah klakson terompet yang besar dan menggemuruh dari arah depan dan ban berderit di atas aspal. Dausi berteriak mengangkat dua tangannya di depan mata saat dalam sekejap ia merasa semuanya gelap. Mobil sedan kecil itu terhempas ke belakang dan jatuh ke parit sedalam delapan meter dengan posisi miring. Deru hujan dan desingan entah-dari-mana adalah yang terakhir didengar Dausi sebelum tak bisa melihat apa-apa lagi. Beberapa meter dari mobil itu, tergeletak basah lipatan koran, dan sebuah buku tebal dengan sampul merah tua.

**

Gelap. Pusing.

Samar-samar Dausi mendengar bunyi orang saling berbincang dan tangis dari kejauhan. Hidungnya langsung menyergap bau obat-obatan dan aroma khas antibiotik. Saat membuka mata dan akhirnya menyadari ia berada berbaring di sebuah ranjang rumah sakit, hal pertama yang dilakukan Dausi adalah mengangkat kepalanya (yang terasa sangat berat dan menyebabkan rasa sakit di leher belakang), dan memastikan semua anggota tubuhnya masih lengkap. Jarum dan selang infus tertancap di punggung tangan dan ia pelan-pelan merasakan kakinya sulit digerakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun