Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Versa

28 November 2012   01:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:34 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

BUNYI LONCENG GEREJA di pagi hari selalu merdu bagi Kibalu. Dentingan berkali-kali itu seperti mengingatkannya akan waktu jatah dan sisa bagi tiap manusia. Membawanya terkaan logis pada kisah pertarungan abadi Krusader dengan tentara Muslim hingga kisah-kisah mitis seputar keterlibatan Sukarno dalam kelompok perkumpulan rahasia yang turut membangun Monumen Nasional. Selama empat jam duduk di bangku putih panjang di bawah pohon Tanjung pedestrian itu, ia baru membaca belasan halaman dari buku Sepatu Dahlan dan pikirannya mulai menduga-duga tidak tenang.

Kekhawatiran menyeruak masuk lewat lubang telinga laki-laki itu saat matanya beberapa kali memeriksa jam tangan. Orang yang ditunggu mungkin sedang terjebak macet, atau tidur terlambat sampai-sampai bangun kesiangan. Saat berbahaya bagi sebuah ketenangan adalah justru saat pikiran coba menenangkan, berarti sesuatu yang tidak beres mungkin sedang terjadi. Firasat wanita dan orang tua biasanya selalu membuktikan hal ini. Tapi Kibalu tetap pada pilihannya untuk menenangkan diri. Emar Samosir belum pernah sekalipun melupakan janji apalagi mengingkarinya. Sosok redaktur idola itu kadung terpatri setelah belasan tahun karir yang cemerlang.

Peluit bertalu-talu saat lalu lintas semakin tersendat. Ratusan kotak bermesin sudah diparkir sejajar di pinggir jalan Slamet Riyadi. Memberi hanya sedikit ruang bagi duaratusan jemaat yang dengan keceriaan yang tenang mencari pijakan di antara aspal dan paving blok, berusaha menyeberang dan menuju ruang utama gereja di sebelah utara. Di seberang selatan jalan, Kibalu mengangkat telapak tangan kepada seorang pedagang asongan yang menawarkannya rokok. Ia sudah kehabisan kesabaran. Panggilan yang berusaha dikirim kini terpantul kembali. Pesan terkirim tapi belum sampai hinggap di kotak masuk di kejauhan sana. Sesuatu jelas telah terjadi, karena itu Kibalu memutuskan menuju mobilnya untuk kemudian mengarah pada sebuah kelurahan sepi beberapa blok dari Stasiun Jebres.

Keringat bercucur dan jantung berdegup lebih cepat. Apa yang ia dapati di tempat tujuan itu seperti menekan tubuhnya hidup-hidup ke kedalaman tanah. Langit runtuh dan membuat tanah tempat berpijak tiba-tiba gelap menyesakkan.

**

Menjadi jomblo memang pilihan, tapi menjalaninya kadang memunculkan kesedihan. Seda meletakkan mangkuk mi instan kuah kari yang telah menemani paginya dengan begitu baik. Kalau bukan karena ketukan di pintu yang begitu mendadak, mungkin makanan popular itu sudah habis dengan sekali angkat mangkuk. Seda bangkit mematikan televisi kemudian membukakan pintu untuk seseorang yang ternyata dikenalnya dengan baik. Ia menyilakan orang yang ia anggap senior itu untuk masuk dan duduk menikmati paduan bubuk kopi hangat yang disiram langsung dengan air dispenser. Penampilan tamunya yang begitu kusut membuat Seda bertanya apa gerangan yang membawa seorang wartawan senior sampai ke kamar kecil rumah kontrakannya.

"Naskah Versa dicuri."

