WHAT
Apa itu Korupsi?
Korupsi  berasal  dari  bahasa Latin:  corruption  dari  kata  kerja corrumpere   berarti   busuk,   rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok.   Menurut   Transparency International  adalah  perilaku  pejabat publik,   baik   politikus   /   politisi maupun  pegawai  negeri,  yang  secara tidak wajar dan tidaklegal memperkaya  diri  atau  memperkaya mereka   yang   dekat   dengannya, dengan  menyalahgunakan  kekuasaan publik  yang  dipercayakan  kepada mereka
Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Praktik- praktik tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia hampir setiap hari diberitakan oleh media massa. Kenyataan praktik penyebab korupsi yang terjadi di Indonesia bukan hanya melibatkan personal, tetapi juga instansi politik dan hukum.
WHY
Teori korupsi Jack Bologne GONE Theory
Faktor-faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan (expose). Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Organisasi, instansi, atau masyarakat luas dalam keadaan tertentu membuka Faktor Kesempatan melakukan kecurangan. Faktor kebutuhan erat dengan individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Dan, faktor pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
GONE = GREED + OPPORTUNITY + NEED + EXPOSE
HOW
Contoh kasus korupsi di  indonesia
Tindak Pidana Korupsi oleh Setya Novanto
Kasus mega korupsi e-KTP terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan pengadaan elektronik pada  tahun  2011  dan  2012  dan  telah  terjadi sejak  tahun 2010.  Awalnya  proyek  ini  berjalan lancar  dengan  pengawasan  dari  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  (KPK),  Badan  Pemeriksa Keuangan  (BPK),  dan  Badan  Pengawasan  Keuangan  dan  Pembangunan  (BPKP)  yang  saat itu dipimpin oleh Mendagri.Terjadi kejanggalan dalam proses lelang tender proyek e-KTP yang  diduga  menimbulkan  korupsi  dan  menarik  perhatian  berbagai  pihak  seperti  KPPU, Government Watch, kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri, dan KPK. Oleh karena itu, KPK melakukan  penyelidikan  untuk  mengungkap  kronologi  dan  pelaku  kasus  ini.  Pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP juga dipanggil sebagai saksi untuk membantu penyelidikan. KPK  menemukan  bahwa  negara  harus  menanggung  kerugian  sebesar  Rp  2,314  T berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Setelah penyelidikan sejak tahun 2012,akhirnya sejumlah orang  termasuk Sugiharto, Irman,  Andi Narogong, Markus Nari,  Anang Sugiana, dan Setya Novanto -beberapa di antaranya adalah pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi DPR -ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Proyek  e-KTP  yang merupakan  kasus  mega  korupsi  diawali  oleh  rencana  Kementerian Dalam  Negeri  (Kemendagri)  RI  pada  tahun  2006  untuk  membuat  e-KTP  dan  program Nomor  Induk  Kependudukan  (NIK)  nasional.  Kemendagri  telah  mengalokasikan  dana sebesar Rp 6 triliun untuk proyek e-KTPdan program NIK, serta Rp 258 miliar untuk biaya pemutakhiran  data kependudukan  yang  akan  digunakan  pada pembuatan  e-KTP  berbasis NIK pada 2010 di seluruh wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2011, proyek e-KTP  ditargetkan  untuk  merekam  6,7  juta  penduduk,  dan  pada  2012  untuk  seluruh penduduk  Indonesia  sekitar  200  juta  orang.  Sebelum  proses  perekaman  e-KTP  dimulai, Gumawan  Fauzi,  pejabat  Kemendagri,  telah  meminta  KPK  untuk  mengawasi  proyek tersebut  dan  juga  mendatangi  Badan  Pemeriksa  Keuangan  (BPK)  dan  Badan  Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk turut mengawasi proyek tersebut. Hal tersebut dilakukan  agar  proyek  e-KTP  dapat  berjalan  dengan  bersih  tanpa  ada  praktik  korupsi karena melibatkan beberapa institusi.
Agus  Rahardjo,  selaku  Ketua  KPK,  mengumumkan  bahwa  pada  Senin  17  Juli  2017,  Setya Novanto  telah  ditetapkan  sebagai  tersangka  dalam  kasus  korupsi  e-KTP.  Menurut  Agus, Setya  Novanto  diduga  telah  menguntungkan  diri  sendiri,  orang  lain,  atau  korporasi,  serta menyalahgunakan  jabatan  dan  kewenangan  yang  menyebabkan  kerugian  materiil  negara senilai Rp 2,3 triliun dari total proyek senilai Rp 5,9 triliun. Dalam kasus ini, Setya Novanto dituduh  melanggar  Pasal  2  ayat  1  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal  55  ayat  1  ke-1  KUHP.  Sebelumnya,  jaksa  KPK  telah  membacakan  surat  tuntutan terhadap  dua  terdakwa  mantan  pejabat  Kemendagri  yang  memperlihatkan  adanya pertemuan antara Setya Novanto, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini, dan Andi Narogong di Hotel Gran Melia Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Andi Narogong sebagai pengusaha ingin memenangkan proyek e-KTP, sementara Diah dan para terdakwa sebagai birokrat  bertanggung  jawab  atas  pengadaan  barang  dan  jasa.  Setya  Novanto  saat  itu menjabat  sebagai  Ketua  Fraksi  Partai  Golkar  dan  memiliki  pengaruh  dalam  proses penganggaran di Komisi II DPR RI.
Menggunakan teori GONE Jack Bologna, kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto dapat dijelaskan melalui empat faktor utama yang melandasi perilaku korupsi: Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan), dan Exposure (Paparan Risiko).
- Greed (Keserakahan)
Keserakahan merupakan salah satu faktor pendorong yang kuat dalam kasus e-KTP. Setya Novanto, yang memiliki pengaruh besar sebagai Ketua DPR RI, berusaha memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek berskala nasional ini. Keinginan untuk mengamankan dana publik sebagai "modal pribadi" tampak dalam skandal ini. Korupsi dalam proyek e-KTP bukan hanya soal mengambil bagian kecil dari anggaran, tetapi melibatkan manipulasi dana besar, yakni sekitar Rp2,3 triliun dari total anggaran proyek sebesar Rp5,9 triliun. Jumlah ini memperlihatkan bahwa para pelaku, termasuk Setya Novanto, didorong oleh hasrat memperkaya diri di luar kendali, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya pada negara.
Keserakahan ini juga berkaitan dengan ambisi politik jangka panjang. Setya Novanto telah lama menjadi figur berpengaruh dalam politik Indonesia, dan dengan dana yang diperoleh secara ilegal dari proyek e-KTP, ia dapat memperkuat jaringan dan loyalitas politik. Dengan sumber daya finansial yang besar, seorang politisi memiliki kendali lebih untuk memperluas kekuasaannya, mengamankan posisi, dan mempersiapkan langkah politik selanjutnya. Keserakahan ini bukan hanya didorong oleh kebutuhan materi, tetapi juga oleh keinginan untuk mempertahankan dominasi dan pengaruh politik yang menguntungkan.
- Â Opportunity (Kesempatan)
Kesempatan muncul karena lemahnya sistem pengawasan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan proyek berskala nasional seperti e-KTP. Pelaksanaan proyek e-KTP, yang melibatkan berbagai tahapan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan, menghadirkan banyak celah bagi korupsi ketika pengawasan tidak dilakukan dengan ketat. Dalam kasus ini, para pejabat yang berwenang, termasuk Setya Novanto, memiliki akses penuh untuk mengatur dan memanipulasi proyek tanpa adanya pengawasan yang kuat.
