Azan Maghrib menjelang.
Di ruang tamu dengan kursi empuk dan lukisan kuda itu, Pak Ilman menjamu tamunya yang kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Kelompok Anjal SISAN lebih meriah saling bercanda. Andri berusaha menenangkan teman-temannya yang berebut kursi dan menunjuk gelas-gelas berisi sirup yang sudah tersedia. Makmun tersenyum melihat mereka, sambil membaca berita koran. Pak Ilman, yang merasakan kemeriahan jauh melebihi pengalamannya selama beberapa tahun terakhir, terus sumringah. Kopiahnya masih bertengger menutupi ubannya.
"Sudah... sudah. Kalian semua dapat," katanya kepada anak-anak yang berebut kursi itu.
Makmun membalas senyum. Di arah dapur, beberapa ibu kampung ditemani tiga perempuan muda mengurusi hidangan buka puasa. Memang sudah jadi kebiasaan Pak Ilman mengadakan buka puasa bersama untuk warga Kampung Kotabaru setiap hari pertama Ramadan.
Marzuki dan perempuan muda rekan kerjanya juga hadir, ditemani dua orang staf yang baru kelihatan.
Lantunan Murottal syair-syair Kitab Suci terdengar melalui pengeras suara yang dipasang di salah satu kamar. Lampu kristal sudah menyala lengkap. Makmun yang memutuskan untuk menginap di rumah ini semalam membelikan beberapa bola lampu baru. Sementara itu di halaman luar, dua puluh kursi dibaris saling berhadapan, diisi beberapa pemuka kampung.
Pak Ilman keluar lalu menyalami mereka satu per satu. Lebih tepatnya, menyambut salam jabat tangan mereka yang sontak berdiri begitu tuan rumah muncul dari ambang pintu. Pak Ilman berbincang sejenak.
Di dalam rumah, Andri tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada pemilik rumah. Matanya mengedar seluruh ruangan itu, dari lampu kristal, lukisan kuda, kaligrafi ayat kursi, dan foto sepasang suami-isteri bergamis. Pandangannya lalu berhenti di penampilan Makmun, yang nampak pas dengan setelan baju koko berwarna hijau zamrud dan celana kain berwarna hitam mengkilap.
Andri menggeleng sambil berdecak.
"Baju baru, Mas Makmun?" tanyanya.