Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Komet

30 Juli 2013   10:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:50 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi Edwar tiba-tiba mengangkat dua telapak tangannya di depan dada. "Aku tahu, Dausi, my friend. Soal komet dan apapun yang terkait dirimu, aku sudah berjanji tidak akan berhenti membahasnya, bahkan menelitinya. Tapi... timing. Lihat dirimu sekarang. Aku tak mau melihatmu seperti Stephen Hawking.

Mereka tertawa.

"Aku akan berada di Bosscha awal bulan depan sebelum berangkat ke Berlin. Sekarang beristirahatlah dulu, fokus pada penyembuhan oke. Kau punya keluarga yang luar biasa untuk diberi kebahagiaan penuh. Jadilah seorang ayah dan suami yang utuh sesekali. Tidak masalah untuk melupakan obsesi bintang barang sejenak agar kita merasa semakin hangat berpijak di bumi. Lagipula, bersyukurlah karena kau masih hidup."

Mendengar kata-kata itu Dausi merenung. Di depan matanya kini sampul buku keramatnya itu ia angkat. Telinganya masih mendengar sahabatnya itu berkata entah apa, tapi pikirannya terbang ke masa kecilnya.

**

Dausi kecil dibesarkan di sebuah lingkungan yang tak paham ilmu pengetahuan modern. Ayahnya seorang petani cengkeh yang lebih paham lika-liku perdagangan sementara ibundanya adalah seorang perawat gaya lama. Hari-hari pertumbuhannya biasa saja dan bukan itu yang jadi ingatan paling kental. Ia paling ingat satu hal, yakni cerita ibunda soal hari kelahirannya.

"Kau, anakku Dausi. Lahir di hari Minggu tanggal 9 Februari 1986. Itu di jam saat matahari berada di atas Makkah, dan tepat di hari saat bintang bercahaya melintas di tengah langit."

Akhirnya Dausi mencatat frasa "bintang bercahaya" itu. Yang lewat pendidikan formal, ia menyadari keistimewaaan dirinya yang lahir bertepatan dengan melintasnya komet Halley. Sejak saat itu, ia menjelma menjadi seorang kutu buku yang terobsesi pada komet. Ketertarikan yang sama membuatnya bertemu beberapa teman yang punya minat serupa, termasuk Edwar Baturaga saat sama-sama bersekolah di Yogyakarta. Bedanya, Edwar memilih jadi astronom profesional sedangkan Dausi otodidak dan amatir.

Meski kedua orang tuanya tak begitu peduli alasan di balik ketertarikannya --di banyak kasus Dausi berpikir orang tuanya bahkan tak tahu apa itu komet--, Dausi melaju dengan rasa penasarannya sendiri. Ia mulai banyak bermimpi. Hingga akhirnya almarhumah ibundanya pernah marah besar karena Dausi berkata, "Aku ingin meninggal tepat saat komet Halley melintas lagi!"

**

Lembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun