Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Botol Susu di Pinggir Jalan (1)

12 Juni 2010   17:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari minggu sore ini terasa adem-adem saja. Di jalanan luas beraspal ini pemandangan biasa kembali terulang setelah kemarin. Kabel-kabel di tiang listrik bermandikan butiran air yang baru saja mengalir sejam yang lalu, aspal nampak hitam dan mengkilap, di atasnya berserakan dan bercampuran daun, sisa kertas, dan beberapa bentuk kecil besi kendaraan yang berjatuhan, semuanya berserakan dan basah menggelinding di sekitar kaki-kaki lusuh pekerja jalan. Di jalan lebar yang dibelah dua dengan beton ini, pemandangan seperti ini biasa saja setiap hari, Toko-toko terbuka lebar dengan jendela kacanya yang lebar, beberapa motor terparkir di depannya walaupun nampak di dalam tokonya hanya ada seorang karyawan yang dengan cuek menikmati tayangan infotainment, keramaian lalu lintas hari minggu ini hampir sama dengan pekan lalu.

Di persimpangan Jalan Kaliurang Yogyakarta ini selalu ramai karena merupakan akses penghubung jalan protokol dengan jalan keluar kota mengarah ke Gunung Merapi di utara. Aktivitas orang berangkat-pulang kerja, pedagang keliling yang bergantian hilir-mudik mendorong gerobak dagangannya, dan pos polisi yang tak pernah kosong di salah satu sudut jalan menghadap ke utara.

Yang terdengar hari ini juga tidak ada yang spesial, setidaknya mungkin belum. Riuh lalu lalang kotak-kotak besi beroda, ada juga truk gandeng yang kalau berhenti karena lampu merah menyebabkan aspal jalanan di sekitar situ semakin bergelombang saja. Maka genangan airlah yang terlihat.

Ini adalah salah satu persimpangan jalan terbesar dan paling ramai di kota Yogyakarta. Dengan berbagai alasan logis itulah mengapa anak-anak jalanan, gepeng, pengemis, pengamen, apapunlah istilahnya, menganggap bahwa persimpangan ini akan selalu membawa berkah. Bagi mereka ini adalah ladang emas. Jadi tidak mengherankan jika setiap hari tidak terkecuali saat ini, berturut-turutlah kita bisa melihat dan menghitung lebih dari 10 orang, dari anak-anak hingga nenek-nenek, mengadu nasib mereka sebagai pengemis di perempatan ini. Dari kejauhan kalau menghadap ke utara mereka ini bagaikan barisan choir yang siap bernyanyi dalam waktu yang bersamaan. Mereka punya lagu sendiri-sendiri. Ada yang mengumandangkan merek-merek dagang dan harga, ada yang menyanyikan lagu belas kasihan, ada pula yang melirikkan seorang bayi kepada setiap sopir yang terpaksa berhenti oleh lampu merah.

Salah satu pekerja paling ulet di perempatan Jakal ini adalah seorang wanita setengah baya, kulitnya yang gelap kecoklatan sudah terlalu basah dan kotor ketika dibalut dengan hem lengan panjang yang lebih mirip pakaian laki-laki. Dari sisi leher kanan hingga ke pinggul kirinya terlilit jarik, kain panjang yang melingkar dan mengembang di bagian depan perutnya. Kain yang mengambang di depan itu lebih mirip cekungan pakaian atau mungkin alat musik Sasando Rote yang terkenal itu. Betapa tidak, di dalam kawah kain itu menyembul sesosok bayi laki-laki berkulit putih, berbadan gemuk, dan nampak lucu dengan topi kerucutnya berbahan beludru. Bajunya juga berbahan hampir sama dengan topinya, berwarna cerah kebiruan dipadukan dengan celana dalam kusam berwarna kuning. Tepat di depan dadanya tangan bayi itu menggenggam sebuah botol susu berwarna transparan namun sudah agak kekuningan.  Nampaknya susu inilah yang membuat sang bayi tertidur, nampak di botol tinggal tersisa separuh susunya. Salah satu tangan bayi itu pun sudah jatuh ke samping badannya.

Tenang sekali nampaknya bayi itu terlelap hingga beberapa pengguna jalan yang berhenti di situ sempat mengangkat alis saat melihatnya. Ada juga seorang remaja perempuan yang sampai-sampai menggigit bibir bawahnya tanda gemas hingga melambai-lambai. Sedangkan pengendara laki-laki yang memboncengnya sampai-sampai bertanya "Ada apa sich?".Dari kejauhan sang nenek ini terlihat sebagai seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya, karena tangan kirinya selalu memegangi kain di bagian bokong bayinya sementara tangan kanannya menjulur kemana-mana menggenggam gelas plastik bekasi air mineral.

Namun suasana damai itu tidak berlangsung lama.

Jauh di belakang arah pijakan kaki sang nenek yang menggendong bayi itu terdengar suara yang memekikkan telinga. Dari arah selatan tiba-tiba nampak sebuah mobil melaju mendekat. Semakin mendekat dan menyalip kendaraan di depannya satu persatu. Klakson terdengar berbalasan entah yang mana berasal dari mobil berwarna merah, beroda besar, dan menyilaukan mata dengan lampu terangnya itu. Adalah biasa jika kendaraan menyalakan lampu sepenuhnya karena memang hari ini hujan deras baru saja reda.

Kotak besi merah itu semakin dekat ke arah perempatan dari arah selatan.  Suara mesinnya yang parau mulai terdengar dan semakin nyaring. Jelas sekali bahwa mobil ini sengaja dipacu dengan kencang entah karena apa. Semakin cepat saja kendaraan itu melaju saat lampu berganti dari merah ke hijau. Klakson-klakson kembali bersahutan, besar kecil, bermacam-macam variasi suara. Keadaan mulai kacau karena kendaraan berlomba-lomba menerobos persimpangan ini ke tiga arah yang berbeda. Sekitar 15 meter menjelang padatnya kendaraan di pusat persimpangan, terlihat lampu kedap-kedip berwarna kekuningan terpancar dari sudut kanan mobil merah yang meluncur bagaikan mengalami rem blong itu. Ia hendak belok kanan ke arah timur.

Sementara itu, di tengah persimpangan nenek pengemis pembawa bayi itu berjalan menunduk sambil merapikan lembaran-lembaran uang seribuan yang menyembul di tepian gelas plastiknya. Ia belum menyadari sesuatu sedang terjadi. Ia tidak tahu apa yang akan menimpanya kemudian. Ia pun berjalan lamban, melewati kendaraan satu persatu, menyeberang, dan bermaksud kembali ke tempat tunggunya di pembatas jalan yang kokoh setinggi sekitar 25 cm tepat membelah Jalan Kaliurang.

"Wooooiii... nenek tuaa.... minggir.....", tiba-tiba seseorang dari arah pinggir jalan seberang terdengar dengan ketakutan berteriak kepada sang nenek.

Merasa ada yang tidak beres, Nenek pengemis yang membawa bayi tersebut mengangkat kepalanya. Ia kaget bukan kepalang karena melihat kini di depan matanya mendekat sebuah mobil merah berukuran lebih besar dari mobil kota biasanya mendekat dalam kecepatan tinggi menuju tempatnya berdiri.

Dari arah mobil merah tadi klakson tak henti-hentinya bersuara bagaikan sengaja dipencet agar siapapun yang menghalangi jalannya segera menyingkir.

Sang nenek dengan sekuat tenaga berlari, berusaha mengejar dan pindah ke atas pembatas jalan yang berjarak tinggal 2 meter di depannya kini. Ia harus cepat, atau ia dan bayinya bisa celaka.

"Masya Allah....", nenek itu sontak berteriak.

Sementara itu orang-orang di pinggir jalan sudah ikut-ikutan berteriak spontan. Beberapa penjaga toko bahkan berteriak histeris tanda kekhawatiran akan terjadi sesuatu.

Dari salah satu sisi jalan ini nampak semuanya terasa lama dan berjalan lambat, hingga akhirnya mobil merah yang dari semping ternyata adalah sebuah mobil bak terbuka itu melewati lampu hijau dan memotong persimpangan mengarah ke timur.

Semua mata orang-orang di sekitar situ kini sontak kembali ke jalan yang baru saja dilalui mobil itu. Benar saja, di sana terbaring lemas seorang nenek tua di atas aspal yang basah. Ia tersambar mobil tadi.

Orang-orang di sekitar situ berlarian ke arah tempat nenek itu terbaring. Salah satu dari mereka berusaha mengalihkan alur kendaraan, sambil memberitahukan dengan singkat kejadian apa yang terjadi kepada beberapa pengendara yang bertanya. Sementara itu seorang berseragam polisi mendekat dari arah pos polisi di seberang jalan yang satunya. "Bak terbuka Mitsubishi merah, AB 2431 PE", ia kemudian berbicara dengan temannya di seberang jalan melalui walkie talkie setelah beberapa saat sebelumnya menengok ke arah belakang mobil merah tadi.

Dari seberang jalan kemudian terdengar suara sirine yang semakin nyaring. Nampak sebuah mobil polisi berwarna putih bergaris warna biru dan merah kini memasuki jalan lingkar mengikuti mobil pelaku itu.

Nenek pengemis tadi pingsan. Uang kertas seribuan terhambur di sampingnya ditemani beberapa koin logam berwarna perak. Sedangkan bayinya menangis tidak karuan. Sedikit lebam nampak di bagian kepala depan bayi itu. Botol susu itupun terjatuh entah kemana.

Hujan gerimis yang kembali mengguyur itu membasahi kain jarik bermotif batik yang sedari tadi menempel di tubuh nenek malang itu.

Atas inisiatif petugas polisi yang baru saja tiba, orang-orang yang sejak tadi berkerumun akhirnya berinisiatif memindahkan korban ke pos polisi. Seorang perempuan muda penjaga toko yang tadi sebelumnya menikmati acara infotainment di tokonya kini nampak menggendong bayi malang yang sebelumnya dipisahkan dari kain di tubuh nenek itu.

Nenek itu digotong beramai-ramai menyeberangi persimpangan jalan menuju pos polisi. Tak urung ini jadi pemandangan yang tak biasa di sore hari minggu libur ini. Di bawah guyuran hujan bulan Mei, seorang nenek dan bayinya menjadi korban tabrak lari.

***

Sementara itu di sepanjang jalan Ringroad Utara menuju arah timur sudah bersahutan suara sirine mobil HIGHWAT PATROL yang melaju kencang di belakang sebuah mobil pikap merah. Nampaknya mobil merah itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah dan berhenti. Rodanya yang besar membuatnya melaju lebih kencang daripada mobil polisi yang berjenis sedan. Bahkan percikan-percikan air yang diakibatkan rodanya itu tak jarang mengenai pengendara roda dua yang melaju di jalur lambat pada sisi kirinya.

""Sabar ya sayang, sebentar lagi kita sampai." seorang pemuda di belakang kemudi mobil yang melaju kencang itu berusaha menenangkan orang yang di sampingnya. Orang di sampinya ini adalah seorang perempuan muda yang nampak kesakitan. Ia merintih terus hingga tidak bisa berkata satu kata pun. Kedua tangannya terus memegangi perutnya yang besar dan terbalut baju berbahan tipis mirip pakaian tidur itu. Sesekali ia berusaha menggapai tangan suaminya di belakang stir. Namun di pikiran suaminya, apapun yang terjadi, mereka harus tiba di RS secepat mungkin, atau istri dan calon bayinya celaka. Ia pun tidak memperdulikan apapun di depannya, sembari terus menekan-nekan klakson mobilnya yang berlogo belah ketupat susun tiga.

"Papa.... sakiiiiiiiiiiiiiiitt....", kembali istrinya berteriak. Ia merasa semakin tersiksa karena gaya yang ditimbulkan oleh mobil yang melaju kencang. Di pahanya kini mengalir cairan bening kekuningan yang membasahi hingga ke jok berbahan kulit di situ.

"Ya sayang kamu yang kuat yah.... Aku ada di sini.", sang suami berusaha menguatakan sambil terus berkonsentrasi menerobos barisan kendaraan di atas aspal yang basah ini. Wiper penghalau air yang bergerak bolak balik di kaca depan mobilnya malah membuatnya pusing dan semakin melaju.

"PERHATIAN, ANDA DI KENDARAAN PIKAP MERAH AB 2341 PE. HARAP MENEPI. INI PERINTAH.", nampaknya beberapa petugas polisi dalam mobil pengejar bersirine itu seudah mulai hilang kesabaran.

Nampaknya tersangka kali ini mulai tidak memikirkan apa-apa selain harus sampai di tempat tujuannya secepat mungkin. Sang suami pengendara nekat ini pun yakin bahwa ia akan bisa membawa istrinya ke Jogja International Hospital yang jaraknya tidak sampai 2 kilomter lagi di depan mereka. Keringat mulai menetes dari atas dahinya. Giginya terkatup rapat. Keringatnya bahkan hampir sama derasnya dengan istrinya yang sedari tadi meraung-raung kesakitan.

Sang suami semakin panik saat melihat di cermin kanannya. Nampak olehnya bayangan setidaknya tiga mobil polisi berjenis sedan dan satu berjenis sama dengan mobilnya. Bahkan mobil polisi kap terbuka ini melaju lebih kencang hingga akhirnya bisa sejajar di sebelah kanan mobil Mitsubishi merah pasangan muda itu.

Seorang polisi setengah baya berseragam lengkap melambai-lambaikan tangan dari balik jendela kaca yang basah di samping ia duduk sekarang. Mulut polisi itupun komat-kamit namun tidak terdengar sama sekali olehnya.

Ia terus melihat ke arah samping dan bergantian ke arah belakang. Keadaan ini yang membuatnya merasa semakin panik dan terpojok. Ia lengah...

Braakkkk.... Ia tersontak kaget. Kepalanya terbentur kemudi mobil saat menyadari bahwa mobilnya menabrak bamper kendaraan Jazz di depannya. Ia masih sadar, namun ia tak kuasa menahan rasa kaget hingga akhirnya kakinya mengendur. Mobil perlahan-lahan melambat....

Entah dalam posisi sadar atau pingsan, ia melihat istrinya di samping kirinya merintih, pandangannya kabur, ia bahkan tidak bisa melihat kaca depan dengan jelas.

"Paa...paaaa....", ia sampat mendengar dengan lirih panggilan itu. Namun semua ini hanya sesaat, ia harus mengantarkan istri dan anak pertamanya dengan selamat.

"MENEPI. SILAKAN MENEPI....", kembali suara terdengar dari speaker yang terpasang khusus di atas mobil sedan yang dikendarai polisi.

"Anakku....", pemuda di dalam mobil menggerakkan bibirnya.

[bersambung...]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun