Aku menganggap diriku sebagai rumah. Kenapa? Di dalam kehidupanku kini telah kedatangan seorang tuan yang berani memaharkanku dengan sebuah anugerah. Waktu, perasaan kasih sayang, ketulusan, dan kesetiaan. Itu menurutku adalah hal yang paling didambakan seseorang sepertiku, itu juga anugerah yang mungkin di luaran sana sudah sangat sulit menemukannya. Karena dunia sekarang memang sudah terbalik bukan?
Sore ini, katanya tuanku ingin pulang dengan penuh keluhnya. Aku pun sudah menyiapkan sebuah kehangatan  untuk menyambutnya, aku harap dengan kehangatan ini--semua kegelisahan tuanku nanti akan lenyap, dan berganti dengan kenyamanan akan kehidupan ini. Tuanku, aku pun sudah teramat rindu denganmu.
Aku Lily, aku adalah rumah untuk tuanku, jadi, jangan coba menggodaku. Aku memang berlebihan, kata orang-orang. Tapi, mereka tak pernah tahu bagaimana isi hatiku. Mereka bilang aku terlalu menggilai sesuatu yang fana, aku tahu, dan sadar. Namun, tetap saja bagiku sesuatu itu akan bisa abadi jika kuletakan di dalam hati. Siapa tahu? Aku hanya sedikit berpikir waras.
Tuanku bernama Ginan, jika kau dekat dengannya, nanti kau tahu bagaimana sejuk perasaannya. Aku menyukainya pertama kali karena ia sangat peduli kepadaku, ia tak pernah bosan untuk membawaku terbang ke setiap tempat yang indah. Ia romantis, lebih romantis dari apa yang pernah dibayangkan. Ini kesungguhan, semua perlu tahu tentangnya.
Wajahnya sesendu langit senja, tiap-tiap sentuhannya sangat terasa lembut seperti terpaan udara dari pinggir pantai. Aku memandanginya cukup lama, ia tersenyum, aku pun makin amat mengagguminya. Pada momen-momen seperti ini ia sangat bisa membuatku ingin tak melepaskan pelukanku, pada tubuhnya juga ingin kulampiaskan perasaan cintaku kepadanya agar di sana selalu terabadikan. Tapi, lagi-lagi di dunia ini ada namanya waktu, dan mau tak mau aku melepaskannya kembali pergi untuk menjalani hari-harinya. Sementara aku juga kembali ke realitas, bukan lagi rumah tapi sebagai manusia normal seperti lainnya.
Baru sampai rumah aku berganti pakaian, menghapus riasan, dan menuju ke dapur untuk makan malam. Di sana sudah terdapat Ibu dan Ayah yang sudah bersiap makan, aku langsung ikut bergabung.
Â
"Ly, kamu kan sudah besar, bagaimana kalau Ayah carikan seorang suami yang mapan agar hidupmu nanti bahagia. Dan kebetulan juga Ayah banyak kenalan untuk hal seperti ini," ucap Ayah disela-sela aku ingin memasukan sesendok nasi dengan sedikit lauk yang ingin kulahap tapi tak jadi. Aku menaruhnya kembali ke piring.
"Aku sudah punya seseorang yang ingin kujadikan suami, Ayah." Aku tak bermaksud lancang berbicara keras seperti itu kepadanya, itu spontan, entah kenapa. Tapi, aku sebenarnya sungguh menyayangi dan menghormatinya.
"Siapa? Ginan? Orang seperti itu tidak akan cukup mampu membahagiakanmu nantinya, Ay--" sebelum Ayah menuntaskan perkataannya, Ibu berdesis memberikan kode agar Ayah tidak melanjutkan perkataannya itu. Akhirnya, dengan mencoba tenang aku melanjutkan makan. Setelah itu buru-buru masuk ke dalam kamar; mematikan lampu; memeluk guling; lalu menangis. Aku hanya ingin berusaha melupakan perkataan Ayah yang tadi.
Ginan mungkin hanya pekerja bangunan yang gajinya pas-pasan, bukan itu maksudku, ah, aku hanya ingin bersama Ginan sampai akhir. Aku tak peduli akan bagaimana hidupku ke depannya. Malam ini rasanya amat dingin, aku butuh kehangatan, tuan? Kau di mana? Rumahmu sedang di landa badai besar, air mata menjadi hujan yang meluruhkan seisi rumahmu. Tuan? Aku butuh engkau.
Sudah seminggu aku tidak boleh bepergian kemana-mana oleh Ayah. Ibu sebenarnya sudah membantuku, sudah mencoba menasehati Ayah, tapi itu tidak cukup mampu karena sifat Ayah yang kukenali sangat keras kepala. Apa yang ia inginkan selalu harus dilakukan, didikan seperti itu sudah kulakukan sejak kecil hingga besar pun. Namun, sekali lagi untuk hal yang bersangkutan dengan perasaanku ini aku tidak bisa untuk mengikuti kemauannya. Sekali Ginan, aku hanya ingin Ginan. Tidak akan ada yang lain. Itu sudah menjadi impianku untuk bersama-sama dengannya.
Lama-kelamaan, mula-mula pikiran untuk melakukan hal gila (kabur dari rumah) terbesit. Aku ingin segera keluar dari rumah dan memberitahukan ini semua kepada Ginan. Aku ingin ia segera membuktikan kepada Ayah bahwa ia mampu untuk membahagiakanku. Sekaligus aku sudah menahan rindu untuk bersamanya, aku juga ingin mengeluhkan segala perasaan ini kepadanya.
Malam hari datang, jam sudah menunjukan pukul sepuluh, dan suasana sunyi, melihat kondisi seperti ini aku pun pelan-pelan melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju ruang tamu. Setiba dekat pintu keluar rumah, aku sedikit merasa aman, ini waktu yang tepat untuk kabur sekarang. Ya, aku harus melakukan ini demi masa depanku, atau tidak sama sekali.
"LILY!" aku kaget mendengar suara khas Ayah meneriakiku. Aku mencoba membuka pintu ini berkali-kali, tapi naas terkunci, aku tidak bisa membukannya. Aku menitikan air mata, Ayah menarik tanganku dengan paksa, sedangkan Ibu mencoba menenangkan perasaanku. Tapi semuanya sia-sia, luka mengemban di dalam relung hatiku yang paling dalam. Mereka tidak akan tahu dan mungkin juga akan tahu jika air mata ini berubah menjadi darah. Aku benci. Sangat benci.
Setelah hari itu, ceritanya semakin memburuk. Aku tidak lagi mengurus diriku yang makin lemah di dalam kamar ini, tidak lagi menganti spei kasur yang tiap celahnya basah. Aku seperti tenggelam di lautan mati. Tapi, siapa peduli? Ayah seperti tidak ada nurani untuk perempuan yang amat rapuh ini.
Satu bulanan aku melewati waktu yang teramat sakit, Ayah malah makin jadi, ia bilang akan segera memindahkanku ke tempat yang jauh dari sini agar bisa melupakan semuanya. Aku bertambah bingung, air mataku serasa telah kering, namun tidak ada setetes darah pun yang keluar untuk aku tunjukan perihal bagaimana rasa sakit yang aku alami. Segala cara telah aku lakukan, tak ada yang berhasil, aku selalu berakhir di dalam kamar yang ikut menusuk-nusuk hatiku dengan kesunyiannya itu.
Aku lelah. Aku berharap tidak pernah lahir. Aku tidak kuat lagi menahan ini semua.
Besok katanya aku akan dipindahkan dengan segera. Aku pun lagi-lagi hanya bisa pasrah, tak tahu mau berbuat apalagi. Tapi, aku meminta satu hal kepada ayah untuk mengizinkanku mengirim surat terakhir kepada Ginan, satu surat perpisahan agar ia tidak bersedih, biar aku menjalani hidup seperti ini, yang pasti sampai kapan pun ia akan selalu menempati ruang hatiku. Dan Ayah ternyata mengizinkanku dan segera aku menulis surat itu malam ini.
Untuk Ginan kekasih abadiku,
Jika kau sedang membaca surat ini, berarti detik ini juga aku sedang memeluk dirimu. Aku ada di antaramu dan selalu. Kamu apa kabar? Aku amat rindu menatap wajahmu itu, tapi maaf di sini dunia amat mengucilkanku. Aku tidak bisa melawannya, tak ada sedikit pun waktu ingin mengabulkan permintaanku itu. Aku rapuh seperti debu. Sekali lagi, maaf.
Jika kau lihat surat ini penuh bercak air, itu sebagai isyarat betapa perihnya luka yang lagi bersarang di hatiku ini. Tapi, aku minta kau tidak perlu bersedih, tidak, bahkan jangan pernah bersedih aku mohon. Aku sangat mencintaimu, sungguh kehidupan ini sangatlah kejam. Ginan ketahuilah satu hal setelah ini, aku menulis suratnya dengan penuh rasa di dalamnya, maka kuatkanlah hatimu.
Kepada langit, kepada bumi, kepada gunung, kepada laut, kepada angin, kepada kata-kata, huruf-huruf, dan setiap tetes air mata ini. Cintaku kepadamu melibihi semuanya.
Seperti burung-burung yang terbang itu mencari tempat berteduh ketika hujan turun, seperti akar-akar pohon yang mencari tempat untuk tumbuh, dan seperti aku yang menjadi rumah untuk melakukan itu sebagai bukti atas cintaku kepadamu.
Setiap saat bagiku harum udara adalah kasih sayang darimu. Setiap aku tidur satu kecupan kepada bayangmu adalah hal yang selalu aku lakukan. Tapi, sekarang aku bertanya kenapa? Takdir ini tidak seperti apa yang aku inginkan. Apa cintaku sudah mengalahkannya? Telalu memenuhi angkasakah namamu di atas sana? Apa dunia ini takut tidak mampu lagi untuk menampung segala cinta yang nantinya akan selalu berserakan di mana-mana?
Ginan, sekarang aku bingung, takut, aku juga tidak mampu menyeka air mata yang berjatuhan ini. Dan lagi, setelah kau baca surat ini, mungkin kita tidak akan bisa bersama sebagai sejatinya sepasang kekasih. Ini bukan keinginanku, setengah mati aku sudah berusaha, dan hampir gila aku terpenjara di kamar yang tak berperasaan ini.
Pesan terakhirku jagalah kesehatanmu, jagalah hidupmu agar tetap terus berlanjut, dan lupakanlah aku. Anggap aku tidak pernah hadir dalam hidupku, meski sulit, dan aku pun sudah bertekad untuk tidak melupakanmu, tapi kau jangan sepertiku, ini sangat menyakitkan. Aku ingin kau hidup bahagia bersama seseorang yang nantinya bisa menjadikanku tiada.
Ginan, aku mencintaimu. Selamat tinggal, doaku terakhir semoga jika ada kehidupan selanjutnya, kita bisa ditakdirkan bersama. Tidak seperti ini. Sekali lagi maafkan aku.
Salam cinta,
Lily, kekasihmu yang pergi.
Setelah menulis surat itu semalaman, aku memasukannya ke dalam sebuah amplop, lalu meletakannya di atas meja. Kemudian, pergi ke dekat jendela kamar sembari menunggu fajar yang mau tiba.
Memandangi langit yang kian memudar, memandangi selembar foto yang menampilkan kebahagiaan. Sampai langit sudah kian terang, aku kembali rapuh, kembali menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, dan aku sadar bahwa setelah ini tidak ada lagi yang namanya kehidupan.
Aku Lily, aku bukan rumah lagi, aku hanyalah perempuan yang lagi diajak pergi keluar dari kehidupan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H