Seda tahu apa yang dimaksudkan tamunya itu. Naskah Versa adalah salah satu manuskrip buku fiksi yang dikaguminya. Bukan tanpa alasan, buku itu memang harusnya terbit awal bulan depan dan ia mendapatkan kehormatan sebagai teman dekat sang penulis. Kibalu Omni Syahrir sudah menjadi mentornya selama setahun belakangan, mengajarinya banyak hal soal etika jurnalistik dan teknik kepenulisan agar pembaca tidak semata-mata mencerna berita atau menghujat. Kini pejabat redaksi itu datang dan mengadukan naskah novelnya hilang. Novel itu dikerjakan selama tujuh bulan, yang membuat Seda paham kesedihan yang dirasakan Kibalu.

Versa menceritakan perjalanan seorang gadis tunagrahita, si cantik Meli yang memilih keliling Indonesia demi menemukan tujuh jawaban yang dicarinya. Ketujuh jawaban itu ia sebut versa, gubahan indah dari kata yang berarti 'ayat' dalam banyak bahasa. Dalam bentuk padu lain kata versa bisa berarti hal yang berlaku pada dua sisi oposisi. Timbal balik. Pada akhir cerita si gadis menangis karena tak menemukan ketujuh versa yang dicarinya. Angin sejuk perhembus karena di hari-hari terakhir hidupnya ia bertemu dengan seorang jurnalis yang ia anggap malaikat. Meli tidak menyadari, bahwa selama tiga tahun pengembaraannya ia telah menunjukkan ayat-ayat pada banyak orang yang disinggahinya, mengirimkan semangat berjuang dan keluguan seorang umat yang menguji kehidupannya untuk jawaban-jawaban yang sebetulnya sudah ia temukan sejak langkah pertama meninggalkan pelabuhan. Jurnalis melanjutkan perjuangan dengan mengarang novel berjudul sama dengan apa yang dicari Meli. Cerita menyentuh yang dihiasi sekelumit aksen kisah terpisah, percintaan sepasang tua dan seekor burung merpati pos. Seda ingat betul alur cerita itu karena beberapa kali diminta bantu membaca kekeliruan ketik dari Kibalu sang pengarang.

"Bagaimana kejadiannya?" Seda coba menanyakan lebih jauh, berharap kawannya itu menangkap rasa simpati yang coba ia tunjukkan.

"Entahlah, Seda. Aku percaya sepenuhnya pada Pak Emar, dia orang dengan kredibilitas. Setelah mengirimkan naskahku melalui dia dan menunggu dua minggu, pada pagi tiga hari lalu seharusnya aku sudah mendapatkan kabar baik, karena ia sendiri yang merencanakan pertemuan itu. Dia memang sukarela menawarkan bantuannya meloloskan naskahku pada penerbit Ulos, jadi aku tentu percaya. Tapi ternyata ..."

"Sudah coba hubungi? Ke rumahnya?"

"Nihil. Rumahnya di Solo sudah kosong dan tetangga-tetangganya bilang keluarga itu kembali ke kampung seminggu lalu. Aku tak tahu satupun keluarganya di sini. Setahuku dia orang Sumatra dan pendatang juga bersama istri dan anak-anaknya. Dan lebih mengejutkan lagi, karena ternyata orang itu sudah mengundurkan diri dari Lokomotif, majalah tempatnya bekerja dan diberi penghargaan khusus oleh pemimpin redaksi."

"Sulit dipercaya." Seda berkomentar lurus.

"Sekarang aku harus bagaimana ...?"

Seda paham pertanyaan itu tak harus ia jawab langsung, mungkin sekadar gumaman keluh dan kesedihan yang disampaikan dengan begitu emosional oleh Kibalu. Sebagai orang yang lebih muda ia tahu diri bahwa mendengarkan akan lebih tepat ketimbang menasihati. Laki-laki paruh baya di depannya ini sedang coba peruntungannya sebagai jurnalis yang penulis buku. Tapi apes, naskah buku pertama justru dibajak oleh orang yang dipercainya. Luntur sudah harapan Seda dalam sekejap. Ia tak ingin mengingatkan rekannya itu pada sesuatu yang hanya akan membuatnya tambah sedih. Maka ia tidak sama sekali menyinggung naskah Nota Kosong yang adalah naskah pribadinya. Beberapa kali memang Kibalu mengapresiasi tulisan Seda yang renyah dan kuat pada alur dan deskripsi, tapi itu bukan bahasan yang cocok untuk kali ini. Tidak saat Kibalu sendiri bersedih. Seda menghela napas dan lalu coba menenangkan Kibalu. Menghibur orang terkadang tak membutuhkan terlalu banyak kata, tapi bahasa tubuh yang membuatnya percaya bahwa kita selalu ada. Pertemuan Kamis pagi itu diselimuti mendung meski siang cerah menyengat.

**

Beberapa wartawan internet mulai berdebat kusir soal kasus pencurian naskah ini meski dua nama dari kelompok media besar memilih bungkam. Tidak ada petunjuk berita apapun tentang pengunduran diri mendadak Emar Samosir. Orang itu menghilang seperti asap yang menembus lubang kunci. Seda memilih tak terlalu memikirkan itu, meski rasa empatinya pada Kibalu membuatnya beberapa kali mencari petunjuk ke mana naskah Versa dibawa. Di waktu istirahat peliputan ia sengaja mengunjugi toko-toko buku sekadar menjawab firasat atau mencari jawaban untuk penerbit-penerbit mana yang akhirnya menerbitkannya dalam bentuk buku setelah tiga minggu menghilang. Kibalu sudah beberapa kali datang ke tempatnya tinggal dan menceritakan kegusaran secara berulang-ulang.

Seda mulai khawatir pada rekannya itu, karena seorang wartawan senior harus menjaga kesehatan fisik sama pentingnya dengan kesehatan jiwa. Pada pertemuan terakhir Kibalu datang terhuyung ke kontrakannya dalam keadaan mabuk, padahal orang itu tak punya catatan keterlibatan dengan alkohol sebelumnya. Hari ini saat suasana mulai tenang dan berita perlahan-lahan memudar. Siklus jurnalisme tak pernah benar-benar membuat sesuatu abadi.

Keluar dari masjid setelah menjalani ibadah Jumat, Seda membaca pesan singkat yang masuk dan membuatnya tersenyum dan mengira-ngira. Maka ia menggosok-gosok rambutnya yang ikal semata-mata agar cukup kering untuk dibalut rapat dengan helm bulat yang panas. Purna mengambil dan menaruh beberapa barang di kontrakan lalu mengganjal perut dengan soto Madura berkuah hitam, ia  langsung menuju sebuah kantor majalah lokal yang letaknya belasan kilometer dari kaki selatan Gunung Merapi, di mana Kibalu sudah menunggunya untuk kabar baik.

"Maaf, Pak Kibalu. Tapi ... apakah waktunya pas? Saya merasa bahwa ..."

"Sudahlah, Seda." Kibalu mengunggah senyum  ramah sambil mengangkat telapak tangannya. Di meja itu mereka membincangkan sebuah rencana yang kiranya menghilangkan kesedihan tentang sesuatu yang telah terjadi.

"Yang terjadi biarlah terjadi. Aku sudah merelakan naskah Versa digasak orang. Entah ke mana orang jahat bersembunyi, tapi Tuhan selalu menemukannya. Mungkin, amal baik dibalas amal baik, amal jahat dibalas sebaliknya."

"Vice Versa." Seda berkata begitu saja. Mendengar itu Kibalu tertawa lepas. Sesuatu yang terjadi bolak-balik di dua sisi kadang jadi sinyal baik bagi orang-orang yang berpikir bahwa apapun bisa terjadi bahkan setelah perencanaan matang, dan setiap orang bisa menjadi kebalikan dari apa yang kelihatannya. "Kau paham betul konsep ini, Seda. Itu alasan mengapa sejak awal aku mengamatimu. Kau pemuda yang cerdas."

"Terima kasih, Pak."

Kibalu mengangguk dan lalu balas menyuguhkan secangkir kopi manis untuk Seda. Setelah menghabiskan jatah bincang basa-basi, Kibalu langsung pada inti undangannya.

"Kau bawa naskahmu?"

Seda merogoh tas ranselnya kemudian menaruh bundel kertas tercetak yang jumlahnya pasti di atas seratus halaman. Novel pendek yang mungkin akan bermasalah di standar minimum panjang cerita di meja redaksi. Tapi ia sebagai pengarang tak begitu memikirkan apapun soal naskah ini mau diterima atau tidak. Toh, ia separuh iseng mengarang dan ternyata Kibalu menyukainya. Maka pada seminggu terakhir ia bersemangat untuk merampungkan akhir cerita di mana Markus si tokoh utama akhirnya mengembalikan sebuah nota belanja tua yang menyimpan rahasia kematian seorang menteri di masa lalu. Cerita misteri tak pernah mati pasar, dan Kibalu meyakinkan berkali-kali bahwa sebuah ide harus dirampungkan.

"Seda." Kibalu menaruh bundel kertas itu dan merapatkan dua tangannya di atas meja. Sorot matanya tajam dan alis tebalnya merapat ke tengah. Kepalanya bergerak pelan seakan-akan pikirannya berusah menyusun kata yang tepat.

"Aku minta maaf sudah merepotkanmu selama ini."

Seda mengangguk dan membalas bahwa hal itu bukanlah masalah berarti. Sebagai jurnalis muda dan seorang junior yang berguru pada orang yang lebih berpengalaman, ia menyadari perannya dan apapun yang dihadapinya. Sebuah penghormatan pertemanan sudah cukup baginya sebagai pegangan untuk terus meniti pada jalan kebenaran yang sama dengan kemarin, sama dengan hari esok.

"Kita punya kesamaan yang penting, Seda. Kau pembelajar yang ingin mencoba semuanya, aku juga. Meski usia kita tak lagi muda dan aku beberapa tahun lebih berpengalaman daripada kau, tapi aku merasa visi kita sama soal banyak hal. Misi-misi kecil kita yang berbeda, bahkan perbincangan-perbincangan kita yang ringan di sela-sela minum kopi adalah pelajaran untuk banyak hal dan kejadian. Aku bahkan menulisnya di beberapa bagian Versa. Agar nanti siapapun yang membacanya kalau buku itu diterbitkan oleh siapapun, pesannya sampai. Mungkin memang sampai di sini kita pelajari hal penting. Bahwa di banyak pelajaran sejak peradaban-peradaban terdahulu, adalah isi tulisannya yang lebih mudah diingat daripada siapa yang menulisnya. Kutipan bertengger selama berabad-abad sampai laman internet, kita kopi ke banyak buku dan media sosial tanpa perlu cari tahu siapa yang pertama kali menuturkannya. Suatu saat, jawaban yang dicari akan muncul tanpa diminta. Siklus yang penting buat pembelajar."

Seda termangu mendengar kisah perenungan itu. Kibalu tak pernah  bicara seperti ini sebelumnya, tapi ia menikmatinya. Paling tidak, sebagian besar yang dijelaskan barusan sejalan dengan yang pernah dibacanya di buku-buku filsuf dan orang-orang yang memanggil dirinya motivator.

Kibalu terkekeh. "Maaf kalau aku mendadak melankolis begini. Laki-laki tak boleh terlalu terbawa perasaan."

Naskah Nota Kosong akhirnya terkirim ke redaksi melalui Kibalu. Seda meninggalkan kantor itu dengan perasaan sumringah. Ia mengangkat dua tangannya ke udara dengan senyum terangkat dan rasa puas berlipat-lipat. Mungkin ini awal karir barunya sebagai pengarang, meski ia tak menyanggah pekerjaan jurnalis dan hobi memotret tak akan pudar dalam kesehariannya.

Tapi tiga minggu setelah hari itu, Seda menyadari sebuah siklus yang tidak menyenangkan.

**

Hari-hari berlalu seperti biasa, dan angin Agustus mulai terasa tidak enak.

Sebuah undangan surat yang disusul pesan singkat membawa Seda pada sebuah kursi besi di depan sebuah rumah makan siang yang rindang. Pohon-pohon bambu kuning khas penghias pagar berjajar dan menarik perhatian banyak orang untuk mampir dan mengisi perut serta mengembalikan kesegaran pikiran mereka setelah empat jam bekerja sejak pagi.

Lonceng berbunyi dan Seda menyadari bahwa beberapa meter dari tempat itu ada sebuah gereja. Ia menikmati lantunan irama beraturan itu sampai akhirnya kantuk menderanya.

Tiba-tiba sebuah pesan singkat membangunkannya saat pelayan perempuan muda dengan langkah ragu belum menjangkaunya untuk tagihan jelang restoran tutup. Seda menyodorkan beberapa lembar uang dan dengan setengah sadar membaca pesan di layar ponselnya. Pesan yang membawa kesadarannya pada kepenuhan ingatan jangka pendek, dan kekhawatiran yang memuncak sampai kepala.

Mazel Tov. Aku menghormatimu sebagai seorang pejuang. Tapi kurasa kau akan mengerti mengapa Versa bisa terjadi pada siapapun. Maaf, Seda. Tapi aku tidak akan lari seperi Emar. Kau bisa memenjarakanku kapanpun kau mau.

Seda terperanjat. Pikirannya sontak menarik kembali gambar-gambar ingatan yang pernah sangat dipercayainya. Wajah sedih Kibalu di pintu kontrakannya, suaranya tentang naskah Versa yang ditelikung orang, tawaran kisah rahasia di balik media besar, dan pertemuan manis di sebuah kantor redaksi rekannya. Ketakutannya memuncak saat ia ingat momen itu, momen ketika ia menyodorkan naskah rampung Nota Kosong kepada Kibalu. Celakanya, ia ingat pula pada hari itu ia menyerahkan naskah lunak dalam sebuah flashdisk guna memudahkan penerbitan sebagaimana diminta.

Seda menaiki motornya dengan darah berdesir sampai kepala. Tujuannya jelas, meski apa yang akan dilakukannya masih samar-samar. Sesampainya di sebuah toko buku terkenal di tengah kota, ia berhenti di depan sebuah rak kumpulan buku terbaru. Naskahnya terbukukan dan terpampang di sana, sepertinya baru masuk hari ini. Ia terkekeh dan merasa bodoh pada diri sendiri, karena apa yang tertulis di sampul buku itu menamparnya sampai ke hati.

NOTA KOSONG - Kibalu Omni Syahrir.

Seda membaca kembali pesan singkat itu, dan keringatnya bercucuran. Ia mematung selama hampir satu menit, menerka-nerka apa yang akan dilakukannya. Lebih-lebih, apa yang telah dilakukannya. Pada hari-hari berikutnya jurnalis muda itu kembali ke kesehariannya, mengunjungi beberapa tempat di luar kota dan beberapa kantor yang terselip di antara keramaian. Momen yang tak akan dilupakannya adalah saat menghadiri sebuah acara bedah buku di sebuah Fakultas Sastra terkemuka. Narasumber mengatakan bahwa ia sedang menyiapkan naskah buku lanjutannya, memberi bocoran kisah seorang gadis yang mencari tujuh tanda dalam kehidupannya.

Seda melipat lengan di tengah kerumunan peserta. Untuk beberapa detik ia dan pembicara di atas panggung itu sempat saling tatap. Tanpa kata, tanpa terka.

*

Ilustrasi: firsttimenovelist.com.

========================

Tokoh Seda muncul juga di cerita-cerita berikut:

Siapa Monika Zetter?

Typo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun