Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Teman Perjalanan

6 Maret 2015   18:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



HUJAN TURUN dengan lebat. Harry San Gumay keluar dari jalan, menuju warung kecil dengan atap seng yang rendah, tempat beberapa makanan kecil dan kopi instan dijual. Ia taruh tas carrier begitu saja di bangku bambu agar terhindarbdari aliran air. Pedagang warung itu seorang perempuan paruh baya yang menghadap ke dalam dan bukannya ke luar, lebih asyik dengan tayangan Akademi Dangdut dan karena tahu orang-orang belum akan memesan minuman hangat apapun di jelang magrib begini.


Jalur pendakian --- menawarkan perjalanan empat tahap yang panjang, sejak dari Bandara Internasional Lombok sampai danau Segara Anak di kawah puncak. Harry, yang meninggalkan kantornya untuk sebuah “pelarian yang menyenangkan”, tidak mengira bahwa dirinya mengambil jadwal yang salah, dan musim pendakian sedang sepi. Rinjani biasanya padat antara April hingga Agustus, di mana orang-orang memanfaatkan pergantian musim hujan ke awal kemarau, peringatan Hari Kemerdekaan, sampai jatah cuti tujuh hari penuh setelah Gaji ke-tigabelas bagi pegawai negeri sipil.
Di magrib Februari yang dingin, di bawah warung itu, Harry mengumpat pada dirinya sendiri. Menertawakan kebodohannya karena berusaha menantang waktu dengan pikiran bahwa selepas Natal dan di musim Imlek, di Thailand, Tiongkok dan Kamboja justru merupakan puncak musim liburan.

“Musimnya salah, Mas.”
Sesosok bungkuk meandekat persis di belakang. Harry terkejut seperti diselimuti hawa aneh saat menyadari di belakangnya sudah berdiri perempuan penjaga warung. Ia lalu terkekeh dan menceritakan betapa bodohnya ia nekat datang di musim hujan.
“Tidak apa-apa sebetulnya,” timpal penjaga warung. “Risikonya ya paling hujan dan dingin. Hawanya bisa turun di bawah duapuluh derajat.”

Harry mengangguk setuju. Tidak cuma mengingat ia sudah melewati satu pos—yang berarti setidaknya ia sudah berada di paha gunung—, tetapi juga merasakan hawa dingin merajamnya seperti ratusan jarum yang menusuk di sekujur tubuh. Udara dingin semakin menjadi karena hujan membawa sisa angin barat yang merangkak naik. Di kejauhan nampak pinus-pinus berayun dan berusaha menyeimbangkan tangkai-tangkainya. Pemandangan yang tidak seperti di buklet wisata, pikir Harry.

“Mas ada yang hilang ya, barangnya?”
“Apa?”
“Iya. Kehilangan sesuatu? ada yang jatuh atau ketinggalan?” Pedagang itu bertanya sembari menyodorkan segelas air hangat yang meruap-ruap.
“Oh....” Harry mengiyakan. “Kompas saya. Sepertinya terjatuh.”
Gerakannya pasti terlalu mencolok karena beberapa menit terakhir memang ia merogoh-rogoh tasnya dan tidak menemukan kompasnya.
“Mahal tidak?”
“Mhm?”
“Kompasnya.”
Kompas itu, bentuknya standar dengan jarum utara terbuat dari seng yang dipoles, cukup murah dibeli di bandara, terakhir ia gunakan sebelum memasuki pos pendakian satu. Perkiraannya, kompas itu jatuh saat ia membongkar isi tasnya kala beristirahat dekat telaga kecil di bawah sana, sekitar tiga jam yang lalu. “Bukan masalah, Bu.” Harry mengutarakan terima kasih atas perhatian kecil, namun berkata bahwa mungkin memang takdirnya barang kecil itu hilang. menit-menit berikutnya Harry lalu bercerita bahwa ini pendakian solo pertamanya, dan ia lebih banyak mempelajari jalur lewat tulisan-tulisan blog.

“Komputer....” Perempuan pedagang itu menerawang keluar, seperti mengenang. “Internet, sekarang orang bilang. Gampang sekali. Mereka membaca di kota, membuka hape, sudah langsung tahu bagaimana caranya ke Rinjani. Instan, gampang. tidak perlu pemandu, tidak perlu banyak waktu. Saya pernah dicerita, seorang pendaki juga, dua atau tiga tahun lalu, datang kemari, persis di kursi yang Mas duduki ini, dua orang Perancis. Sepertinya sedang bulan madu mereka, masih muda-muda, ceria betul. Saya coba-coba pakai bahasa Inggris dan mereka cekikikan setiap saya bertanya 'where from?'...'what to drink?' Mereka cerita kalau mereka dengar Gunung Rinjani cuma dari seorang teman kantornya yang menyeletuk di rumah sakit—waktu itu mereka menjenguk, temannya itu sepertinya kena Flu burung atau apa, dirawat di Mersil....”
“Marseille?”
“Iya itu. Wah susah sekali nama kotanya. Merseil. Sekeluar dari kamar rawat itu, saat itu juga, mereka buka hapenya, terus katanya ketemy berita tentang Rinjani. Terus mereka apa itu...kepincut. jatuh hati begitu. yang istrinya bilang, dia kepingin setelah mereka nikah—waktu itu mereka masih tunangan—kepingin bulan madunya ke Lombok. Mungkin Bali sudah padat dan kotor mungkin ya. Lalu si suami ini setuju. Tapi kemudian nawarkan ke istrinya 'bagaimana kalau ke Tambora?' Tapi istrinya tetap kepinginnya ke Rinjani.

“Mereka cerita itu senang sekali ke saya. Persis duduknya di tempat Mas duduk itu. Minumnya coffimix. Mereka lalu beli batu tiga akik atau apa gitu...di puncak di atas, endak tahu siapa yang jual. Tapi lalu sepulangnya mendaki, mampir ke mari lagi. Satu batunya dikasih ke saya. Mereka bilang jatuh cinta dengan Rinjani. Tahun-tahun selepasnya, tambah banyak tauris bule datang kemari. beda dengan pendaki-pendaki dalam negeri, mereka bersih-bersih, bawaannya lengkap, tidak pernah menyampah. Rapi sekali. Sekarang, gunung jadi tempat orang datang. Berdoa, pacaran, cari kekayaan. Tapi saya senang. Apalah internet...bisa bawa orang ke surga mungkin ya, ke gunung yang jauh saja bisa.”

Bukan hal yang mengejutkan bagi Harry mendengar cerita itu. Tingkat kunjungan wisatawan ke Lombok dan Nusa Tenggara Timur meningkat drastis sejak tragedi Bom Bali. Apalagi sejak tenun Manggarai dijual pemerintah sampai ke PBB. Indonesia mulai meningkatkan kapasitas wisata sampai ke bagian selatan dan timur. Akan tetapi peralihan bahasan dari kompas, sepasang Perancis sampai ke manfaat internet mengalihkan perhatiannya dari tiga orang lebih muda yang ikut bernaung di dekatnya. Ketiga pendaki ini, yang tampilannya lebih sederhana—satunya bahkan hanya mengenakan celana pendek dan kaus berlilit kain—berteduh sekaligus melepaskan lelah. mereka tampak telah melewati perjalanan yang lebih jauh dan lebih menyakitkan, sampai-sampai mereka membuka sepatu dan memeriksa apakah kaki-kakinya masih utuh atau lecet di sana-sini. Harry menyanjung kekuatan mereka, terlebih karena dalam kedinginan yang canggung mereka bertahan untuk tidak menyapa orang-orang yang di sekitarnya.

Perjalanan berlanjut pukul sepuluh malam saat langit nampak keperakan dan kabut mulai menjauh. Dari perempuan penjaga warung Harry membekali dirinya dengan air panas yang diisikan ke tumblr-nya, dua bungkus biskuit, tiga butir telur matang, empat mi instan beserta lima ketupat daun pandan. Pendakiannya melewati Pos Sembalun III, checkpoint ketiga. Harry salut dengan kesolidan sekelompok tiga orang yang melewatinya tanpa sedikitpun menyapa. “Bukankah pendakian adalah ajang sosialisasi, terutama perihal survival?” Tapi mungkin tidak semua cerita langgam benar adanya. Tanpa teman seperjalanan, Harry terus mengikuti jalur yang melewati tiga kampung sunyi, dua sumur yang ia singgahi untuk sekadar meneguk air segar dan atau duduk bersandar, satu telaga kecil di balik belukar, dan sebuah tenda lengkung yang bergoyang-goyang di kejauhan. Cahaya lampunya seredup mungkin. Ia bertanya-tanya apakah suara erangan dan rintihan samar itu datang dari sumber yang sama. Pukul dua pagi, mereka berkelok timur laut melewati bibir danau Segara, di mana sampah makanan instan berserakan seperti sisa perang.

Di penanjakan terakhir ini, dalam balutan lelah yang meradang dari tumit, engkel, paha hingga tengkuknya, Harry lagi-lagi menyerah pada lelah. Ia coba gelar tikar plastik dan lalu menyalakan cahaya. Mungkin seteguk air hangat dan dua butir telur akan membantunya mengembalikan tenaga. Tetapi bagian belakang gunung itu begitu gelap, cahaya bulan terlalu jauh, dan sepertinya karena itu jalur ini jarang dilewati setelah matahari terbenam. Saat coba merogoh pasokan makanannya, Harry mendapati tangannya basah, dan langsung saja ia sadari bahwa termos airnya tidak tertutup sempurna, merendam bahan makanan itu dengan air hangat di dasar tas. Sialnya lagi, senter plastiknya juga tergeletak jauh di bawah sana. Genangan air merangsek sampai ke bohlamnya. Digoncang-goncangnya senter itu, tapi cahayanya tidak muncul. Rusak.

Harry mencoba menelan makannya. Di atas ketinggian dan udara dingin yang mencekat, tidak ada makanan yang benar-benar hangat. Minuman mendingin dengan segera begitu botol dibuka, uapnya menghambur begitu saja. Duduk bersandar pohon Harry doba melihat sekeliling. Di kejauhan jalan di bawah sana, setitik cahaya bergerak-gerak, setinggi perut dan kian mendekat. Seseorang akan lewat, yakin Harry. Akan tetapi baru saja ia coba memanggil dan berteriak, cahaya itu berbelok ke tenggara kemudian menjauh. Ia coba berteriak lagi, cahaya itu berhenti. Jaraknya pasti lebih dari dua kilometer karena Harry menghitung jarak respon berhenti itu dengan teriakannya barusan hampir tiga detik. Cahaya itu seperti menyorot sekeliling, mencari sumber teriakan. Danau membatasi keduanya. Tanpa cahaya apapun, Harry tidak tahu harus memberi kode apa. “Aku harus mencari rekan seperjalanan, jika tidak ingin kedinginan sendirian.” Harry berteriak lagi, dan cahaya di seberang danau itu mulai kebingungan. Harry nyaris berteriak senang saat cahaya itu nampak akan berbelok, tetapi lalu harapannya buyar. Cahaya itu melanjutkan perjalannya, menjauh ke timur, sebelum menghilang di balik bayangan besar punggug gunung.

Pukul lima tigapuluh pagi, fajar menyingsing. Cahaya keemasannya perlahan-lahan menyapu pergi mega merah yang menegelilingi matahari sebagai memesraan gelap malam lalu. Udara menyeruak sejuk dan kabut perlahan-lahan kelihatan di pungguk lembah pasir di kejauhan. Dari ketinggian ini, lautan Hindia tampak seperti surgawi bahari yang jauh dan gelap, bertukar cahaya dengan langit yang kebiruan dan kelam. Awan serupa kanopi kapas yang tak berbatas. Harry menghela napas panjang, dan sebagaimana tradisi orang-orang penakluk puncak, ia berteriak lantang. Tanpa kata tertentu, tanpa bunyi konsonan tertentu. Hanya berteriak panjang dengan mulut yang terbuka lebar. Sesaat setelah mengatupkan mulutnya yang kering, Harry mendengar teriak-teriakan dari segala penjuru. Orang-orang dengan penaklukannya. Ada yang dekat, ada yang jauh. Bahkan ada yang sumber suaranya tidak jelas sama sekali. Disaksikan fajar, puncak gunung melagukan nyanyian pagi dari jiwa-jiwa yang mencari jawaban atas masalah dan tantangan-tantangannya. Alam adalah jawaban paling dekat untuk jiwa yang mencari kebajikan, maksud dan nilai-nilai. Dan di ketinggian tak terpatri, konon para pendaki bisa lebih dekat dengan penciptanya, merasakan kebesaran-Nya, bagaikan melihat lantai surga dari puncak yang menyiksa.

Harry menjatuhkan badannya, menutup mata sejenak dan memikirkan hari-harinya yanga telah lalu. Ia mengingat apa saja yang dilakukannya selama tigapuluh tahun hidupnya dengan sadar, pekerjaan-pekerjaan yang menyulitkannya, momen rezekinya yang paling menyenangkan, kelahiran anak pertamanya, kemarahan bosnya, kebaikan mertuanya, kisah-kisah cintanya semasa SMA, sore sewaktu kakinya terjerembab ke selokan hingga patah, hukuman-hukuman yang diterimanya di kelas matematika, pertemuannya dengan istrinya pertama kali, hingga mimpi-mimpinya yang belum tercapai. Semua berurutan dan tergambar jelas. Udara dingin merasuk lewat hidungnya dengan lancar hingga ke paru-paru, matanya menerawang mengikuti arakan kabut yang menggelayut di tengah langit. Saat sinar matahari akhirnya menyapu pipinya, ia merasa hangat, dekat, merasa dimanjakan. Seperti orang bodoh Harry tersenyum, menggumam, berderai tawa. Tetapi kemudian sebuah dehaman sopan membuka matanya.

“Em, maaf, semoga saya tidak salah orang....”

Bayangan menghalangi pandangannya, dengan aksen yang aneh. Sebuah wajah kecil dalam poosisi terbalik sedang menatapnya. Ditutupi topi rajut, tinggal ujung-ujung rambut dari sosok itu yang mengintip keluar. Harry bangkit dan kepalanya nyaris berbenturan dengan kening gadis itu.

“Oh iya, maafkan saya. Saya baru saja tiba dan...” Harry berusaha menjelaskan sekenanya tetapi perkataannya didahului oleh orang asing yang kini di depannya. Perempuan Jepak, tebak Harry di dalam hati, setelah memerhatikan cara berpakaian orang itu yang begitu rapi dan siaga.

“Saya menemukan sebuah kompas di jalan kecil keluar dermaga. Apakah ini...” Gadis Jepang men yodorkan benda berkilau dari balik sakunya. Harry menyambarnya dan langsung mengiyakan.
“Anda benar! Ini kompas saya. Bagaimana...”
Gadis itu tersenyum. “Saya pikir kita menumpang kapal yang sama. Ketika saya menemukan itu, saya sempat melihat Anda tapi cuma punggung, dan tak bisa apa-apa di tengah keramaian. Sampai akhirnya saya diberitahu seorang penjaga ...warung? Bahwa Anda juga mampir di sana, ketika saya menceritakan kompas ini saat beristirahat di sana. Lalu saya coba mencari Anda, barangkali belum jauh...tetapi.... Ada kejadian aneh saat saya melewati danau.”

“Di pinggir danau.... Anda sosok pembawa cahaya di pinggir danau tadi!” Harry mengingat peristiwantadi buta itu dan langsung tahu kalau senter yang tergantung di pinggang perempuan ini rasanya akrab baginya.
“Apa?”
“Ya. Ya! Saya coba memanggil-manggil Anda karena ketakutan tidak ada teman perjalanan. Mungkin saya salah jalur, dan melihat seseorang membawa senter di kejauhan. Anda sempat berhenti, kemudian hendak berbalik, tetapi lalu pergi. Anda tidak tahu siapa yang memanggil Anda. Itu saya!”

“Oh benarkah?” Perempuan itu tertawa. “Saya pikir saya mendengar hantu. Saya ketakutan kemudian pergi. Jadi itu Anda yang tidak punya teman perjalanan?” Gadis itu tertawa lagi. “Maafkan saya. Harusnya saya mengikuti naluri saya ketika itu.”

“Oh tidak apa-apa, sungguh.” Harry lalu mengajak tamunya duduk. “Saya berterima kasih.”

Keduanya lalu berkenalan. Perempuan itu bernama Akiko Matsumara dan mengaku telah bekerja di sebuah perusahaan riset tenaga angin di Selayar, Sulawesi Selatan selama lima tahun terakhir. Sebentar lagi ia akan pindah ke Lombok jika pendakiannya ini membawa 'firasat yang baik', begitu ia menyebut pertimbangan naluriah. Harry jadi percaya mitos wisata bahwa beberapa tempat dan daerah di Indonesia dikenal dengan mistisnya yang memikat, bukan dalam pengertian menyeramkan, tetapi keberpautan hati dan perasaan. Seperti Akiko, pasangan Prancis yang diceritakan penjaga warung itu juga pasti menemukan hal yang sama.

“Saya jatuh cinta dengan gunung- gunung, terutama yang sulit ditaklukkan justru karena keindahannya.”

Harry setuju. Mereka berbincang lebih banyak hal, berbagi isi tas, mencoba ketupat yang dingin, lalu bertukar alamat surat elektronik. Harry melewati pagi puncaknya dengan kehangatan yang lain. Selebihnya ia hanya senang, teman perjalannya, selain kompas yang penting, kini bertambah satu. Pikiran liarnya berpuisi sendiri bahwa teman perjalanan tidak harus berarti sepanjang perjalanan. Teman perjalanan bisa ditemukan di waktu dan momen apapun, selama cerita menyelimutinya.

-----------

Sumber ilustrasi: bocahpetualanggg.blogspot.com.
*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun