Ginan, sekarang aku bingung, takut, aku juga tidak mampu menyeka air mata yang berjatuhan ini. Dan lagi, setelah kau baca surat ini, mungkin kita tidak akan bisa bersama sebagai sejatinya sepasang kekasih. Ini bukan keinginanku, setengah mati aku sudah berusaha, dan hampir gila aku terpenjara di kamar yang tak berperasaan ini.
Pesan terakhirku jagalah kesehatanmu, jagalah hidupmu agar tetap terus berlanjut, dan lupakanlah aku. Anggap aku tidak pernah hadir dalam hidupku, meski sulit, dan aku pun sudah bertekad untuk tidak melupakanmu, tapi kau jangan sepertiku, ini sangat menyakitkan. Aku ingin kau hidup bahagia bersama seseorang yang nantinya bisa menjadikanku tiada.
Ginan, aku mencintaimu. Selamat tinggal, doaku terakhir semoga jika ada kehidupan selanjutnya, kita bisa ditakdirkan bersama. Tidak seperti ini. Sekali lagi maafkan aku.
Salam cinta,
Lily, kekasihmu yang pergi.
Setelah menulis surat itu semalaman, aku memasukannya ke dalam sebuah amplop, lalu meletakannya di atas meja. Kemudian, pergi ke dekat jendela kamar sembari menunggu fajar yang mau tiba.
Memandangi langit yang kian memudar, memandangi selembar foto yang menampilkan kebahagiaan. Sampai langit sudah kian terang, aku kembali rapuh, kembali menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, dan aku sadar bahwa setelah ini tidak ada lagi yang namanya kehidupan.
Aku Lily, aku bukan rumah lagi, aku hanyalah perempuan yang lagi diajak pergi keluar dari kehidupan ini.