Mohon tunggu...
Afriza Yohandi Putra
Afriza Yohandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

NIM : 43223110005 | Program Studi : Sarjana Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Jurusan : Akuntansi | Universitas : Universitas Mercu Buana | Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Penerapan penyebab kasus korupsi di indonesia pendekatan Jack Bologna

15 November 2024   21:05 Diperbarui: 15 November 2024   21:34 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebutuhan Pribadi: Selain untuk pendanaan politik, kebutuhan pribadi juga bisa menjadi motivasi kuat. Dalam beberapa kasus, pejabat tinggi yang korup terdorong oleh tekanan untuk mempertahankan gaya hidup mewah dan memenuhi ekspektasi status sosial. Setya Novanto dikenal memiliki gaya hidup yang relatif mewah dan berusaha mempertahankan citra sebagai tokoh kaya dan berpengaruh. Kebutuhan untuk mempertahankan status ini, dikombinasikan dengan ekspektasi keluarga atau lingkungan sosial, mungkin menjadi salah satu pendorong di balik tindakannya. Ketika pejabat publik merasa bahwa mereka harus tetap menunjukkan kekayaan dan pengaruh, tekanan untuk mencari sumber pendapatan tambahan di luar gaji resmi mereka pun meningkat.

Kebutuhan untuk Menjaga Loyalitas dan Jaringan: Di kalangan politisi, menjaga loyalitas dan dukungan dari jaringan politik adalah kebutuhan yang penting. Dengan mengakses dana besar dari proyek seperti e-KTP, Novanto dapat membagikan keuntungan kepada kolega dan rekan kerja yang mendukungnya, menjaga loyalitas dan memperkuat aliansi politik. Dalam konteks ini, dana korupsi berfungsi sebagai alat untuk memastikan bahwa dukungan politik tetap solid, sehingga posisinya aman dan pengaruh politiknya tidak mudah tergeser.

4. Exposure (Paparan Risiko)

Paparan risiko atau kemungkinan terbongkarnya tindakan korupsi ini menjadi hal yang harus dihadapi oleh Setya Novanto dan pihak-pihak terkait dalam kasus e-KTP. Meskipun risiko tersebut sangat tinggi, Novanto dan beberapa pejabat lainnya berusaha meminimalkan risiko ini melalui berbagai taktik:

Pengaruh Politik dan Kekuasaan: Sebagai Ketua DPR RI, Novanto memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan, yang membuatnya merasa relatif aman dari penyelidikan. Ia memiliki akses pada jaringan politik dan pihak berwenang yang dapat membantunya menghindari penyelidikan atau setidaknya menundanya. Ia berusaha menggunakan kekuasaan politiknya untuk mengontrol jalannya investigasi sehingga risiko pengungkapan menjadi lebih kecil.

Strategi Praperadilan dan Manipulasi Hukum: Untuk menghadapi paparan risiko, Setya Novanto mencoba menggunakan berbagai cara legal untuk melindungi diri, seperti mengajukan praperadilan dan memanfaatkan celah hukum yang ada. Dengan menggugat KPK, Novanto berupaya untuk membatalkan status tersangkanya dan menghindari proses hukum. Selain itu, ia juga menggunakan alasan medis untuk menghindari pemanggilan oleh KPK, yang merupakan upaya sistematis untuk menghindari konsekuensi hukum.

Tekanan terhadap Saksi dan Penggunaan Pengaruh: Novanto juga diduga melakukan upaya intimidasi terhadap saksi-saksi potensial yang mungkin mengetahui keterlibatannya dalam korupsi e-KTP. Dengan menekan saksi atau menggunakan pengaruhnya untuk menutupi informasi, ia berusaha meminimalkan kemungkinan terbongkarnya bukti-bukti yang memberatkan. Strategi ini adalah cara untuk menghindari paparan risiko dengan mengontrol akses informasi dari sumber internal.

Pengelabuan Publik dan Media: Novanto juga mencoba membentuk opini publik dengan cara-cara tertentu, termasuk membuat dirinya terlihat sebagai korban atau mengalihkan perhatian dari kasus e-KTP ke isu lain. Pengelabuan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan publik dan media, sehingga risiko terungkapnya fakta-fakta terkait kasus ini menjadi lebih rendah. Dengan mengelabui persepsi publik, ia berharap dapat melindungi citranya dan mempertahankan dukungan dari kalangan tertentu.

Kesimpulan

Dengan memahami kasus e-KTP melalui empat elemen dari teori GONE ini, terlihat jelas bagaimana faktor keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan risiko paparan saling berkaitan dalam membentuk motivasi dan perilaku koruptif. Setya Novanto menggunakan posisinya yang berkuasa untuk mengeksploitasi kelemahan sistem, meraup keuntungan pribadi, serta menghindari risiko terbongkarnya kejahatan. Analisis ini menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam sistem pengawasan, peningkatan transparansi, dan penegakan hukum yang tidak dapat dipengaruhi oleh tekanan politik.

Contoh yang kedua yaitu pada kasus Asabri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun