Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Versa

28 November 2012   01:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:34 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Versa menceritakan perjalanan seorang gadis tunagrahita, si cantik Meli yang memilih keliling Indonesia demi menemukan tujuh jawaban yang dicarinya. Ketujuh jawaban itu ia sebut versa, gubahan indah dari kata yang berarti 'ayat' dalam banyak bahasa. Dalam bentuk padu lain kata versa bisa berarti hal yang berlaku pada dua sisi oposisi. Timbal balik. Pada akhir cerita si gadis menangis karena tak menemukan ketujuh versa yang dicarinya. Angin sejuk perhembus karena di hari-hari terakhir hidupnya ia bertemu dengan seorang jurnalis yang ia anggap malaikat. Meli tidak menyadari, bahwa selama tiga tahun pengembaraannya ia telah menunjukkan ayat-ayat pada banyak orang yang disinggahinya, mengirimkan semangat berjuang dan keluguan seorang umat yang menguji kehidupannya untuk jawaban-jawaban yang sebetulnya sudah ia temukan sejak langkah pertama meninggalkan pelabuhan. Jurnalis melanjutkan perjuangan dengan mengarang novel berjudul sama dengan apa yang dicari Meli. Cerita menyentuh yang dihiasi sekelumit aksen kisah terpisah, percintaan sepasang tua dan seekor burung merpati pos. Seda ingat betul alur cerita itu karena beberapa kali diminta bantu membaca kekeliruan ketik dari Kibalu sang pengarang.

"Bagaimana kejadiannya?" Seda coba menanyakan lebih jauh, berharap kawannya itu menangkap rasa simpati yang coba ia tunjukkan.

"Entahlah, Seda. Aku percaya sepenuhnya pada Pak Emar, dia orang dengan kredibilitas. Setelah mengirimkan naskahku melalui dia dan menunggu dua minggu, pada pagi tiga hari lalu seharusnya aku sudah mendapatkan kabar baik, karena ia sendiri yang merencanakan pertemuan itu. Dia memang sukarela menawarkan bantuannya meloloskan naskahku pada penerbit Ulos, jadi aku tentu percaya. Tapi ternyata ..."

"Sudah coba hubungi? Ke rumahnya?"

"Nihil. Rumahnya di Solo sudah kosong dan tetangga-tetangganya bilang keluarga itu kembali ke kampung seminggu lalu. Aku tak tahu satupun keluarganya di sini. Setahuku dia orang Sumatra dan pendatang juga bersama istri dan anak-anaknya. Dan lebih mengejutkan lagi, karena ternyata orang itu sudah mengundurkan diri dari Lokomotif, majalah tempatnya bekerja dan diberi penghargaan khusus oleh pemimpin redaksi."

"Sulit dipercaya." Seda berkomentar lurus.

"Sekarang aku harus bagaimana ...?"

Seda paham pertanyaan itu tak harus ia jawab langsung, mungkin sekadar gumaman keluh dan kesedihan yang disampaikan dengan begitu emosional oleh Kibalu. Sebagai orang yang lebih muda ia tahu diri bahwa mendengarkan akan lebih tepat ketimbang menasihati. Laki-laki paruh baya di depannya ini sedang coba peruntungannya sebagai jurnalis yang penulis buku. Tapi apes, naskah buku pertama justru dibajak oleh orang yang dipercainya. Luntur sudah harapan Seda dalam sekejap. Ia tak ingin mengingatkan rekannya itu pada sesuatu yang hanya akan membuatnya tambah sedih. Maka ia tidak sama sekali menyinggung naskah Nota Kosong yang adalah naskah pribadinya. Beberapa kali memang Kibalu mengapresiasi tulisan Seda yang renyah dan kuat pada alur dan deskripsi, tapi itu bukan bahasan yang cocok untuk kali ini. Tidak saat Kibalu sendiri bersedih. Seda menghela napas dan lalu coba menenangkan Kibalu. Menghibur orang terkadang tak membutuhkan terlalu banyak kata, tapi bahasa tubuh yang membuatnya percaya bahwa kita selalu ada. Pertemuan Kamis pagi itu diselimuti mendung meski siang cerah menyengat.

**

Beberapa wartawan internet mulai berdebat kusir soal kasus pencurian naskah ini meski dua nama dari kelompok media besar memilih bungkam. Tidak ada petunjuk berita apapun tentang pengunduran diri mendadak Emar Samosir. Orang itu menghilang seperti asap yang menembus lubang kunci. Seda memilih tak terlalu memikirkan itu, meski rasa empatinya pada Kibalu membuatnya beberapa kali mencari petunjuk ke mana naskah Versa dibawa. Di waktu istirahat peliputan ia sengaja mengunjugi toko-toko buku sekadar menjawab firasat atau mencari jawaban untuk penerbit-penerbit mana yang akhirnya menerbitkannya dalam bentuk buku setelah tiga minggu menghilang. Kibalu sudah beberapa kali datang ke tempatnya tinggal dan menceritakan kegusaran secara berulang-ulang.

Seda mulai khawatir pada rekannya itu, karena seorang wartawan senior harus menjaga kesehatan fisik sama pentingnya dengan kesehatan jiwa. Pada pertemuan terakhir Kibalu datang terhuyung ke kontrakannya dalam keadaan mabuk, padahal orang itu tak punya catatan keterlibatan dengan alkohol sebelumnya. Hari ini saat suasana mulai tenang dan berita perlahan-lahan memudar. Siklus jurnalisme tak pernah benar-benar membuat sesuatu abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun