HUJAN TURUN dengan lebat. Harry San Gumay keluar dari jalan, menuju warung kecil dengan atap seng yang rendah, tempat beberapa makanan kecil dan kopi instan dijual. Ia taruh tas carrier begitu saja di bangku bambu agar terhindarbdari aliran air. Pedagang warung itu seorang perempuan paruh baya yang menghadap ke dalam dan bukannya ke luar, lebih asyik dengan tayangan Akademi Dangdut dan karena tahu orang-orang belum akan memesan minuman hangat apapun di jelang magrib begini.
Jalur pendakian --- menawarkan perjalanan empat tahap yang panjang, sejak dari Bandara Internasional Lombok sampai danau Segara Anak di kawah puncak. Harry, yang meninggalkan kantornya untuk sebuah “pelarian yang menyenangkan”, tidak mengira bahwa dirinya mengambil jadwal yang salah, dan musim pendakian sedang sepi. Rinjani biasanya padat antara April hingga Agustus, di mana orang-orang memanfaatkan pergantian musim hujan ke awal kemarau, peringatan Hari Kemerdekaan, sampai jatah cuti tujuh hari penuh setelah Gaji ke-tigabelas bagi pegawai negeri sipil.
Di magrib Februari yang dingin, di bawah warung itu, Harry mengumpat pada dirinya sendiri. Menertawakan kebodohannya karena berusaha menantang waktu dengan pikiran bahwa selepas Natal dan di musim Imlek, di Thailand, Tiongkok dan Kamboja justru merupakan puncak musim liburan.
“Musimnya salah, Mas.”
Sesosok bungkuk meandekat persis di belakang. Harry terkejut seperti diselimuti hawa aneh saat menyadari di belakangnya sudah berdiri perempuan penjaga warung. Ia lalu terkekeh dan menceritakan betapa bodohnya ia nekat datang di musim hujan.
“Tidak apa-apa sebetulnya,” timpal penjaga warung. “Risikonya ya paling hujan dan dingin. Hawanya bisa turun di bawah duapuluh derajat.”
Harry mengangguk setuju. Tidak cuma mengingat ia sudah melewati satu pos—yang berarti setidaknya ia sudah berada di paha gunung—, tetapi juga merasakan hawa dingin merajamnya seperti ratusan jarum yang menusuk di sekujur tubuh. Udara dingin semakin menjadi karena hujan membawa sisa angin barat yang merangkak naik. Di kejauhan nampak pinus-pinus berayun dan berusaha menyeimbangkan tangkai-tangkainya. Pemandangan yang tidak seperti di buklet wisata, pikir Harry.
“Mas ada yang hilang ya, barangnya?”
“Apa?”
“Iya. Kehilangan sesuatu? ada yang jatuh atau ketinggalan?” Pedagang itu bertanya sembari menyodorkan segelas air hangat yang meruap-ruap.
“Oh....” Harry mengiyakan. “Kompas saya. Sepertinya terjatuh.”
Gerakannya pasti terlalu mencolok karena beberapa menit terakhir memang ia merogoh-rogoh tasnya dan tidak menemukan kompasnya.
“Mahal tidak?”
“Mhm?”
“Kompasnya.”
Kompas itu, bentuknya standar dengan jarum utara terbuat dari seng yang dipoles, cukup murah dibeli di bandara, terakhir ia gunakan sebelum memasuki pos pendakian satu. Perkiraannya, kompas itu jatuh saat ia membongkar isi tasnya kala beristirahat dekat telaga kecil di bawah sana, sekitar tiga jam yang lalu. “Bukan masalah, Bu.” Harry mengutarakan terima kasih atas perhatian kecil, namun berkata bahwa mungkin memang takdirnya barang kecil itu hilang. menit-menit berikutnya Harry lalu bercerita bahwa ini pendakian solo pertamanya, dan ia lebih banyak mempelajari jalur lewat tulisan-tulisan blog.
“Komputer....” Perempuan pedagang itu menerawang keluar, seperti mengenang. “Internet, sekarang orang bilang. Gampang sekali. Mereka membaca di kota, membuka hape, sudah langsung tahu bagaimana caranya ke Rinjani. Instan, gampang. tidak perlu pemandu, tidak perlu banyak waktu. Saya pernah dicerita, seorang pendaki juga, dua atau tiga tahun lalu, datang kemari, persis di kursi yang Mas duduki ini, dua orang Perancis. Sepertinya sedang bulan madu mereka, masih muda-muda, ceria betul. Saya coba-coba pakai bahasa Inggris dan mereka cekikikan setiap saya bertanya 'where from?'...'what to drink?' Mereka cerita kalau mereka dengar Gunung Rinjani cuma dari seorang teman kantornya yang menyeletuk di rumah sakit—waktu itu mereka menjenguk, temannya itu sepertinya kena Flu burung atau apa, dirawat di Mersil....”
“Marseille?”
“Iya itu. Wah susah sekali nama kotanya. Merseil. Sekeluar dari kamar rawat itu, saat itu juga, mereka buka hapenya, terus katanya ketemy berita tentang Rinjani. Terus mereka apa itu...kepincut. jatuh hati begitu. yang istrinya bilang, dia kepingin setelah mereka nikah—waktu itu mereka masih tunangan—kepingin bulan madunya ke Lombok. Mungkin Bali sudah padat dan kotor mungkin ya. Lalu si suami ini setuju. Tapi kemudian nawarkan ke istrinya 'bagaimana kalau ke Tambora?' Tapi istrinya tetap kepinginnya ke Rinjani.
“Mereka cerita itu senang sekali ke saya. Persis duduknya di tempat Mas duduk itu. Minumnya coffimix. Mereka lalu beli batu tiga akik atau apa gitu...di puncak di atas, endak tahu siapa yang jual. Tapi lalu sepulangnya mendaki, mampir ke mari lagi. Satu batunya dikasih ke saya. Mereka bilang jatuh cinta dengan Rinjani. Tahun-tahun selepasnya, tambah banyak tauris bule datang kemari. beda dengan pendaki-pendaki dalam negeri, mereka bersih-bersih, bawaannya lengkap, tidak pernah menyampah. Rapi sekali. Sekarang, gunung jadi tempat orang datang. Berdoa, pacaran, cari kekayaan. Tapi saya senang. Apalah internet...bisa bawa orang ke surga mungkin ya, ke gunung yang jauh saja bisa.”
Bukan hal yang mengejutkan bagi Harry mendengar cerita itu. Tingkat kunjungan wisatawan ke Lombok dan Nusa Tenggara Timur meningkat drastis sejak tragedi Bom Bali. Apalagi sejak tenun Manggarai dijual pemerintah sampai ke PBB. Indonesia mulai meningkatkan kapasitas wisata sampai ke bagian selatan dan timur. Akan tetapi peralihan bahasan dari kompas, sepasang Perancis sampai ke manfaat internet mengalihkan perhatiannya dari tiga orang lebih muda yang ikut bernaung di dekatnya. Ketiga pendaki ini, yang tampilannya lebih sederhana—satunya bahkan hanya mengenakan celana pendek dan kaus berlilit kain—berteduh sekaligus melepaskan lelah. mereka tampak telah melewati perjalanan yang lebih jauh dan lebih menyakitkan, sampai-sampai mereka membuka sepatu dan memeriksa apakah kaki-kakinya masih utuh atau lecet di sana-sini. Harry menyanjung kekuatan mereka, terlebih karena dalam kedinginan yang canggung mereka bertahan untuk tidak menyapa orang-orang yang di sekitarnya.
Perjalanan berlanjut pukul sepuluh malam saat langit nampak keperakan dan kabut mulai menjauh. Dari perempuan penjaga warung Harry membekali dirinya dengan air panas yang diisikan ke tumblr-nya, dua bungkus biskuit, tiga butir telur matang, empat mi instan beserta lima ketupat daun pandan. Pendakiannya melewati Pos Sembalun III, checkpoint ketiga. Harry salut dengan kesolidan sekelompok tiga orang yang melewatinya tanpa sedikitpun menyapa. “Bukankah pendakian adalah ajang sosialisasi, terutama perihal survival?” Tapi mungkin tidak semua cerita langgam benar adanya. Tanpa teman seperjalanan, Harry terus mengikuti jalur yang melewati tiga kampung sunyi, dua sumur yang ia singgahi untuk sekadar meneguk air segar dan atau duduk bersandar, satu telaga kecil di balik belukar, dan sebuah tenda lengkung yang bergoyang-goyang di kejauhan. Cahaya lampunya seredup mungkin. Ia bertanya-tanya apakah suara erangan dan rintihan samar itu datang dari sumber yang sama. Pukul dua pagi, mereka berkelok timur laut melewati bibir danau Segara, di mana sampah makanan instan berserakan seperti sisa perang.
Di penanjakan terakhir ini, dalam balutan lelah yang meradang dari tumit, engkel, paha hingga tengkuknya, Harry lagi-lagi menyerah pada lelah. Ia coba gelar tikar plastik dan lalu menyalakan cahaya. Mungkin seteguk air hangat dan dua butir telur akan membantunya mengembalikan tenaga. Tetapi bagian belakang gunung itu begitu gelap, cahaya bulan terlalu jauh, dan sepertinya karena itu jalur ini jarang dilewati setelah matahari terbenam. Saat coba merogoh pasokan makanannya, Harry mendapati tangannya basah, dan langsung saja ia sadari bahwa termos airnya tidak tertutup sempurna, merendam bahan makanan itu dengan air hangat di dasar tas. Sialnya lagi, senter plastiknya juga tergeletak jauh di bawah sana. Genangan air merangsek sampai ke bohlamnya. Digoncang-goncangnya senter itu, tapi cahayanya tidak muncul. Rusak.
Harry mencoba menelan makannya. Di atas ketinggian dan udara dingin yang mencekat, tidak ada makanan yang benar-benar hangat. Minuman mendingin dengan segera begitu botol dibuka, uapnya menghambur begitu saja. Duduk bersandar pohon Harry doba melihat sekeliling. Di kejauhan jalan di bawah sana, setitik cahaya bergerak-gerak, setinggi perut dan kian mendekat. Seseorang akan lewat, yakin Harry. Akan tetapi baru saja ia coba memanggil dan berteriak, cahaya itu berbelok ke tenggara kemudian menjauh. Ia coba berteriak lagi, cahaya itu berhenti. Jaraknya pasti lebih dari dua kilometer karena Harry menghitung jarak respon berhenti itu dengan teriakannya barusan hampir tiga detik. Cahaya itu seperti menyorot sekeliling, mencari sumber teriakan. Danau membatasi keduanya. Tanpa cahaya apapun, Harry tidak tahu harus memberi kode apa. “Aku harus mencari rekan seperjalanan, jika tidak ingin kedinginan sendirian.” Harry berteriak lagi, dan cahaya di seberang danau itu mulai kebingungan. Harry nyaris berteriak senang saat cahaya itu nampak akan berbelok, tetapi lalu harapannya buyar. Cahaya itu melanjutkan perjalannya, menjauh ke timur, sebelum menghilang di balik bayangan besar punggug gunung.