Odi, Irwan, Zidan, Taro, Ningsih, dan Azikin ikut melirik. Mereka belum berani menggigit roti lapis legit yang sudah terkepal di tangan mereka masing-masing.
"Hm?" Makmun menoleh. "Oh, ini. Iya, tadi Pak Ustaz ngajak saya ke Beringharjo beli ini." Ia tersipu.
"Bagus, Mas. Cocok," sahut Zidan diamini teman-temannya yang lain.
"Ah, kalian bisa aja. Pak Ustaz itu orangnya suka memberi. Kalian tunggu saja, pasti dikasih," imbuh Makmun sambil tersenyum.
"Apa iya? Kita kan bukan siapa-siapanya. Beda dengan Mas Makmun yang jadi anak angkatnya." Ningsih berkomentar ringan. Ia memang jarang berbicara. Teman-temannya mengangguk.
"Insya Allah Pak Ilman orangnya adil. Tidak pandang bulu kalau mau memberi atau bersedekah. Kalian sabar ya."
Tiba-tiba Pak Ilman kembali masuk ke ruang tamu itu.
"Wah... wah... wah.... Sebentar lagi bedug ya," komentarnya singkat. Ia lalu memberi isyarat kepada beberapa perempuan muda yang berada di dapur. Di halaman luar, beberapa tamu baru saja datang dan nampaknya mereka butuh kursi tambahan.
"Baju Mas Makmun bagus kan?" tanya Pak Ilman.
Anak-anak itu terdiam keheranan. Mereka masih penasaran apa maksud pertanyaan itu.
"Andri, Zidan, Irwan, Odi, Taro, Ningsih, Azikin, besok pagi kita ke Beringharjo. Kubelikan kalian pakaian untuk tarawih. Mau kan?"