Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Kita (2): Latihan Motor

15 Desember 2010   17:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:42 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

(masih) Desember 2008

Sehari setelah lebaran.

Tubuhku lelah hingga kesulitan bangun pagi ini. Pengalaman panjang menikmati hari libur bersamamu kemarin membuatku terbuai dalam mimpi dan pergulatan  otot yang lumayan alot. Buku-buku persendianku lumayan terasa pegal. Walaupun tidak sempat mencicipi daging Qurban, badanku terasa panas di dalam. Untung saja kebiasaan bangun pagi hari ini membuat paru-paru leluasa menangkap udara terbersih pagi ini, dari gang-gang kost Jogja.

Pemandangan atap-atap rumah yang selalu membuatku bersyukur ditempatkan di kamar kost lantai dua ini selalu menjadi hiburan pembuka hariku di pagi hari tatkala belum ada manusia yang tampak selain suara kesibukan Ibu kost dari arah dapur bawah. Burung-burung sudah lebih dulu terbang. Para keluarga ayam apalagi. Tak mau kehilangan rejeki, aku pun memulai hari....

Dalam perjalananku ke kampus hari ini, ada yang tak biasa. Aku selalu ingat kata-kata dan senyuman kamu sepanjang hari kemarin hingga semalam saat kita berpisah di halte bis dekat kostmu. Oh ya, aku teringat bahwa hari ini motor kamu baru saja diantar oleh Ayah kamu dan sudah sampai di Jogja. Kalau kau mengaku belum bisa mengendarai sepeda motor, lalu bagaimana nanti urusan panitianya? Kan harus kemana-mana?

"Ya sudahlah. Yang penting ke kampus dulu." gumamku sambil menikmati sepatu kainku yang kotor terus melangkah membelah debu-debu pagi Jalan Colombo menuju kampus.

***

Di halaman Kopma Kampus, siang hari itu.

"Hey! Andi kamu baru aja dateng po?"

Aku mengenali suara itu.

"Iya nih. Udah datang motornya?" kataku memulai pembicaraan ketika kau tiba-tiba mencegatku di dekat gerbang.

"Iya tuh ada Mba Angga yang bantu bawain tadi dari kost. Ini aku mau ada acara seminar dulu jadi motornya buat sementara dipake dia. Kan ku ama dia barengan di panitiaan dan aku blum bisa bawa motor, jadi gapapa deh."

"Oh gitu", kataku lagi sambil mengangguk.

"Ya udah aku berangkat dulu ya. Udah telat ni ketua panitianya udah ngomel-ngomel."

"oke. Gudlak ya!"

Aku akhirnya melihatmu lagi pagi itu. Aku lebih nyaman daripada hari kemarin. Melihatmu dalam setelah blazer warna gelap dipadu jas alamamater warna terang. Kau kini wanita dewasa yang suka bekerja. Aku tak bisa bayangkan kau sebagai orang lain yang luwes dan terbuka saat curhat tentang masa kecilmu, tentang keluargamu, atau tentang hal-hal lucu di kostmu padaku kemarin.

***

Petang hari itu....

"Ana!?"

"Eh Andi."

"Gimana acaranya? Sukses kan?"

"Lumayan sih. Tapi cuapex."

"Setimpal lah sama hasilnya. Tu co-card kamu jadi bernilai. Bisa dipajang nanti jadi kenangan indah." kataku mencoba mengerti keadaan kamu yang memang kelihatan lelah. Jas Alamamater sudah tidak dipakai lagi, Blazer agak basah karena keringat, dan sepatu lebih kotor daripada saat kau berangkat tadi pagi.

Tiba-tiba perhatianku pada penampilanmu buyar saat kau kembali menyahut.

"Ndi...."

"Eh, ya? Kenapa Na?"

"Aku bingung...."

"Bingung kenapa?" Aku sudah tahu kau pasti bingung karena sedari tadi hanya dudul di bangku ini sambil menatap tanah.

"Aku belum bisa bawa motor nih. Gimana motorku? Masa mau ditinggalin di sini."

"Lho Mba Angga mana?" kataku.

"Itu dia. Tadi sih katanya dia ada ngumpul sama teman-temannya mau nyelesaiin tugas presentasi besok. Aku bilang gapapa. Tahunya aku lupa kalo nggak ada dia aku gak bisa bawa motorku pulang sendiri."

"Aku pernah bisa bawa Motor pas masih di Purwokerto kemarin. Tapi pas jatuh pertama kali, udah. Trauma aku gak mau lagi. Lum berani bawa motor sampe sekarang."

"Ini aja sebenernya aku belum mau dibawain motor ma Ayah. Tapi dianya bilang gapapa lah daripada aku jalan kaki terus Kampus-Kost tiap hari. Takut penyakit pembuluh darah di kakiku kambuh."

Aku kaget. "Hah? Kamu punya penyakit pembuluh darah?"

"Iya. Nih liat."

Aku baru percaya hal itu saat benar-benar melihat langsung bekas operasi di telapak kakimu itu. Walaupun secara keseluruhan kakimu masih indah. Aku tahu rasanya punya penyakit yang sisanya berbekas seperti itu.

Aku kemudian berusaha mencari solusi.

"Mmm.... Gini aja."

Kau menoleh menatapku.

"Ini kan udah Maghrib tuh."

"Kita salat dulu, nanti abis ini aku ajarin deh kamu bawa motornya. Biar bisa bawa pulang sendiri nanti."

"Beneran? Tapi aku masih takut."

"Udah gapapa. Kamu percaya aja sama aku. Bisa?"

"Oh ya udah deh gapapa. Bisa." Akhirnya kamu mulai tersenyum lagi.

(salat berjamaah bersama teman-teman lain)

***

"Udah, gini, yap." "Pegang setangnya. Jangan gemetar. Rileks aja."

"Kok dini sih Ndi. Harusnya kamu dulu yang di depan. Masa langsung aku yang di depan?"

Aku paham ketakutanmu sebagai cewek yang khawatir ini-itu. Tapi ini kesempatan bagus karena malam ini kita sama-sama tidak sibuk dan besok belum tentu sempat.

"Udah tenang aja. Kakiku panjang kok jadi kalo nanti motornya oleng, aku yang nahan biar kita nggak jatuh."

"Aduh aku bisa nggak ya?"

"Bisa :)" " Bismillah."

Aku senang mendengarmu tertawa, entah menertawakan diri sendiri atau justru kekonyolan kita berdua.

Dua mahasiswa tahun kedua dengan motor matic yang melaju sempoyongan mengelilingi taman utama kampus di gelap malam ba'da Maghrib.

Banyak orang yang melirik, tapi aku yakin mereka mengerti. Ini bukanlah pengalaman pertama bagi mereka melihat orang latihan mengendarai motor.

Sejauh ini latihannya lancar. Matic emang banyak membantu karena tidak perlu perpindahan gigi. Dasar pola pikirmu yang memang sangat exact membautmu lebih jeli melihat urut-urutan tindakan biar motornya tetap melaju stabil. Kita aman. Bahkan kakiku sudah tidak lagi terseret di aspal seperti beberapa menit yang lalu. Mulai kurasakan angin berhembus memasuki celah-celah samping helmku. Bersiul di telinga menyampaikan kesepiannya melihat kita berboncengan sambil tertawa-tawa.

"Yeeeaaa... Aku bisaaa.... Heuh. ternyata segini aja. Gampang." kau mulai sesumbar padahal baru mengelilingi taman dua kali. Itupun belum ada kendaraan lain yang lalu lalang di situ.

"Yakin bisa? Kalo gitu yuk keluar. Kita ke jalan gede."

"Hwaah?? Nggak deh. Jangan malam ini lah Ndi."

"Emang motornya ditaruh di sini aja po? Nggak dibawa pulang?"

"Ya.... itu sih..."

"Yuk. Gapapa. Ada aku :)", upayaku meyakinkan sambil menepuk-nepuk paha dengan maksud menyampaikan pesan bahwa kakiku masih setia menopang laju motor nanti.

"Walaupun pegelnya masih terasa...." gumamku dalam hati lalu kemudian hilang begitu saja tersapu rasa semangat yang sedang panas-panasnya.

Bisa ditebak, malam itu kita gila-gilaan dalam arti yang sebenarnya ala muda-mudi.

Kamu sudah  bisa melaju di jalan raya; sesekali berteriak cempreng saat kendaaraan lain menyalip atau mobil di belakang membunyikan klakson.

Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi kalau bukan malam ini bisanya, kau bisa saja kehilangan kesempatan latihan mengendarai motor kamu sendiri.

Aku bisa merasakan pundak kamu masih sedikit bergetar di telapak tanganku. Aku tahu kakimu juga masih tegang dan tak beranjak dari pijakannya di bawah sana. Kepalamu masih setia fokus di depan dan belum berani menanggapiku jika aku mengajakmu berbicara.

Aku merasakan bahwa saat ini seakan-akan hanya ada kau sendirian mengendarai motor, dalam keadaan yang bebas sekaligus menguasai medan, dan kau menuju ke tujuanmu sendiri, entah akan kemana malam ini. Kau sudah bisa, Na.

Lalu...

[Plok...!] "Duh kok dijitak sih helmku?" kau bereaksi.

"Jangan di tengah jalannya!" "Ke kiri dikit!"

"Iya... iya Pak guru."

"Makanya. Kamu harus dengerin pelatihmu ini. Kalo kamu sendirian bawa motornya gimana tadi? Bisa-bisa diklakson mulu, kamu cuma bisa teriak, tapi gak bisa ngerem motornya. Bahaya kan?"

Cahaya lampu toko-toko yang berjejer di pinggir jalan bagaikan siluet-siluet pelangi yang lewat sekelbat membuatku tambah merasakan dingin dan riuh rendah malam ini. Di atas motor ini, aku merasa hanya ada aku dan kau, dan motor ini.

Lalu suasana diam sesaat....

"Ndi...."

"Ya Na?"

"Aku dulu sering dibawain pelatih motor lho sama Ayah."

"Oh ya? Trus kenapa belum bisa bawa motor?"

"Itulah Ndi. Udah banyak pelatih motor yang disewa mahal-mahal cuma buat ngelatih aku, mereka nggak satupun ngerti aku. Mereka cuma bisa marah-marah kalo aku salah gerak atau salah jalur atau salah pencet klakson, trus abis itu mereka ngambek kalo giliran aku yang marahin mereka.

Kan ayahku yang bayar mereka? Kok malah aku yang dimarahin mereka?"

"Makanya aku udah nggak mau lagi latihan motor ama orang."

"Tapi sekarang latihan sama kamu rasanya lain, Ndi."

"Kamu ngerti perasaanku. Kamu memotivasi aku, tapi dengan cara yang aku ngerti. Aku nggak marah walaupun kamu mau mukul helmku berapa kalipun. Karena aku tau kamu ada buat ngelindungin aku. Dan aku tau kamu nggak bakalan biarin aku pulang sendirian dalam keadaan nggak bisa bawa motor."

"Aku malah pengen abis ini kalo aku naik motor bareng kamu, kamu ngingetin aku terus. Aku juga heran kenapa malam ini aku bisa langsung mandiri bawa motornya. Menurutku ini tu ajaib, Ndi."

Aku berusaha menyusun satu kata demi satu kata semua yang kamu ungkapin barusan.

Aku berusaha menyelami lebih dalam pikiran dan perasaanmu.

Tidak mudah memang menjadi kau setelah mendengar kisah-kisahmu.

"Yaa.... aku mukul helm kamu tadi karena pas aku dilatih motor ama sepupu aku dulu, aku juga digituin. Maaf ya kalo kesannya kasar."

"Gapapa kok. Aku seneng. Aku udah bisa pake motor."

Lalu suasana kembali tenang....

"Makasih ya Ndi."

"Sama-sama."

Malam itu kembali angin membawa kita ke dalam kedamaian pertemanan yang indah. Lantunan irama musik yang berganti-ganti seiring laju kita yang pindah dari tempat satu ke tempat lain, menyusuri jalan luas satu dan yang lain, tak terasa kita pun sudah mengitari hampir setengah kota ini.

Kau resmi sudah bisa bawa motor sendiri.

***

"Kamu udah mau pulang?" katamu menyapa saat kita di depan kostmu.

"Iya. Udah malam. Besok harus masuk pagi."

"Jalan kaki?"

"Seperti biasanya :)"

"...."

"...."

"....eeemm..."

"kenapa?"

"gapapa. Makasih ya buat malam ini, Aku seneng banget."

"Iyah santai aja. Aku juga seneng kok. Dapat pengalaman melatih murid mengendarai motor."

Kau tersenyum...,

"Kamu tu murid pertamaku lho. Kamu orang pertama yang aku latih bawa motor secara resmi."

"Hehe.... Kapan-kapan kamu buka kursus setir motor aja."

"Hahaha.... Bisa aja."

"Ya udah deh aku mau masuk dulu. Nanti motornya biar penjaga kost yang masukin. Kamu hati-hati ya!"

"Okey. Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam."

***

Malam itu aku kembali merangkai dan merunut kejadian yang kualami dua hari belakangan.

"Ah, disimpan sebagai doa pengantar tidur aja lah nanti. Capek banget ini. Istirahat dulu."

Paling tidak kekhawatiranku sedikit berkurang. Aku tahu besok pagi kau sudah ke kampus dengan nyaman, mengendarai motor kamu sendiri, dengan keahlian baru yang kita pelajari semalam.

Kamu pasti bisa, Na.

...

[kisah sebelumnya]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun