Tindak Pidana Korupsi oleh Setya Novanto
Kasus mega korupsi e-KTP terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan pengadaan elektronik pada  tahun  2011  dan  2012  dan  telah  terjadi sejak  tahun 2010.  Awalnya  proyek  ini  berjalan lancar  dengan  pengawasan  dari  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  (KPK),  Badan  Pemeriksa Keuangan  (BPK),  dan  Badan  Pengawasan  Keuangan  dan  Pembangunan  (BPKP)  yang  saat itu dipimpin oleh Mendagri.Terjadi kejanggalan dalam proses lelang tender proyek e-KTP yang  diduga  menimbulkan  korupsi  dan  menarik  perhatian  berbagai  pihak  seperti  KPPU, Government Watch, kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri, dan KPK. Oleh karena itu, KPK melakukan  penyelidikan  untuk  mengungkap  kronologi  dan  pelaku  kasus  ini.  Pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP juga dipanggil sebagai saksi untuk membantu penyelidikan. KPK  menemukan  bahwa  negara  harus  menanggung  kerugian  sebesar  Rp  2,314  T berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Setelah penyelidikan sejak tahun 2012,akhirnya sejumlah orang  termasuk Sugiharto, Irman,  Andi Narogong, Markus Nari,  Anang Sugiana, dan Setya Novanto -beberapa di antaranya adalah pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi DPR -ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Proyek  e-KTP  yang merupakan  kasus  mega  korupsi  diawali  oleh  rencana  Kementerian Dalam  Negeri  (Kemendagri)  RI  pada  tahun  2006  untuk  membuat  e-KTP  dan  program Nomor  Induk  Kependudukan  (NIK)  nasional.  Kemendagri  telah  mengalokasikan  dana sebesar Rp 6 triliun untuk proyek e-KTPdan program NIK, serta Rp 258 miliar untuk biaya pemutakhiran  data kependudukan  yang  akan  digunakan  pada pembuatan  e-KTP  berbasis NIK pada 2010 di seluruh wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2011, proyek e-KTP  ditargetkan  untuk  merekam  6,7  juta  penduduk,  dan  pada  2012  untuk  seluruh penduduk  Indonesia  sekitar  200  juta  orang.  Sebelum  proses  perekaman  e-KTP  dimulai, Gumawan  Fauzi,  pejabat  Kemendagri,  telah  meminta  KPK  untuk  mengawasi  proyek tersebut  dan  juga  mendatangi  Badan  Pemeriksa  Keuangan  (BPK)  dan  Badan  Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk turut mengawasi proyek tersebut. Hal tersebut dilakukan  agar  proyek  e-KTP  dapat  berjalan  dengan  bersih  tanpa  ada  praktik  korupsi karena melibatkan beberapa institusi.
Agus  Rahardjo,  selaku  Ketua  KPK,  mengumumkan  bahwa  pada  Senin  17  Juli  2017,  Setya Novanto  telah  ditetapkan  sebagai  tersangka  dalam  kasus  korupsi  e-KTP.  Menurut  Agus, Setya  Novanto  diduga  telah  menguntungkan  diri  sendiri,  orang  lain,  atau  korporasi,  serta menyalahgunakan  jabatan  dan  kewenangan  yang  menyebabkan  kerugian  materiil  negara senilai Rp 2,3 triliun dari total proyek senilai Rp 5,9 triliun. Dalam kasus ini, Setya Novanto dituduh  melanggar  Pasal  2  ayat  1  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal  55  ayat  1  ke-1  KUHP.  Sebelumnya,  jaksa  KPK  telah  membacakan  surat  tuntutan terhadap  dua  terdakwa  mantan  pejabat  Kemendagri  yang  memperlihatkan  adanya pertemuan antara Setya Novanto, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini, dan Andi Narogong di Hotel Gran Melia Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Andi Narogong sebagai pengusaha ingin memenangkan proyek e-KTP, sementara Diah dan para terdakwa sebagai birokrat  bertanggung  jawab  atas  pengadaan  barang  dan  jasa.  Setya  Novanto  saat  itu menjabat  sebagai  Ketua  Fraksi  Partai  Golkar  dan  memiliki  pengaruh  dalam  proses penganggaran di Komisi II DPR RI.
Menggunakan teori GONE Jack Bologna, kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto dapat dijelaskan melalui empat faktor utama yang melandasi perilaku korupsi: Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan), dan Exposure (Paparan Risiko).
- Greed (Keserakahan)
Keserakahan merupakan salah satu faktor pendorong yang kuat dalam kasus e-KTP. Setya Novanto, yang memiliki pengaruh besar sebagai Ketua DPR RI, berusaha memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek berskala nasional ini. Keinginan untuk mengamankan dana publik sebagai "modal pribadi" tampak dalam skandal ini. Korupsi dalam proyek e-KTP bukan hanya soal mengambil bagian kecil dari anggaran, tetapi melibatkan manipulasi dana besar, yakni sekitar Rp2,3 triliun dari total anggaran proyek sebesar Rp5,9 triliun. Jumlah ini memperlihatkan bahwa para pelaku, termasuk Setya Novanto, didorong oleh hasrat memperkaya diri di luar kendali, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya pada negara.
Keserakahan ini juga berkaitan dengan ambisi politik jangka panjang. Setya Novanto telah lama menjadi figur berpengaruh dalam politik Indonesia, dan dengan dana yang diperoleh secara ilegal dari proyek e-KTP, ia dapat memperkuat jaringan dan loyalitas politik. Dengan sumber daya finansial yang besar, seorang politisi memiliki kendali lebih untuk memperluas kekuasaannya, mengamankan posisi, dan mempersiapkan langkah politik selanjutnya. Keserakahan ini bukan hanya didorong oleh kebutuhan materi, tetapi juga oleh keinginan untuk mempertahankan dominasi dan pengaruh politik yang menguntungkan.
- Â Opportunity (Kesempatan)
Kesempatan muncul karena lemahnya sistem pengawasan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan proyek berskala nasional seperti e-KTP. Pelaksanaan proyek e-KTP, yang melibatkan berbagai tahapan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan, menghadirkan banyak celah bagi korupsi ketika pengawasan tidak dilakukan dengan ketat. Dalam kasus ini, para pejabat yang berwenang, termasuk Setya Novanto, memiliki akses penuh untuk mengatur dan memanipulasi proyek tanpa adanya pengawasan yang kuat.
Sistem pengadaan pemerintah yang rumit dan birokratis, serta lemahnya pengendalian internal, membuka peluang bagi kolusi antara pejabat dan kontraktor proyek. Setya Novanto diduga bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta yang ditunjuk sebagai pelaksana proyek e-KTP. Kelemahan dalam sistem tender dan kontrol internal memungkinkan penunjukan perusahaan-perusahaan ini tanpa standar pemilihan yang ketat, sehingga pihak-pihak terkait dapat menyalahgunakan kesempatan untuk meraup keuntungan. Kesempatan ini semakin diperkuat dengan pengaruh politik Novanto sebagai Ketua DPR, yang memungkinkan dirinya untuk mengendalikan proyek tanpa hambatan berarti.
Lebih lanjut, lemahnya transparansi dalam setiap tahap proyek membuat pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran menjadi sangat terbatas. Ketika masyarakat dan lembaga independen tidak dapat mengakses informasi detail tentang alokasi dana dan kemajuan proyek, penyimpangan anggaran menjadi lebih mudah terjadi tanpa terdeteksi. Kesempatan ini menjadi faktor kunci yang memungkinkan pelaku korupsi untuk menjalankan rencananya dengan lebih aman.
- Â Need (Kebutuhan)
Faktor kebutuhan juga memainkan peran penting dalam kasus e-KTP. Dalam konteks ini, kebutuhan yang mendorong korupsi dapat dikategorikan menjadi dua: kebutuhan politik dan kebutuhan pribadi. Kebutuhan Politik: Dalam dunia politik, kebutuhan akan dana besar sering kali dirasakan oleh politisi untuk mempertahankan kekuasaan, mendanai kampanye, dan memperkuat jaringan pendukung. Pendanaan politik membutuhkan jumlah dana yang tidak sedikit, terutama untuk memastikan dukungan yang luas di lingkungan politik yang kompetitif. Dengan memperoleh dana dari proyek seperti e-KTP, Setya Novanto mungkin melihat peluang untuk memenuhi kebutuhan finansial bagi partai dan loyalisnya, yang akan meningkatkan kestabilan dan pengaruh politiknya. Korupsi menjadi cara cepat untuk mengakses dana tanpa harus bergantung pada sumber pendanaan resmi yang terbatas.