Sistem pengadaan pemerintah yang rumit dan birokratis, serta lemahnya pengendalian internal, membuka peluang bagi kolusi antara pejabat dan kontraktor proyek. Setya Novanto diduga bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta yang ditunjuk sebagai pelaksana proyek e-KTP. Kelemahan dalam sistem tender dan kontrol internal memungkinkan penunjukan perusahaan-perusahaan ini tanpa standar pemilihan yang ketat, sehingga pihak-pihak terkait dapat menyalahgunakan kesempatan untuk meraup keuntungan. Kesempatan ini semakin diperkuat dengan pengaruh politik Novanto sebagai Ketua DPR, yang memungkinkan dirinya untuk mengendalikan proyek tanpa hambatan berarti.
Lebih lanjut, lemahnya transparansi dalam setiap tahap proyek membuat pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran menjadi sangat terbatas. Ketika masyarakat dan lembaga independen tidak dapat mengakses informasi detail tentang alokasi dana dan kemajuan proyek, penyimpangan anggaran menjadi lebih mudah terjadi tanpa terdeteksi. Kesempatan ini menjadi faktor kunci yang memungkinkan pelaku korupsi untuk menjalankan rencananya dengan lebih aman.
- Â Need (Kebutuhan)
Faktor kebutuhan juga memainkan peran penting dalam kasus e-KTP. Dalam konteks ini, kebutuhan yang mendorong korupsi dapat dikategorikan menjadi dua: kebutuhan politik dan kebutuhan pribadi. Kebutuhan Politik: Dalam dunia politik, kebutuhan akan dana besar sering kali dirasakan oleh politisi untuk mempertahankan kekuasaan, mendanai kampanye, dan memperkuat jaringan pendukung. Pendanaan politik membutuhkan jumlah dana yang tidak sedikit, terutama untuk memastikan dukungan yang luas di lingkungan politik yang kompetitif. Dengan memperoleh dana dari proyek seperti e-KTP, Setya Novanto mungkin melihat peluang untuk memenuhi kebutuhan finansial bagi partai dan loyalisnya, yang akan meningkatkan kestabilan dan pengaruh politiknya. Korupsi menjadi cara cepat untuk mengakses dana tanpa harus bergantung pada sumber pendanaan resmi yang terbatas.
Kebutuhan Pribadi: Selain untuk pendanaan politik, kebutuhan pribadi juga bisa menjadi motivasi kuat. Dalam beberapa kasus, pejabat tinggi yang korup terdorong oleh tekanan untuk mempertahankan gaya hidup mewah dan memenuhi ekspektasi status sosial. Setya Novanto dikenal memiliki gaya hidup yang relatif mewah dan berusaha mempertahankan citra sebagai tokoh kaya dan berpengaruh. Kebutuhan untuk mempertahankan status ini, dikombinasikan dengan ekspektasi keluarga atau lingkungan sosial, mungkin menjadi salah satu pendorong di balik tindakannya. Ketika pejabat publik merasa bahwa mereka harus tetap menunjukkan kekayaan dan pengaruh, tekanan untuk mencari sumber pendapatan tambahan di luar gaji resmi mereka pun meningkat.
Kebutuhan untuk Menjaga Loyalitas dan Jaringan: Di kalangan politisi, menjaga loyalitas dan dukungan dari jaringan politik adalah kebutuhan yang penting. Dengan mengakses dana besar dari proyek seperti e-KTP, Novanto dapat membagikan keuntungan kepada kolega dan rekan kerja yang mendukungnya, menjaga loyalitas dan memperkuat aliansi politik. Dalam konteks ini, dana korupsi berfungsi sebagai alat untuk memastikan bahwa dukungan politik tetap solid, sehingga posisinya aman dan pengaruh politiknya tidak mudah tergeser.
4. Exposure (Paparan Risiko)
Paparan risiko atau kemungkinan terbongkarnya tindakan korupsi ini menjadi hal yang harus dihadapi oleh Setya Novanto dan pihak-pihak terkait dalam kasus e-KTP. Meskipun risiko tersebut sangat tinggi, Novanto dan beberapa pejabat lainnya berusaha meminimalkan risiko ini melalui berbagai taktik:
Pengaruh Politik dan Kekuasaan: Sebagai Ketua DPR RI, Novanto memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan, yang membuatnya merasa relatif aman dari penyelidikan. Ia memiliki akses pada jaringan politik dan pihak berwenang yang dapat membantunya menghindari penyelidikan atau setidaknya menundanya. Ia berusaha menggunakan kekuasaan politiknya untuk mengontrol jalannya investigasi sehingga risiko pengungkapan menjadi lebih kecil.
Strategi Praperadilan dan Manipulasi Hukum: Untuk menghadapi paparan risiko, Setya Novanto mencoba menggunakan berbagai cara legal untuk melindungi diri, seperti mengajukan praperadilan dan memanfaatkan celah hukum yang ada. Dengan menggugat KPK, Novanto berupaya untuk membatalkan status tersangkanya dan menghindari proses hukum. Selain itu, ia juga menggunakan alasan medis untuk menghindari pemanggilan oleh KPK, yang merupakan upaya sistematis untuk menghindari konsekuensi hukum.
Tekanan terhadap Saksi dan Penggunaan Pengaruh: Novanto juga diduga melakukan upaya intimidasi terhadap saksi-saksi potensial yang mungkin mengetahui keterlibatannya dalam korupsi e-KTP. Dengan menekan saksi atau menggunakan pengaruhnya untuk menutupi informasi, ia berusaha meminimalkan kemungkinan terbongkarnya bukti-bukti yang memberatkan. Strategi ini adalah cara untuk menghindari paparan risiko dengan mengontrol akses informasi dari sumber internal.
Pengelabuan Publik dan Media: Novanto juga mencoba membentuk opini publik dengan cara-cara tertentu, termasuk membuat dirinya terlihat sebagai korban atau mengalihkan perhatian dari kasus e-KTP ke isu lain. Pengelabuan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan publik dan media, sehingga risiko terungkapnya fakta-fakta terkait kasus ini menjadi lebih rendah. Dengan mengelabui persepsi publik, ia berharap dapat melindungi citranya dan mempertahankan dukungan dari kalangan tertentu.
Kesimpulan
Dengan memahami kasus e-KTP melalui empat elemen dari teori GONE ini, terlihat jelas bagaimana faktor keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan risiko paparan saling berkaitan dalam membentuk motivasi dan perilaku koruptif. Setya Novanto menggunakan posisinya yang berkuasa untuk mengeksploitasi kelemahan sistem, meraup keuntungan pribadi, serta menghindari risiko terbongkarnya kejahatan. Analisis ini menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam sistem pengawasan, peningkatan transparansi, dan penegakan hukum yang tidak dapat dipengaruhi oleh tekanan politik.
Contoh yang kedua yaitu pada kasus Asabri
1. Greed (Keserakahan)
Keserakahan menjadi pendorong utama dalam kasus Asabri. Nilai kerugian negara yang mencapai Rp22,78 triliun mencerminkan besarnya ambisi para pelaku untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa batas. Keserakahan ini terlihat pada tindakan kolusi yang melibatkan pejabat tinggi Asabri dengan pengusaha seperti Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
- Keinginan Memperoleh Keuntungan Maksimal: Para pelaku memanfaatkan dana investasi yang berasal dari kontribusi prajurit TNI, Polri, dan pensiunan untuk tujuan pribadi. Mereka memilih saham-saham yang memiliki nilai rendah (junk stocks) dan memanipulasi harga saham tersebut, kemudian mengarahkan keuntungan ke kantong pribadi melalui skema penggelembungan harga.
- Sikap Tidak Memedulikan Kepentingan Publik: Dana Asabri yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan peserta asuransi menjadi korban ambisi pribadi. Para pelaku, baik dari internal maupun eksternal Asabri, lebih memilih untuk mengambil keuntungan besar dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas dana pensiun para prajurit.
Keserakahan ini tidak hanya muncul dari individu, tetapi juga didukung oleh budaya organisasi yang permisif terhadap tindakan manipulasi dan penyalahgunaan wewenang.
2. Opportunity (Kesempatan)
Kesempatan muncul karena lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal dalam pengelolaan dana investasi. Beberapa faktor berikut memberikan ruang bagi korupsi untuk berkembang:
- Sistem Pengawasan Internal yang Lemah
- Keputusan investasi di Asabri berada di tangan segelintir individu yang memiliki kekuasaan penuh. Sistem kontrol internal yang seharusnya memastikan setiap investasi berjalan sesuai prinsip kehati-hatian tidak berjalan dengan baik. Tidak ada mekanisme yang transparan untuk mengevaluasi apakah investasi tersebut layak atau berisiko tinggi.
- Manajemen investasi yang tidak profesional membuka peluang untuk manipulasi saham. Dalam kasus ini, saham-saham yang dipilih adalah saham dengan nilai rendah dan mudah dimanipulasi oleh pengusaha yang berkolusi dengan pejabat Asabri.
- Minimnya Transparansi dan Akuntabilitas
- Asabri sebagai pengelola dana besar tidak memiliki mekanisme pelaporan yang transparan kepada publik. Hal ini membuat masyarakat, termasuk peserta Asabri, tidak dapat memantau bagaimana dana mereka dikelola.
- Kurangnya keterbukaan juga membuat pihak luar, seperti lembaga pengawas keuangan, sulit mendeteksi adanya praktik manipulasi.
- Kolusi dengan Pihak Eksternal
- Kolusi antara pejabat Asabri dan pengusaha seperti Benny Tjokrosaputro serta Heru Hidayat menciptakan jaringan korupsi yang sangat terorganisir. Dalam kasus ini, saham-saham yang dipilih untuk investasi adalah saham yang dimiliki oleh kedua pengusaha tersebut, yang kemudian dimanipulasi untuk memberikan keuntungan langsung kepada mereka.
- Adanya konflik kepentingan antara pejabat pengelola dan pihak eksternal semakin memperbesar kesempatan korupsi.
Kesempatan ini semakin diperkuat dengan lemahnya pengawasan eksternal oleh lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Regulasi yang longgar dan ketidakefektifan dalam memantau aktivitas investasi membuat tindakan korupsi berjalan tanpa hambatan berarti.
3. Need (Kebutuhan)
Kebutuhan para pelaku dapat dikelompokkan menjadi kebutuhan individu dan kebutuhan organisasi.
- Kebutuhan Individu
- Gaya Hidup Mewah: Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat dikenal sebagai pengusaha yang memiliki gaya hidup mewah. Untuk mempertahankan standar hidup tersebut, mereka memanfaatkan dana investasi Asabri sebagai sumber pendapatan tambahan. Dengan mengarahkan investasi ke perusahaan mereka sendiri, mereka dapat mengontrol aliran dana secara langsung.
- Tekanan Finansial: Meskipun kaya, pelaku seperti Benny dan Heru juga memiliki beban finansial besar dari proyek bisnis yang gagal. Korupsi di Asabri menjadi cara mereka menutup kerugian atau membiayai proyek lain yang sedang berjalan.
- Kebutuhan Organisasi
- Tekanan untuk Mencapai Target Investasi: Pejabat Asabri mungkin merasa tertekan untuk menunjukkan kinerja investasi yang tinggi. Dalam lingkungan yang kurang transparan, tekanan ini dapat membuat mereka mengambil jalan pintas, termasuk memilih investasi spekulatif yang sebenarnya tidak menguntungkan.
- Kebutuhan Dana untuk Menjaga Loyalitas: Dalam beberapa kasus, korupsi juga dilakukan untuk membangun atau menjaga jaringan kekuasaan. Dana dari korupsi Asabri dapat digunakan untuk menjaga loyalitas kolega, mitra bisnis, atau bahkan pihak-pihak yang memiliki pengaruh politik.
Kombinasi kebutuhan individu dan organisasi ini menciptakan motivasi kuat untuk melakukan tindakan korupsi, meskipun risiko yang dihadapi sangat besar.
4. Exposure (Paparan Risiko)
Para pelaku dalam kasus Asabri menggunakan berbagai strategi untuk meminimalkan risiko terungkapnya tindak korupsi mereka:
- Manipulasi Laporan Keuangan
- Salah satu cara utama yang digunakan adalah memanipulasi laporan keuangan untuk menyembunyikan kerugian besar dari investasi. Dengan merekayasa nilai aset, laporan Asabri terlihat normal meskipun sebenarnya dana sudah habis diselewengkan.
- Rekayasa ini juga membuat pengawas eksternal sulit mendeteksi pelanggaran dalam waktu cepat.
- Kolusi untuk Melindungi Tindakan
- Pelaku internal dan eksternal bekerja sama untuk menutupi jejak. Kolusi ini memungkinkan manipulasi nilai saham tanpa adanya protes dari pihak-pihak terkait karena semua pihak yang berperan mendapatkan keuntungan.
- Adanya hubungan dekat antara pelaku dan beberapa pihak yang memiliki pengaruh politik juga memberikan perlindungan tambahan.
- Minimnya Perhatian Publik
- Sebagai perusahaan asuransi untuk TNI dan Polri, Asabri tidak menjadi perhatian utama masyarakat umum. Hal ini membuat penyimpangan dalam pengelolaan dana berlangsung tanpa sorotan publik. Paparan risiko baru meningkat ketika kasus ini menjadi perhatian media dan lembaga hukum seperti Kejaksaan Agung.
- Penyelidikan yang Lama
- Praktik korupsi di Asabri sudah berlangsung selama beberapa tahun sebelum akhirnya terungkap. Waktu yang lama sebelum investigasi dimulai memberikan cukup waktu bagi pelaku untuk menyembunyikan bukti dan mengalihkan aset hasil korupsi.
Paparan risiko akhirnya tidak dapat dihindari ketika media dan penegak hukum mulai menyelidiki kasus ini, yang kemudian berujung pada pengungkapan jaringan korupsi besar di Asabri.
Kesimpulan Mengapa Korupsi Asabri Terjadi
Kasus Asabri terjadi karena kombinasi dari keserakahan individu yang menginginkan keuntungan besar, lemahnya sistem pengawasan yang menciptakan kesempatan, kebutuhan finansial dan organisasi yang mendorong tindakan ilegal, serta usaha pelaku untuk meminimalkan risiko paparan. Keseluruhan elemen ini menunjukkan perlunya perbaikan sistem pengelolaan investasi, pengawasan yang lebih ketat, dan penegakan hukum yang tegas untuk mencegah kasus serupa di masa depan.
Daftar Pustaka
Analisis Wacana Pemberitaan Kasus Korupsi E-KTP PadaMedia Kompas.com Terhadap Pembentukan Opini Publik. (n.d.). Neri Widya Ramailis, M.Krim &Dede Nopendri, S.Sos. Retrieved from https://journal.uir.ac.id/index.php/sisilainrealita/article/view/4043/2080
Anisah Septi Arum, A. Z. (2013). Peran Partai Politik terhadap Kader yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Setya Novanto Pelaku Korupsi E-KTP. Jurnal Anti Korupsi.
Oktavia, A. Y. (2022). 5 TEORI UNTUK MEMAHAMI ALASAN TERJADINYA KORUPSI. Retrieved from https://klikhukum.id/5-teori-untuk-memahami-alasan-terjadinya-korupsi/
Teori-Teori Penyebab Korupsi. (n.d.). Retrieved from https://mh.uma.ac.id/teori-teori-penyebab-korupsi/
 Kompas. (2024). Awal Mula Kasus Korupsi E-KTP yang Sempat Hebohkan DPR hingga Seret Setya Novanto.
Wikipedia. (2024). Kasus Korupsi e-KTP.
OJK Indonesia. (2023). Laporan Pengawasan Pasar Modal dan Keuangan: Kasus Asabri. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H