Sebuah rumah bertingkat dua dengan halaman luas yang terdapat kolam renang, ada juga bekas taman bermain kanak-kanak.Â
Rumah yang baru kami tempati ini seharusnya  cukup nyaman untuk sebuah anggota keluarga yang berjumlah empat ini. Papah, Mamah, Aku, dan Adik perempuanku.
***
Selepas satu tahun kemudian, dari halaman rumah, Papah teriak-teriak memanggil namaku berulang kali. Aku pun segera menghampiri ke tempat ia berada, setelah itu Papah yang melihat keberadaanku langsung menunjukan sesuatu di tanah.Â
Itu adalah sebuah pernah-pernik seperti peninggalan karena terdapat beberapa porselen antik, beberapa perhiasan jaman dulu. Mata berbinar Papah sangat terlihat menyilaukan. Ia berkata, "Papah menemukan harta karun."
Aku sedikit tertawa melihat ekspresinya itu. Ya, bagaimana pun siapa sangka Papah yang niatnya sedang mau berkebun dengan pakaian yang sudah disiapkannya sejak lama malah menemukan hal ini.Â
Pada akhirnya kami sekeluarga langsung heboh atas penemuan Papah ini dan langsung mengangkut pernak-pernik itu ke depan rumah untuk membersihkannya.Â
Meskipun sudah terkubur, tetapi jelas terlihat ketika dibersihkan barang-barang ini masih dalam kondisi yang sangat bagus.Â
Hanya bagian porselen yang berisi banyak abu susah dibersihkan bagian dalamnya. Kemudian setelah bersih, porselen langsung di pajang di sudut-sudut dalam rumah dan meja terlihat cukup cantik.
Beberapa hari kemudian, setelah penemuan itu, aku pun aku mencoba menggali karena rasa penasaran. Tempat yang kugali juga tidak cukup jauh dari tempat Papah menemukan harta Karun itu.Â
Dan betul saja, beberapa saat menggali sekop yang digunakan seperti menabrak sesuatu yang keras namun ternyata itu bukan apa-apa melainkan seperti batu nisan berwana abu-abu yang mau tidak mau aku kubur kembali.Â
Aku rasa sudah tidak ada lagi dan hanya bisa menyerah sebab mungkin hanya kebetulan Papah menemukan itu bekas orang dahulu yang tinggal di sini.
Malam harinya ketika pukul dua pagi, aku terbangun mendengar suara kerincing yang keras dari arah halaman tepatnya di bagian bekas taman kanak. Karena kamarku ada di lantai dua dan menghadap ke arah halaman rumah jadi aku dapat melihat langsung.Â
Namun, anehnya aku melihat seperti seseorang yang mengenakan pakaian khas cina dengan kalung emas di lehernya. Atau akibat setengah sadar baru bangun, sosok itu tiba-tiba saja menghilang. Aku pun tak ambil pusing dan lanjut tidur.
Keesokan hari, saat semua sedang asik berkumpul di meja makan, lukisan yang cukup besar jatuh mengenai televisi kami. Hal itu cukup membuat kegaduhan.Â
Setelah dibereskan ada kejadian lagi yang membuat repot, itu pipa air yang bocor di wastafel membanjiri area dapur. Sehingga di hari ini Papah memanggil beberapa tukang sekalian ingin membetulkan atap belakang rumah dekat kolam renang yang terlihat sudah usang.
Sebelum magrib tiba, sekali lagi terdengar bunyi orang teriak dan Papah yang langsung menuju suara itu dikejutkan dengan tukang yang sedang membetulkan atap sudah terkapar di kolam renang.Â
Aku ikut membantu dan melihat tangga yang ia gunakan dari bambu itu patah. Akhirnya tukang itu langsung dibawa rumah sakit terdekat dan katanya ia mengalami kseleo di kakinya. Papah pun membayarkan semua perawatan sekaligus gaji tukang itu. Kemudian aku dan Papah kembali ke rumah.
Malam, kami tiba langsung bersiap untuk makan malam. Aku pun memanggil adik perempuanku yang sedang terlelap di kamarnya untuk segera turun. Tetapi tak lama malah terdengar suara adikku yang menjerit keras meminta tolong dari kamarnya sambil menangis.Â
Aku, Papah, Mamah langsung berlari. Namun lampu rumah tiba-tiba padam, sepertinya seluruh listrik mati. Sambil meraba-raba kami tetap menuju ke tempat adikku.
Setelah sampai di kamar adikku, kami malah dikejutkan saat mengetahui tidak ada siapa pun di kamar ini. Beberapa saat kemudian malah terdengar suara adikku memanggil-manggil kami lantai bawah.Â
Tanpa mau berprasangka buruk, kami kembali ke bawah dan baru menemukan adikku menangis keluar dari kamar mandi. Ternyata ia ketakutan dengan lampu yang tiba-tiba padam. Meskipun aku ingin bertanya mengenai suara di lantai atas yang kami dengar, tetapi Papah dan Mamah menyuruhku untuk tetap diam.
Semenjak kejadian itu, esoknya Papah langsung mengajak kami pindah rumah dengan alasan pekerjaannya yang ada di luar kota. Selepas dua bulan pindah, rumah itu pun akhirnya dijual.Â
Papah hanya memberitahuku belakangan ini bahwa tanah yang ada di rumah itu setelah Papah menyelidiki lebih lanjut, setelah ia mencoba menggali seluruh tanah di halaman ternyata itu adalah tanah bekas pemakaman orang Tionghoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H