Bukan apa-apa, Pak. Presiden sudah menunggu. Kita tiba di sana lima belas menit lagi. Pak, (menyeru ke sopir) ambil jalur paling cepat ya.
3.INT. RUANG RAPAT KABINET – MALAM - LUKMAN, PRESIDEN, KEPALA BIN
Suasana ramai namun tenang. Tak banyak yang berani bilang sesuatu kecuali saling berbisik. Beberapa menteri curi-curi membuka telepon genggam di balik meja. Presiden memasuki ruang rapat dikawal dua ajudannya. Hadirin berdiri, termasuk Lukman yang duduk di meja berlabel KPK. Kepala BIN, seragam perwira polisi, tersenyum kemudian duduk persis di depannya. Hadirin duduk satu detik setelah presiden menyilakan.
Lukman melihat ke arah Kepala BIN. Ada kejengkelan lama yang kembali menyeruak. Perwira tinggi itu senyum membuatnya semakin jengkel.
Sorotan berganti ke wajah presiden. Lemak menyelimuti wajahnya, menonjolkan dua kantung mata yang sama beratnya. Kalimat yang teratur membuka pidato.
PRESIDEN
Sebaiknya langsung saja. Ada ancaman dalam negeri yang mendesak untuk kita selesaikan. Datang begitu cepat, saya ingin kita menyelesaikannya juga dalam waktu cepat.
KEPALA BIN
Pak presiden, mohon maaf.
PRESIDEN
Silakan.
KEPALA BIN
Kami sudah kaji masalah ini, dan statusnya sudah dinaikkan ke level ‘terorisme’.
PRESIDEN
(menghela napas, berpikir.)
Menteri mulai saling pandang. Beberapa berbisik tanpa banyak tahu duduk perkaranya.
LUKMAN
Pak Presiden, Pak Kepala BIN, Maaf. Tapi apa yang kita bicarakan di sini?
Presiden melihat ke arah Ketua KPK itu. Teringat bahwa pejabat satu itu baru saja kembali dari luar negeri setelah kunjungan diplomasi selama satu minggu.
KEPALA BIN
Wah, Anda ini sepertinya terlalu banyak nonton berita ya selama ke luar negeri. Ada situasi krisis yang sangat rahasia di sini. Menyangkut keamanan nasional.
LUKMAN
Oke. Saya sudah terlalu banyak mendengar rahasia di sini. Ada apa sebenarnya?
PRESIDEN
Pak Lukman, saya mengerti posisi Anda. Singkatnya, data rahasia kita telah dibobol.
LUKMAN
Data apa? Seberapa berbahaya?
PRESIDEN