Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Panggilan Telepon

3 Oktober 2011   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wartawan berhamburan, tapi tak banyak keterangan yang mereka dapatkan kecuali beberapa kata yang diulang, "Semua meninggal. 18 Korban semuanya meninggal." Helikopter lepas landas diikuti pandangan ratusan orang di lapangan itu.

Sebuah panggilan telepon tersambung ke bangkai pesawat Casa 212 yang ditemukan terhempas jatuh di perbukitan Bahorok, Langkat, kamis malam sekitar pukul 23.00,  12 jam setelah ditetapkan menghilang. Namun, apa yang ditemukan tim evakuasi dalam perut pesawat itu menepis kemungkinan seseorang telah menjawab panggilan telepon malam itu. Di dalam kabin pesawat dengan langit-langit setinggi kepala itu, semua korban masih tetap di tempat duduknya, meninggal dunia.

"Tidak mungkin panggilan telepon masuk," kata Kapten Thomas yang memimpin operasi evakuasi, sesaat setelah memeriksa seluruh kabin pesawat. "Mereka semua meninggal. Raden! Hubungi posko pusat. Kode negatif. Ulangi, kode negatif," lanjutnya sambil melemparkan telepon satelit ke anak buahnya. Mereka berdua adalah tim pertama yang mencapai kabin pesawat.

Thomas memeriksa tiap-tiap dari 18 korban itu, membawa harapan ujung jarinya masih merasakan detakan nadi atau aliran darah hangat. Tapi nihil. Tak ada suara lain yang didengarnya di rimba itu kecuali puluhan hewan penyengat dan nyamuk yang menyeruak.

***

Marwoto menerawang pohon-pohon di bawahnya dalam diam. Sesaat, ia merasakan keheningan yang mendalam. Pikirnya melayang-layang mendatangkan selusin memori yang pernah ia lalui, lalu tiba-tiba tertumpuk dan tersapu jelas oleh ingatan visualnya beberapa menit lalu saat air mata membasahi muka wanita paruh baya itu, Lasmini. Ia tahu rasanya kehilangan keluarga, ayahnya meninggal dalam pesawat latih yang meledak saat dirinya masih SD. Kejadian yang membanting cita-citanya menjadi tentara.

"Pak...."

"Pak...!" Suara itu menyadarkannya. Kini ia kembali menyadari riuhnya suara baling-baling dan kerasnya terpaan angin yang membuat helikopter itu beberapa kali terbang miring.

"Sambungan dari Crash Site...," kata ajudannya.

Ia membuka penutup telinga lalu merapatkan telepon ke kepalanya. Ia mengangguk lalu berterima kasih atas laporan itu.

"Sulit dipercaya...," bisiknya kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun