Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Versa

28 November 2012   01:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:34 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluar dari masjid setelah menjalani ibadah Jumat, Seda membaca pesan singkat yang masuk dan membuatnya tersenyum dan mengira-ngira. Maka ia menggosok-gosok rambutnya yang ikal semata-mata agar cukup kering untuk dibalut rapat dengan helm bulat yang panas. Purna mengambil dan menaruh beberapa barang di kontrakan lalu mengganjal perut dengan soto Madura berkuah hitam, ia  langsung menuju sebuah kantor majalah lokal yang letaknya belasan kilometer dari kaki selatan Gunung Merapi, di mana Kibalu sudah menunggunya untuk kabar baik.

"Maaf, Pak Kibalu. Tapi ... apakah waktunya pas? Saya merasa bahwa ..."

"Sudahlah, Seda." Kibalu mengunggah senyum  ramah sambil mengangkat telapak tangannya. Di meja itu mereka membincangkan sebuah rencana yang kiranya menghilangkan kesedihan tentang sesuatu yang telah terjadi.

"Yang terjadi biarlah terjadi. Aku sudah merelakan naskah Versa digasak orang. Entah ke mana orang jahat bersembunyi, tapi Tuhan selalu menemukannya. Mungkin, amal baik dibalas amal baik, amal jahat dibalas sebaliknya."

"Vice Versa." Seda berkata begitu saja. Mendengar itu Kibalu tertawa lepas. Sesuatu yang terjadi bolak-balik di dua sisi kadang jadi sinyal baik bagi orang-orang yang berpikir bahwa apapun bisa terjadi bahkan setelah perencanaan matang, dan setiap orang bisa menjadi kebalikan dari apa yang kelihatannya. "Kau paham betul konsep ini, Seda. Itu alasan mengapa sejak awal aku mengamatimu. Kau pemuda yang cerdas."

"Terima kasih, Pak."

Kibalu mengangguk dan lalu balas menyuguhkan secangkir kopi manis untuk Seda. Setelah menghabiskan jatah bincang basa-basi, Kibalu langsung pada inti undangannya.

"Kau bawa naskahmu?"

Seda merogoh tas ranselnya kemudian menaruh bundel kertas tercetak yang jumlahnya pasti di atas seratus halaman. Novel pendek yang mungkin akan bermasalah di standar minimum panjang cerita di meja redaksi. Tapi ia sebagai pengarang tak begitu memikirkan apapun soal naskah ini mau diterima atau tidak. Toh, ia separuh iseng mengarang dan ternyata Kibalu menyukainya. Maka pada seminggu terakhir ia bersemangat untuk merampungkan akhir cerita di mana Markus si tokoh utama akhirnya mengembalikan sebuah nota belanja tua yang menyimpan rahasia kematian seorang menteri di masa lalu. Cerita misteri tak pernah mati pasar, dan Kibalu meyakinkan berkali-kali bahwa sebuah ide harus dirampungkan.

"Seda." Kibalu menaruh bundel kertas itu dan merapatkan dua tangannya di atas meja. Sorot matanya tajam dan alis tebalnya merapat ke tengah. Kepalanya bergerak pelan seakan-akan pikirannya berusah menyusun kata yang tepat.

"Aku minta maaf sudah merepotkanmu selama ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun