Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dua Perempuan

19 Desember 2012   02:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:24 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

KACA BERTUBRUKAN DENGAN KACA. Satunya pecah di tengah dan yang lainnya hancur tak bersisa. Davina melihat dirinya benar-benar hancur, lebih parah dari bayangan yang dilihatnya di retakan-retakan cermin. Kakinya berdarah menginjak butir-butir gelas, tapi sakit paling terasa adalah masa lalu yang pernah indah.

"Pergi saja. Kau memang tak pernah peduli dengan keadaanku." Gadis itu akhirnya menurunkan nada bicaranya hingga tingkat paling lemah. Mungkin saja ia bisa menerima diri sendiri dalam kesendirian untuk sementara waktu. Membiarkan cintanya pergi seperti anak yang meninggalkan rumah. Ruangan itu tiba-tiba dingin dan Davina membalut sendiri lengannya dengan telapak tangan.

Laki-laki itu, setelah pertahanan pendapat -yang sejatinya lebih banyak pengutaraan alasan-akhirnya pergi membawa punggungnya. Ia sempat ingin memeriksa telapak kaki yang menempelkan darah di lantai marmer putih, tapi Davina menolaknya tanpa kata-kata.

Perempuan itu berbalik menghadap kaca, melihat butir sisa air hujan yang menyaksikan perasaannya dari balik kaca. Mungkin dunia selalu bersimpati pada perempuan yang bersedih, karena memang ia tak punya tempat pengaduan lain. Ia berpikir masih memiliki seseorang yang memahaminya dengan hati, tapi saat tubuhnya berbalik, tak ada lagi kekasihnya di kamar itu. Satu-satunya yang berbeda adalah jurnal perjalanan bernama terang, terbungkus pita merah meski halamannya sedikit basah.

**

Duabelas hari berlalu dan Davina memilih menghabiskan waktu dengan menyelesaikan penerjemahan dua naskah sesuai pesanan penerbit kecil. Satu buku  bercerita fantasi tentang dunia luar biasa di bawah papan lantai sebuah gubuk. Sementara buku satunya menceritakan tokoh laki-laki yang tak pernah ingin menikah, memilih memulihkan keluarga orang lain sebagai detektif orang hilang sementara ia sendiri hidup dalam dunia yang tak begitu terang. Buku kedua ini cukup bisa membawa Davina memikirkan dunia yang lebih bermakna. Membantunya menyadari bahwa kesedihan akan diobati cepat atau lambat, dan bahwa obat kesedihan itu, terlepas dari kapan waktunya, pasti akan datang melalui seseorang. Pembawa obat hati, mungkin. Davina tersenyum di depan mejanya sendiri, menembuskan pandangnya keluar jendela ketika tiba-tiba memfokuskan penglihatan. Ada sosok di jalan bawah sana yang mengganggu pikirannya tiba-tiba.

**

Perempuan itu berusia setidaknya enampuluh, dilihat dari badannya yang seperti pernah gemuk karena daging di sebagian tungkainya telah hilang, meninggalkan kulit menggantung pendek. Meski begitu emak tua itu jelas pernah melahirkan, atau setidak-tidaknya menikah, karena sisa kegemukannya masih ada. Kepalanya ditutupi kain hingga membentuk semacam sorban yang melindungi rambut tebal yang masih hitam berkilau. Bajunya lebih modern dari usianya, kardigan khusus dari wol yang sekaligus penghangat, sementara di dalamnya manset tipis bercorak bunga melengkapi dandanannya yang tak muluk-muluk. Rok berlipit abu-abu membuat ia lebih mirip suster gereja, kecuali ia tak mengenakan kalung salib. Gerak tangannya lembut dan hati-hati, sesekali ia kembangkan payung berwarna peraknya jika gerimis turun, kemudian menutupnya lagi saat membuka buku bacaan di pangkuannya.

Bukan buku itu yang  menarik perhatian Davina hingga berani menghampir perempuan itu.

"Setengah Penuh Setengah Kosong itu buku yang bagus, Nek." Davina berbasa-basi, berharap sapaannya terbalas. Dan benar saja. Perempuan itu menghentikan bacaannya dan menyilakan gadis itu duduk di sampingnya.

"Ya, buku untuk jiwa. Kau tidak berasal dari dusun ini ya, Nak?"

Davina dengan malu mengaku, menjelaskan singkat bahwa ia berasal dari rumah kontrakan dua lantai di ujung jalan utara. Baru pindah ke kota ini dua bulan lalu karena mengikuti permintaan seorang laki-laki yang membawa seribu janji. Laki-laki yang akhirnya membuatnya tak percaya lagi pada apa yang mungkin terjadi.

"Laki-laki memang terlalu mudah berjanji." Perempuan tua itu berkomentar lurus. "Itu seperti permainan bagi mereka, tanpa tahu kita menyimpan setiap kata yang pernah mereka ucapkan. Mereka tidak sadar, bahwa perempuan menyimpan kata dengan perasaan sementara mereka ...."

"... dengan pikiran."

Perempuan itu mengangguk mengiyakan sambung kata dari Davina. Menyadari gadis itu seperti dalam keadaan yang kurang sehat, ia menawarkan segelas minuman yang masih berasap, yang ternyata isinya adalah jamu. "Baik untukmu. Siapa namamu, Nak?"

Davina memperkenalkan diri begitu pula perempuan itu. Cut Hajra, nama yang kental dengan kesan feminisme dua dekade. Davina pernah membaca tentang ketegaran perempuan-perempuan Aceh hidup dalam kesendirian. Peperangan, gerakan separatis sampai penembakan misterius banyak merenggut laki-laki, memisahkan mereka dari keluarga terutama istri-istri yang bingung soal apa yang benar dan salah. Pikiran itu muncul kembali di benak Davina, meski ia akhirnya menyadari dirinya kadung telat memahami bagaimana beratnya menghidupi keseharian tanpa sokongan seseorang yang berarti di hati.

"Jangan bersedih dengan kesendirian, Davina. Kalau ini soal laki-laki, bisa kubilang nasib kita sama." Kalimat itu membuat Davina kian bersemangat. Mereka saling berbalas tanya sederhana dan Davina lebih banyak berbicara apa yang mengganggunya selama berminggu-minggu.

"Siapa nama laki-laki hatimu itu?" tanya Cut Hajra.

"Idham."

"Idham." Cut Hajra bergumam sendiri, menengadahkan kepalanya seperti mencari langit yang tak sedekat dulu. Melayani jabat tangan beberapa orang melintas yang membuat Davina mengangguk-angguk.

"Laki-laki terlalu beriman pada rasa gengsinya, terkadang. Menganggap hidup selalu ada jalan keluar ke manapun ia membawa pasangannya tersesat. Berat mengucapkan pujian, berat mengakui kesalahan dan meminta maaf, merasa terlalu penting untuk menyatakan perasaan lebih dulu. Mereka juga jarang membagi masalah, seperti merasa paling kuat tanpa sadar kita bisa memahaminya lebih tegar."

Entah apa, tapi Davina tiba-tiba terkekeh mendengar kalimat itu. Hampir semuanya ia percaya sebagai fakta di kebanyakan yang pernah dilihatnya.

"Tapi laki-laki mudah menyatakan sayang. Sebagian mereka memilih semua orang, dan kurasa, kau beruntung Idham hanya memilihmu."

Davina mengangguk sambil merenung. Ia memang ingat tak pernah bermasalah dengan Izan terkait perempuan atau laki-laki lain. Mereka telah saling percaya dan saling pegang janji. Tak pernah ada percekcokan berarti kecuali keputusan yang akhirnya membawa laki-laki itu mengejar cita-citanya ke Eropa. Menyimpan hanya setumpuk jurnal perjalanan pribadi yang katanya akan diisi lagi sekembali dari pengaduan nasib.

"Kau harus percaya padanya."

Kalimat itu menjadi wejangan terakhir Cut Hajra hari itu, karena ia sudah harus menghentikan bus saat pasar di belakang mereka mulai ramai. Ia tak ingin menjadi pengganggu aktivitas orang-orang yang menggali kehidupan. Setiap manusia punya pencarian maknanya sendiri.

"Nek Cut Hajra, sapu tangannya ketinggalan."

Perempuan itu mengambil sapu tangannya dari tangan Davina, kemudian berterima kasih dengan mata berkaca-kaca. Ketegaran perempuan bisa rapuh seketika jika perasaannya terusik. Pemandangan yang justru membuat Davina terheran-heran.

**

Davina kadung penasaran dengan Cut Hajra. Entah mengapa, tapi ia merasa terobati setelah perbincangan jelang siang beberapa hari lalu itu. Hujan masih setia turun pertanda akhir tahun tidak akan seceria tahun-tahun sebelumnya. Naskah terjemahan memasuki tahap penyelesaian dan ia merasa kesehariannya mulai pulih. Kamarnya ditata rapi, diubah posisinya kecuali meja  kerja yang menghadap jendela. Berharap hatinya bisa terus terobati, pagi-pagi Davina sudah melihat jendela, berharap melihat Cut Hajra melintas lagi ke arah pasar. Dan mungkin, ia bisa mengobrol dengannya lagi soal laki-laki dan cinta yang terluka.

Tapi perempuan itu tak nampak datang lagi.

**

Kekhawatiran mulai hinggap di hati Davina, pikiran-pikirannya mulai menebak-nebak apa yang mungkin terjadi pada perempuan itu, atau di mana ia sekarang. Ia hanya mendapati bangku panjang itu meninggalkan bekas cekungan warna lebih gelap di satu ujungnya, seperti telah diduduki selama puluhan tahun.

"Oo ... itu namanya Bu Laksmi. O jadi nama aslinya Cut Hajra. Sama semua orang di sini ia tak pernah memberi tahu nama aslinya ...." Pedagang itu merenung sejenak kemudian mukanya tiba-tiba bergejolak.

"Kau tak pernah mendengar radio ya? Bu Laksmi itu pahlawan di kampung ini. Ya ... memang tidak bagi semua orang, tapi menurut saya pasti bagi setiap perempuan."

"Pahlawan ... maksudnya?"

Laki-laki pengusaha parut kelapa itu akhirnya menyediakan dua kursi untuk mereka duduk, menyerahkan pelayanan pelanggan kepada anaknya. Akhirnya, ia menjelaskan kepada tamu perempuan muda yang nampaknya sangat penasaran soal seorang perempuan lain.

"Konon, saya juga tak tahu persis, Bu Laksmi datang ke kampung ini duapuluh tujuh tahun lalu, di masa-masa lengsernya Sukarno. Tak ada yang tahu pasti dari mana asalnya, tapi apa yang dilakukannya di sini, benar-benar membuat semua orang heran!"

"Heran? Maksudnya?" Davina menunjukkan keheranan yang sama.

"Kau lihat bangku kayu di depan itu?" Pedagang itu menunjukkan arah dan Davina mengiyakan. "Itu sudah seperti bangku pribadi Bu Laksmi. Sampai beberapa kali diperbaiki sendiri oleh dia, kadang dibantu kami. Di bangku itu, Tiap pagi Bu Laksmi duduk merajut, kadang membaca buku, kadang memberi makan burung, kadang menghibur anak-anak sekolah yang bersedih. Ia datang jam tujuh dan pulang jam sembilan. Datang lagi sore jam empat dan pulang jam enam."

"Untuk apa ia duduk di situ setiap hari?"

"Tak ada yang tahu pasti, tapi kuyakin, itu ada hubungannya dengan sapu tangan saudagar kaya yang disimpannya!"

"Saudagar kaya?" Davina tiba-tiba teringat sapu tangan itu. Kain tipis berwarna marun dengan renda tipis di pinggirnya, tak banyak motif tapi ada sulaman sebuah nama di sudutnya yang tak sempat ia ingat.

"Lukman Baihaki, nama laki-laki itu. Ada satu nama lagi perempuan, saya lupa. Ibu saya bercerita, konon di awal kedatangannya, Bu Laksmi tiba-tiba bingung karena tak tahu bagaimana mengembalikan selembar sapu tangan pada saudagar yang menjatuhkannya dari mobil. Menurutnya, sapu tangan itu pasti berarti bagi saudagar itu, karena dua nama itu disulam berdekatan. Mungkin, Lukman dan istrinya. Atau kekasihnya. Nah, Bu Laksmi, mulai hari itu, akhirnya duduk di bangku itu, berharap Lukman ini lewat lagi dengan mobilnya seberangkat atau sepulang kerja. Tapi ... setelah berpuluh tahun, tak pernah ada yang mencari sapu tangan itu."

Orang lalu lalang di pasar itu, ramai dengan perdebatan mereka soal harga dan tanah yang becek. Davina sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin, seorang perempuan rela menunggu hingga duapuluh sekian tahun demi selembar sapu tangan.

"Bu Laksmi pernah bilang, ia tidak akan berhenti menunggu pemilik sapu tangan itu sampai mati, atau sampai orangnya kembali. Perempuan itu seperti paham sekali apa artinya kehilangan."

"Saya yakin itu. Tapi maaf, apa Bu Laksmi tak punya keluarga?"

"Punya. Tapi anak-anaknya sepertinya sudah rela membiarkan ibu mereka melakukan kebaikan yang bagi mereka terdengar sebagai kegilaan hidup. Baru lima tahun terakhir ini anak-anak mereka pengerti. Membawakan nasi kotak setiap pagi secara bergantian, kadang membawakan cucu-cucu dan baju hangat baru. Mereka sudah tinggal jauh dari sini dan Bu Laksmi sebatang kara. Ia hanya punya kami di pasar ini sebagai keluarga barunya."

"Suaminya?"

"Meninggal jatuh dari atap sebulan setelah mereka menyambut anak ketiganya."

Davina menghubungkan setiap pesan yang ia dengar dari penjelasan itu. Tentang Cut Hajra, tentang keluarganya, tentang sapu tangan itu, tentanga pasar ini, terlebih lagi ... tentang dirinya sendiri. Ia merasa nasib dirinya dan Cut Hajra sejatinya sama. Mengharapkan seorang laki-laki untuk kembali pada garis waktu yang tak benar-benar pasti. Bedanya, Cut Hajra menahan masa lalu sementara dirinya berusaha membuat garis hidup yang baru.

Davina tiba-tiba cemas apa yang terjadi pada Cut Hajra. Pedagang itu sudah kembali pada kesibukannya setelah mengutarakan kekhawatiran yang sama bahwa Bu Laksmi tak lagi menunggu di bangkunya. Sebagian ibu-ibu pedagang berceloteh bahwa mungkin ia sudah mendapatkan Lukman Baihaki. Sebagian lain khawatir terjadi apa-apa pada perempuan tua itu. Seorang utusan kemudian dikirim memeriksa rumah Bu Laksmi.

Davina memutuskan ikut. Rumah itu cukup besar untuk didiami sendiri. Dindingnya kayu dan atapnya dari genteng tua. Beberapa pedagang sayur yang ikut memeriksa dengan was-was lalu mengelus dada dan sebagiannya menangis. Sepucuk surat terselip di daun pintu itu membawa pesan terima kasih untuk puluhan tahun berarti.

Perempuan itu menemukan laki-lakinya. Dan mungkin, sapu tangan itu menemukan rumahnya.

Davina meneteskan air mata. Duapuluh tujuh tahun. Kesetiaan yang tak mengenal waktu. Ia menyusuri pandang setiap jengkal rumah itu, menggali secuil demi secuil cerita indah yang mungkin ditinggalkan seorang Cut Hajra untuk orang-orang sepertinya. Untuk perempuan yang memutuskan menunggu.

"Bu, maaf." Davina bertanya satu hal yang masih mengganggu pikirannya. Ibu muda penjual sayur itu menyambut ramah. "Kenapa Bu Laksmi tak mau memberitahu nama aslinya ya?"

"Katanya, dia hanya akan mengatakan nama aslinya pada perempuan yang bernasib sama dengannya."

Davina menarik badannya lebih tegap menopang langit. Hatinya hangat seketika.

*

Ilustrasi: mikyag.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun