"Bu Lasmini..."
Ia dipersilakan masuk. Lima anggota keluarga baru rumah itu selalu berkumpul tiap minggu untuk sekadar berbagi sisa kebahagiaan.
"Bu, saya ada oleh-oleh buat Ibu. Semoga cukup buat serumah...."
Pengawalnya lalu mengambil dua dus terikat yang semula ditaruh di luar pintu. Saat dibuka, di dalamnya terdapat puluhan bungkus sembako, beberapa baju, dan paling atas adalah dua lembar sertifikat, dan satu plakat kecil. Suvenir khas BASARNAS itu bertuliskan rasa terima kasih, permohonan maaf, serta pesan-pesan bagi keluarga para korban yang telah diselamatkan.
Lasmini menerima bingkisan itu lalu tersenyum. Ada sesuatu terselip keluar di ujung matanya, tapi ia tersenyum.
"Anak saya pasti damai di sana...."
Marwoto tersenyum. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Ohiya, Bu Lasmini. Ada satu lagi...."
Saat telapak tangan Marwoto terbuka, Lasmini langsung menarik benda itu. Ia memandang mata Marwoto dalam-dalam. Jantungnya berdebar, lalu cepat ia memeriksa barang itu.
"Saya kira kami ataupun pemerintah tak berhak sama sekali mengambil barang-barang milik Ibu. Atau.... melawan hal-hal yang ibu Lasmini yakini."
Telepon genggam berlapis karet warna biru itu kini berada di dalam genggaman Lasmini. Ia memencet-mencet tombolnya, memeriksa bagian yang paling ingin ia ketahui. Telepon masuk.