[caption id="attachment_134745" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi (pcwin.com)"][/caption]
"Benar, Pak! Saya dengar sendiri ada suara anak kecil, terus begitu ganti suara perempuan, sama ada suara laki-laki juga. Sumpah demi Tuhan! Suaranya putus-putus tapi itu yang saya dengar...."
Lasmini ditarik ke belakang oleh seorang tentara yang kelelahan. Ia diberi minum dan diseka keringat di mukanya yang masih memerah dan  matanya yang terus berkedip basah. Evakuasi masih berjalan dan di lapangan itu, tak ada keriuhan lain kecuali pecah tangis puluhan kerabat yang menyesalkan lambannya penyelamatan keluarga mereka.
Tangis Lasmini semakin keras dan pecah. Tubuhnya bangkit, lehernya mendongak saat seorang pria paruh baya berbadan besar berjalan ke arahnya sambil membuka topi. Setelah melihat sekeliling dengan diam, pria itu berlutut dan memegang pundak Lasmini. Setelah menarik napas sejenak, ia menatap mata basah Lasmini.
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Mohon maaf. Semua meninggal dunia."
"Tidak mungkin!" Tidak mungkin!" Lasmini lalu menarik kerah baju pria itu sampai satu kancingnya terlempar ke tanah. Beberapa anak buah berusaha memisahkan tapi Kepala Basarnas membiarkan perempuan itu meluapkan amarahnya.
"Pak! Saya dengar sendiri Kamis malam, saya menelepon jam 11, jelang tengah malam dan tersambung. Suaranya putus-putus tapi saya dengar suara anak kecil, lalu suara perempuan, lalu ganti suara laki-laki. Tidak mungkin saya salah dengar, Pak!"
Kepala Basarnas terdiam.
"Kami mengerti, Bu Lasmini. Kami akan bawa semua korban kemari. Setelah itu saya berjanji akan menyelidiki panggilan telepon ibu ke pesawat. Permisi."
Lasmini hanya memukul-mukul rumput saat pejabat itu bangkit lalu pergi.
Marwoto kembali mengenakan topinya lalu dengan dikawal tiga tentara berlari kecil menuju helikopter yang menghempaskan gelombang angin ke sekeliling lapangan itu. Tugasnya sebagai kepala BASARNAS membuat ia harus menyelesaikan tugas teknis, dan meyakinkan fakta kepada semua kerabat korban, sepahit apapun itu. Ia juga manusia, dan ia mengerti mengapa perasaan cinta melampaui masuk akalnya logika kejadian.
Wartawan berhamburan, tapi tak banyak keterangan yang mereka dapatkan kecuali beberapa kata yang diulang, "Semua meninggal. 18 Korban semuanya meninggal." Helikopter lepas landas diikuti pandangan ratusan orang di lapangan itu.
Sebuah panggilan telepon tersambung ke bangkai pesawat Casa 212 yang ditemukan terhempas jatuh di perbukitan Bahorok, Langkat, kamis malam sekitar pukul 23.00, Â 12 jam setelah ditetapkan menghilang. Namun, apa yang ditemukan tim evakuasi dalam perut pesawat itu menepis kemungkinan seseorang telah menjawab panggilan telepon malam itu. Di dalam kabin pesawat dengan langit-langit setinggi kepala itu, semua korban masih tetap di tempat duduknya, meninggal dunia.
"Tidak mungkin panggilan telepon masuk," kata Kapten Thomas yang memimpin operasi evakuasi, sesaat setelah memeriksa seluruh kabin pesawat. "Mereka semua meninggal. Raden! Hubungi posko pusat. Kode negatif. Ulangi, kode negatif," lanjutnya sambil melemparkan telepon satelit ke anak buahnya. Mereka berdua adalah tim pertama yang mencapai kabin pesawat.
Thomas memeriksa tiap-tiap dari 18 korban itu, membawa harapan ujung jarinya masih merasakan detakan nadi atau aliran darah hangat. Tapi nihil. Tak ada suara lain yang didengarnya di rimba itu kecuali puluhan hewan penyengat dan nyamuk yang menyeruak.
***
Marwoto menerawang pohon-pohon di bawahnya dalam diam. Sesaat, ia merasakan keheningan yang mendalam. Pikirnya melayang-layang mendatangkan selusin memori yang pernah ia lalui, lalu tiba-tiba tertumpuk dan tersapu jelas oleh ingatan visualnya beberapa menit lalu saat air mata membasahi muka wanita paruh baya itu, Lasmini. Ia tahu rasanya kehilangan keluarga, ayahnya meninggal dalam pesawat latih yang meledak saat dirinya masih SD. Kejadian yang membanting cita-citanya menjadi tentara.
"Pak...."
"Pak...!" Suara itu menyadarkannya. Kini ia kembali menyadari riuhnya suara baling-baling dan kerasnya terpaan angin yang membuat helikopter itu beberapa kali terbang miring.
"Sambungan dari Crash Site...," kata ajudannya.
Ia membuka penutup telinga lalu merapatkan telepon ke kepalanya. Ia mengangguk lalu berterima kasih atas laporan itu.
"Sulit dipercaya...," bisiknya kemudian.
"Ada apa pak?"
"Tidak apa-apa. Berapa menit lagi?"
"Lima menit, Pak!" kata pilot.
***
Jakarta, 14 hari setelah kejadian....
Ruangan itu nampak suram meski diliputi keramaian di luar pintu-pintunya. Puluhan wartawan menunggu hasil penyidikan forensik.
Marwoto berdiri di hadapan Kapolri, KASAD, dan KASAU, serta Menteri Perhubungan. Ia memberi hormat seketika memasuki ruangan hingga akhirnya menempati kursi yang diletakkan di ruang tengah.
"Pak Kepala," menteri perhubungan langsung memulai evaluasi.
"Apa betul hasil forensik menunjukkan ada panggilan telepon malam itu?"
Marwoto diam sejenak. Ia memanggil kembali memorinya terhadap semua runut penyelidikan forensik oleh timnya. "Tidak ada, Pak." jawabnya kemudian.
"Anda yakin?" tanya KASAD.
Kilatan cahaya fotografi beberapa kali mengintip dari jendela yang dikawal ratusan petugas berseragam.
"Yakin, Pak. Saya bersumpah atas nama kesetiaan saya kepada korps."
"Bersumpahlah demi Tuhan, Pak!" KASAU menghardik. "Ini menyangkut keyakinan manusia. Jangan main-main!"
"Saya bersumpah demi Allah yang saya yakini."
Ketiga pejabat tinggi itu terdiam dan sejenak saling pandang.
"Jadi hasil keputusan, forensik dan KNKT, ini murni kecelakaan ya.... Lalu, panggilan telepon itu.... tidak pernah ada."
"Kasus ditutup. Kami mewakili pemerintah berduka sedalam-dalamnya. Tahap akhir adalah penyelesaian proses asuransi kepada para keluarga. Ini tidak boleh main-main. Saya ingin semuanya dikawal sampai tuntas! Hasil evaluasi ini segera saya sampaikan ke presiden. Terima kasih." Menteri perhubungan menutup evaluasi singkat itu
Marwoto mengangguk satu kali. Ia tak banyak bicara.
***
Sebulan berlalu....
Marwoto berjalan di atas tanah berumput itu, dengan sandal jepit khas kesukaannya. Ia ditemani seorang staf kepercayaannya mencari sebuah rumah. Ia tersenyum saat akhirnya menemukan rumah itu, dan disambut penghuninya dengan senyum ramah.
"Bu Lasmini..."
Ia dipersilakan masuk. Lima anggota keluarga baru rumah itu selalu berkumpul tiap minggu untuk sekadar berbagi sisa kebahagiaan.
"Bu, saya ada oleh-oleh buat Ibu. Semoga cukup buat serumah...."
Pengawalnya lalu mengambil dua dus terikat yang semula ditaruh di luar pintu. Saat dibuka, di dalamnya terdapat puluhan bungkus sembako, beberapa baju, dan paling atas adalah dua lembar sertifikat, dan satu plakat kecil. Suvenir khas BASARNAS itu bertuliskan rasa terima kasih, permohonan maaf, serta pesan-pesan bagi keluarga para korban yang telah diselamatkan.
Lasmini menerima bingkisan itu lalu tersenyum. Ada sesuatu terselip keluar di ujung matanya, tapi ia tersenyum.
"Anak saya pasti damai di sana...."
Marwoto tersenyum. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Ohiya, Bu Lasmini. Ada satu lagi...."
Saat telapak tangan Marwoto terbuka, Lasmini langsung menarik benda itu. Ia memandang mata Marwoto dalam-dalam. Jantungnya berdebar, lalu cepat ia memeriksa barang itu.
"Saya kira kami ataupun pemerintah tak berhak sama sekali mengambil barang-barang milik Ibu. Atau.... melawan hal-hal yang ibu Lasmini yakini."
Telepon genggam berlapis karet warna biru itu kini berada di dalam genggaman Lasmini. Ia memencet-mencet tombolnya, memeriksa bagian yang paling ingin ia ketahui. Telepon masuk.
Lasmini menutup mulutnya, air matanya sontak meleleh, dan Marwoto langsung menahannya ketika ia hampir jatuh dari kursi. "Maafkan saya, Bu."
Lasmini menarik kerah baju pria itu, keluarganya ikut menenangkan. "Saya sudah ikhlas, Pak. Ikhlas."
Marwoto menahan napas. Ia merasakan jantungnya berdegup makin kencang. Pengawalnya melihat suasana itu sambil menunduk terdiam.
Telepon itu terjatuh ke lantai, tak ada yang meraihnya. Apa yang tampil di layar telah menjawab semuanya, tentang siapa yang salah, siapa yang benar, dan apa yang dibenar-benarkan.
Received Calls
29/9/2011 | 23.06
Ibunda
...
*Belasungkawa mendalam atas meninggalnya 18 korban jatuhnya pesawat CASA 212 di Taman Nasional Gunung Leuser, Bahorok, Langkat, Sumatera Utara Kamis pagi 29/9/2011 pukul 09.15 WIB. Basarnas sudah mengupayakan yang terbaik, meski tiap pihak punya penilaian masing-masing untuk memenuhi panggilan batinnya. Di atas semua, tak ada yang lebih mulia daripada mengambil hikmah dari semua misteri.
Tuhan Maha Mengetahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H