Mohon tunggu...
Afrizal Ramadhan
Afrizal Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Bekerjalah pada keabadian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Rumah

13 Oktober 2023   08:30 Diperbarui: 13 Oktober 2023   08:32 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam hari datang, jam sudah menunjukan pukul sepuluh, dan suasana sunyi, melihat kondisi seperti ini aku pun pelan-pelan melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju ruang tamu. Setiba dekat pintu keluar rumah, aku sedikit merasa aman, ini waktu yang tepat untuk kabur sekarang. Ya, aku harus melakukan ini demi masa depanku, atau tidak sama sekali.

"LILY!" aku kaget mendengar suara khas Ayah meneriakiku. Aku mencoba membuka pintu ini berkali-kali, tapi naas terkunci, aku tidak bisa membukannya. Aku menitikan air mata, Ayah menarik tanganku dengan paksa, sedangkan Ibu mencoba menenangkan perasaanku. Tapi semuanya sia-sia, luka mengemban di dalam relung hatiku yang paling dalam. Mereka tidak akan tahu dan mungkin juga akan tahu jika air mata ini berubah menjadi darah. Aku benci. Sangat benci.
Setelah hari itu, ceritanya semakin memburuk. Aku tidak lagi mengurus diriku yang makin lemah di dalam kamar ini, tidak lagi menganti spei kasur yang tiap celahnya basah. Aku seperti tenggelam di lautan mati. Tapi, siapa peduli? Ayah seperti tidak ada nurani untuk perempuan yang amat rapuh ini.

Satu bulanan aku melewati waktu yang teramat sakit, Ayah malah makin jadi, ia bilang akan segera memindahkanku ke tempat yang jauh dari sini agar bisa melupakan semuanya. Aku bertambah bingung, air mataku serasa telah kering, namun tidak ada setetes darah pun yang keluar untuk aku tunjukan perihal bagaimana rasa sakit yang aku alami. Segala cara telah aku lakukan, tak ada yang berhasil, aku selalu berakhir di dalam kamar yang ikut menusuk-nusuk hatiku dengan kesunyiannya itu.

Aku lelah. Aku berharap tidak pernah lahir. Aku tidak kuat lagi menahan ini semua.

Besok katanya aku akan dipindahkan dengan segera. Aku pun lagi-lagi hanya bisa pasrah, tak tahu mau berbuat apalagi. Tapi, aku meminta satu hal kepada ayah untuk mengizinkanku mengirim surat terakhir kepada Ginan, satu surat perpisahan agar ia tidak bersedih, biar aku menjalani hidup seperti ini, yang pasti sampai kapan pun ia akan selalu menempati ruang hatiku. Dan Ayah ternyata mengizinkanku dan segera aku menulis surat itu malam ini.

Untuk Ginan kekasih abadiku,

Jika kau sedang membaca surat ini, berarti detik ini juga aku sedang memeluk dirimu. Aku ada di antaramu dan selalu. Kamu apa kabar? Aku amat rindu menatap wajahmu itu, tapi maaf di sini dunia amat mengucilkanku. Aku tidak bisa melawannya, tak ada sedikit pun waktu ingin mengabulkan permintaanku itu. Aku rapuh seperti debu. Sekali lagi, maaf.

Jika kau lihat surat ini penuh bercak air, itu sebagai isyarat betapa perihnya luka yang lagi bersarang di hatiku ini. Tapi, aku minta kau tidak perlu bersedih, tidak, bahkan jangan pernah bersedih aku mohon. Aku sangat mencintaimu, sungguh kehidupan ini sangatlah kejam. Ginan ketahuilah satu hal setelah ini, aku menulis suratnya dengan penuh rasa di dalamnya, maka kuatkanlah hatimu.

Kepada langit, kepada bumi, kepada gunung, kepada laut, kepada angin, kepada kata-kata, huruf-huruf, dan setiap tetes air mata ini. Cintaku kepadamu melibihi semuanya.

Seperti burung-burung yang terbang itu mencari tempat berteduh ketika hujan turun, seperti akar-akar pohon yang mencari tempat untuk tumbuh, dan seperti aku yang menjadi rumah untuk melakukan itu sebagai bukti atas cintaku kepadamu.

Setiap saat bagiku harum udara adalah kasih sayang darimu. Setiap aku tidur satu kecupan kepada bayangmu adalah hal yang selalu aku lakukan. Tapi, sekarang aku bertanya kenapa? Takdir ini tidak seperti apa yang aku inginkan. Apa cintaku sudah mengalahkannya? Telalu memenuhi angkasakah namamu di atas sana? Apa dunia ini takut tidak mampu lagi untuk menampung segala cinta yang nantinya akan selalu berserakan di mana-mana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun